Amnesti Saiful Mahdi Kemenangan bagi Kebebasan Berekspresi
Amnesti yang diberikan kepada Saiful Mahdi tak sekadar pengampunan hukuman dari Presiden. Lebih dari itu, amnesti untuk Saiful merupakan kemenangan bagi kebebasan akademik dan kebebasan berekspresi.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — DPR akhirnya menyetujui pemberian amnesti bagi Saiful Mahdi, dosen Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, yang dijerat dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Keputusan DPR mempercepat pemberian amnesti kepada Saiful Mahdi diapresiasi berbagai kalangan karena merupakan kemenangan bagi kebebasan akademik dan berpendapat.
Persetujuan pemberian amnesti disepakati dalam rapat paripurna DPR, Kamis (7/10/2021), di Gedung Nusantara II, Jakarta. Pemimpin rapat, Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar langsung menanyakan kepada anggota apakah permintaan Presiden untuk memberikan amnesti kepada Saiful itu dapat disetujui ataukah tidak. Seluruh anggota yang hadir langsung setuju.
Persetujuan pemberian amnesti oleh DPR tergolong cepat. Surat yang dikirimkan Presiden pada 29 September lalu bahkan belum dibahas dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus). Sesuai mekanisme, semestinya semua surat presiden harus dibahas terlebih dahulu di rapat Bamus untuk memutuskan alat kelengkapan DPR yang akan menindaklajuti. Setelah dibahas alat kelengkapan DPR, baik komisi maupun badan, barulah dibawa ke rapat paripurna untuk mendapat persetujuan.
Berdasarkan pengalaman pemberian amnesti untuk Baiq Nuril, guru asal Lombok Barat korban UU ITE, Bamus menugaskan Komisi III untuk membahas surat presiden. Hasil pembahasan itu kemudian disampaikan di rapat paripurna untuk mendapat persetujuan anggota DPR.
Dalam pemberian pertimbangan amnesti bagi Saiful Mahdi, mekanisme itu tak dijalankan. Pimpinan rapat paripurna langsung meminta persetujuan anggota DPR. Terobosan itu dilakukan karena pimpinan rapat memperhatikan keterbatasan waktu, urgensi surat, serta kondisi DPR yang memasuki masa reses.
Muhaimin mengatakan, untuk menindaklanjuti keputusan rapat paripurna itu, pimpinan DPR akan mengirimkan jawaban tertulis kepada Presiden.
Saiful dijatuhi hukuman pidana 3 bulan penjara serta denda Rp 10 juta subsider 1 bulan karena dianggap melakukan pencemaran nama baik dan dijerat dengan UU ITE. Setelah menerima permohonan Saiful, Presiden memutuskan memberikan amnesti dan meminta pertimbangan DPR sesuai mekanisme yang diatur dalam Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945.
Persetujuan yang diputuskan secara cepat oleh DPR diapresiasi Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD. Dalam keterangannya, Mahfud menyebut DPR telah menerapkan hukum dan prosedur yang progresif.
”Kalau melalui prosedur biasa yang terlalu normatif, tentu surat presiden ini masih harus dibahas dulu di Bamus dan, setelah Bamus setuju untuk diagendakan, baru dibawa ke sidang paripurna,” katanya.
Mahfud mengatakan, tindakan cepat DPR ini benar-benar progresif karena surat baru dikirim pekan lalu, tetapi langsung disetujui dalam rapat paripurna, Kamis. ”Dalam situasi penting yang menyangkut nasib orang seperti jni memang diperlukan keberanian untuk melakukan percepatan yang bersifat progresif,” katanya.
Saya, sebelum kasus ini mencuat, tidak mengenal Saiful Mahdi. Namun, saya tahu dan yakin ada kesalahan fatal dalam proses penerapan pasal UU ITE kepadanya.
Selanjutnya, pemerintah akan menunggu surat resmi dari DPR untuk menuangkannya dalam surat pemberian amnesti. ”Saya mengucapkan selamat kepada keluarga Saiful Mahdi,” ujar Mahfud.
Staf khusus Menteri Komunikasi dan Informatika Henri Subiakto mengatakan, amnesti terhadap Saiful merupakan hasil perjuangan panjang untuk mendudukkan norma UU ITE secara benar. ”Ini perjuangan untuk Indonesia agar tidak dipahami secara salah oleh dunia internasional dan publik dalam negeri, seakan membungkam kritik itu dibenarkan secara hukum,” ungkapnya yang pernah menjadi saksi ahli dalam persidangan Saiful di tingkat pertama.
Sekalipun amnesti berarti pengampunan hukuman, tetapi dalam konteks Saiful merupakan cara negara, khususnya Presiden, membantu warga negara yang telanjur divonis secara salah oleh pengadilan.
”Saya, sebelum kasus ini mencuat, tidak mengenal Saiful Mahdi. Namun, saya tahu dan yakin ada kesalahan fatal dalam proses penerapan pasal UU ITE kepadanya,” kata Henri yang juga Ketua Subtim I Kajian UU ITE dari Kominfo.
Henri mengatakan, di masa depan jangan lagi pasal-pasal UU ITE dipakai untuk menghukum orang yang hanya memberikan kritik. Apalagi, kritikan itu disampaikan di dunia kampus atau akademik. ”Kalau ada konflik, selesaikan bijak. Bukan melibatkan negara untuk menghukum mereka yang berbeda,” ujarnya.
Kemenangan kebebasan berekspresi
Secara terpisah, dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang P Wiratraman, berpendapat, persetujuan amnesti ini bukan sekadar soal membebaskan Saiful Mahdi, melainkan merupakan kemenangan kebebasan akademik dan kebebasan berekspresi di negeri ini.
”Kedua, tentu kami sangat mengapresiasi atas kesediaan Presiden dan DPR yang telah memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi. Wewenang konstitusional ini sudah seharusnya dilakukan dalam sistem negara hukum Indonesia,” katanya.
Tantangan ke depan ialah menyegerakan revisi terhadap pasal-pasal UU ITE yang multitafsir. Selain itu, menurut Herlambang, beberapa kasus serupa yang saat ini ditangani oleh penegak hukum sebaiknya juga berkaca dari kasus Saiful Mahdi. Beberapa kasus serupa masih terjadi di sejumlah daerah dan perlu mendapatkan perhatian penegak hukum agar tidak kembali berulang.