Korupsi Masih Marak dalam Pengadaan Barang dan Jasa
Hasil survei Lembaga Survei Indonesia menunjukkan, korupsi masih marak terjadi saat pengadaan barang dan jasa. Hasil survei juga menunjukkan sejumlah pegawai negeri sipil mengetahuinya, tetapi tak melaporkannya. Mengapa?
JAKARTA, KOMPAS — Mayoritas pegawai negeri sipil menilai, praktik korupsi masih sering terjadi di bagian pengadaan barang dan jasa. Faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya praktik tersebut seperti kurangnya pengawasan, nepotisme, dan campur tangan politik.
Ironisnya, meski praktik itu terjadi di instansi mereka, tidak ada keberanian untuk melaporkannya ke pengawas internal pemerintah. Ini ditengarai akibat kedudukan pengawas internal pemerintah yang berada langsung di bawah kendali kepala daerah.
Dari hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI), sebesar 47,2 persen responden menyebut bagian pengadaan barang dan jasa sebagai tempat yang paling sering terjadi korupsi. Selain itu, ada pula di bagian perizinan usaha (16 persen), bagian keuangan (10,4 persen), dan bagian pelayanan (9,3 persen).
Dalam survei ini, LSI mengambil sampel sebanyak 1.201 pegawai negeri sipil (PNS) yang tersebar di sejumlah kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Survei dilakukan secara tatap muka dan virtual mulai dari 3 Januari hingga 31 Maret 2021.
Baca juga : Ironi Korupsi di Zona Antikorupsi
Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan dalam diskusi ”Rilis Temuan Survei Urgensi Reformasi Birokrasi”, Minggu (18/4/2021), mengatakan, persoalan korupsi di bagian pengadaan (procurement) perlu menjadi perhatian bagi pemerintah pusat dan aparat penegak hukum. Sebab, terjadinya korupsi di bagian tersebut, menurut pengakuan PNS, tergolong sangat besar.
”Kalau lihat data ini, yang paling penting menjadi sorotan utama dalam reformasi birokrasi adalah bagian pengadaan meski di bagian lain juga tetap penting,” ujar Djayadi.
Dalam diskusi virtual itu, hadir sejumlah narasumber, di antaranya Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Tjahjo Kumolo, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Hiariej, serta anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng.
Saat didalami lebih jauh, ada sejumlah alasan PNS menerima uang atau hadiah di luar ketentuan. Hampir 50 persen responden menyatakan bahwa kurangnya pengawasan menjadi faktor utama. Di sisi lain, ada pula faktor kedekatan PNS dengan pihak yang memberi uang (37,1 persen), ada campur tangan politik dari yang lebih berkuasa (34,8 persen), dan gaji yang rendah (26,2 persen).
Tidak melapor
Dari hasil survei itu pula terungkap, hampir seluruh PNS yang disurvei atau 97,1 persen responden mengetahui keberadaan inspektorat jenderal atau inspektorat daerah. Namun, sayangnya, ada 23,8 responden mengaku tidak melaporkan penyalahgunaan wewenang yang terjadi di instansinya ke inspektorat.
Terdapat sejumlah alasan mereka tak melapor ke inspektorat, antara lain takut mendapat masalah (29,6 persen), belum pernah ada yang melapor (13,6 persen), proses pelaporan berbelit-belit (7,5 persen), serta tidak akan ditindaklanjuti (6,4 persen).
”Jadi, masih ada problem penegakan hukum di sini di mana melaporkan kejahatan atau korupsi malah dipandang sesuatu yang membahayakan. Ini yang menjadi catatan dan mesti diperbaiki,” ucap Djayadi.
Diberhentikan
Menpan dan RB Tjahjo Kumolo menegaskan, dirinya tidak akan menoleransi jika di birokrasi masih terdapat PNS yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan putusannya sudah inkrah di pengadilan. Ia mengaku, hampir tiap bulan di dalam rapat badan kepegawaian memutuskan rata-rata 30-40 orang yang harus dipecat, dinonaktifkan, atau diturunkan pangkatnya karena melanggar hal-hal terkait radikalisme, narkoba, dan area rawan korupsi.
”Saya sendiri satu tahun menjadi Menpan dan RB masih sedih (persoalan ini masih terjadi),” ujar Tjahjo.
Tjahjo mengatakan, reformasi birokrasi menjadi salah satu visi-misi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Reformasi birokrasi tidak dapat hanya dilihat sekadar pemangkasan eselon, perbaikan proses perekrutan, penguatan sistem merit, tetapi juga perubahan pola pikir untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien. Untuk mencapai ke sana, aparatur sipil negara (ASN) harus didorong bekerja profesional dan bebas dari praktik korupsi.
Kemenpan dan RB telah melakukan sejumlah langkah untuk meningkatan profesionalitas ASN agar tak terjebak lingkaran korupsi, seperti pelaporan kekayaan bagi seluruh ASN setiap tahun, penguatan sistem integritas internal instansi, pembangunan zona integritas pada unit-unit kerja pelayanan, penguatan kolaborasi antarinstansi pemerintah melalui tim Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK), serta pengelolaan pengaduan masyarakat lewat sistem Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR).
”Sistem yang ingin kita bangun harus diperkuat. Kalau dulu mencari orang kuat untuk membangun sistem agar kuat. Sekarang kita balik, bagaimana kita dapat membangun sistem yang kuat, konsisten, dan ke depan dapat melahirkan orang-orang yang konsisten, kuat, dan profesional di bidang masing-masing,” kata Tjahjo.
Menurut Tjahjo, gaji rendah sebenarnya tidak dapat dijadikan alasan bagi ASN untuk menerima uang atau hadiah di luar ketentuan. Sebab, ia melihat, penghasilan ASN masih cukup stabil. ”Saya kira sekarang ASN masih yang saya anggap penghasilannya masih baik di tengah pandemi Covid-19 ini dibandingkan teman-teman di sektor swasta,” ucapnya.
Penguatan pencegahan
Wakil Menkumham Edward Omar Hiariej pun menggarisbawahi, setidaknya ada lima program untuk membenahi birokrasi agar terhindari dari budaya korupsi, seperti pelayanan publik yang maksimal, penguatan sistem pengawasan, sistem merit, pola perekrutan terbuka, kerja sama antarinstansi, dan kewajiban menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
Dalam konteks penegakan hukum, lanjutnya, keberhasilan penegakan hukum bukan berorientasi pada banyaknya kasus yang bisa terungkap. Namun, keberhasilan penegakan hukum khususnya sistem peradilan pidana berorientasi pada pencegahan terjadinya kejahatan.
”Artinya, ketika pencegahan itu bisa dioptimalkan, sesungguhnya itu adalah keberhasilan dalam penegakan hukum,” ujar Edward.
Sementara itu, anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, mengungkapkan, pada tingkat tertentu, birokrasi hanya digunakan sebagai operator atau eksekutor dari korupsi politik. Korupsi yang besar di pengadaan barang dan jasa atau perizinan itu, menurut dia, bukan hanya sekadar suap di tata laksana birorkasi sehari-hari, melainkan juga peran politik menjadi sangat penting untuk dilihat. Peran politik itu terlihat dari individu kepala daerah, DPRD, atau pejabat-pejabat strategis yang juga mempunyai kekuasaan besar.
”Ini yang kerap terjadi di daerah dan memunculkan ketakutan bagi kalangan PNS untuk melaporkan praktik korupsi tadi,” ucapnya.
Apalagi, jika melihat posisi kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian (PPK) yang menentukan rotasi PNS, ini membuat PNS yang memiliki integritas kuat, tetapi daya tahan lemah akhirnya tergoda.
Robert sepakat bahwa peran inspektorat menjadi penting dalam upaya pencegahan budaya korupsi di birokrasi. Namun, selama ini, ada persoalan terkait kedudukan aparatur pengawas internal pemerintah (APIP), kewenangan APIP, dan status hukum dari produk APIP. Jika dilihat dari kedudukan APIP, mereka berada di bawah kepala daerah.
”Kalau itu korupsi politik, agak sulit APIP akan meneruskan laporannya. Jadi, kalau kedudukannya di bawah kepala daerah dan semangat korps pada ASN sangat tinggi, ya, hasil-hasil kerjanya hanya jadi pajangan,” kata Robert.
Baca juga : Mempertanyakan Inspektorat
Untuk itu, Robert menilai, penguatan APIP menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Kemenpan dan RB. APIP harus direposisi sehingga bisa menjadi instrumen pengawasan dan pengendalian internal pemerintah yang dipercaya oleh kalangan PNS. ”APIP harus bisa diandalkan sebagai early warning system. Ini pekerjaan rumah yang besar. Kalau ingin proses pemerintahan bisa berjalan dengan lancar, ya sistem pengawasan internal ini diperkuat,” ujar Robert.