Mereka yang ”Tersesat” di Rimba Peradilan Konstitusi
Setiap tahun, perkara yang masuk ke MK semakin meningkat. Ini menunjukkan MK yang berdiri pada 2003 kian dikenal publik.
”Sebelumnya saya mohon maaf, Pak. Saya bukan pengacara, saya bukan ahli hukum, jadi apabila terdapat kekurangan, kekeliruan saya dalam istilah hukum maupun pengetahuan hukum, saya mohon dimaafkan.”
Itulah kalimat pembuka yang disampaikan Akhmad, seorang pensiunan pegawai negeri sipil (PNS), sebelum membacakan permohonan uji materi dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Senin (4/10/2021). Akhmad rupanya sama sekali belum pernah beracara di MK. Setidaknya hal ini terlihat saat ia memanggil para hakim konstitusi dengan sebutan ”Pak” di ruang persidangan. Sesuatu yang jarang terdengar. Sebab, di ruang sidang, para hakim biasanya dipanggil ”Yang Mulia”.
Akhmat ”tersesat” di MK karena harus memperjuangkan istrinya, Tuti Atika K, mantan panitera pengganti di Pengadilan Negeri Tangerang, yang harus merasakan dinginnya jeruji besi untuk waktu hingga 4 tahun. Tuti terbukti melanggar Pasal 12 Huruf C dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 dan 64 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Tuti Atika terseret perkara suap yang melibatkan hakim PN Tangerang, Wahyu Widya Nurfitri, yang telah dihukum lima tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Serang. Dalam perkara inilah, Akhmad merasa vonis yang diterima istrinya tidak adil. Sebab, menurut dia, istrinya hanya melaksanakan perintah atasannya (yakni hakim), tetapi kemudian terkena Pasal 12 dan 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah disempurnakan menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bermodal referensi yang didapat dari Youtube, Google, dan membaca pleidoi yang dibuat pengacara istrinya dalam persidangan kasus korupsi sebelumnya, Akhmad terjun ke MK. Ia menguji konstitusionalitas pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat istrinya. Ia pun meminta MK untuk menyatakan istrinya tidak bersalah, membebaskan, merehabilitasi nama, serta mengembalikan hak-haknya.
Tiga hakim konstitusi yang memeriksa perkara tersebut (Suhartoyo, Saldi Isra, dan Daniel Yusmic P Foekh) dengan sabar dan pelan-pelan menasihati Akhmad. Ada kesalahan bahkan untuk hal-hal mendasar dalam permohonan yang diajukannya. Misalnya, format penulisan identitas pemohon. Akhmad bukannya mencantumkan nama istrinya, melainkan justru menuliskan namanya.
”Jadi kalau begini ini bercampur-campur Pak. Seolah-olah Bapak yang jadi pemohonnya. Padahal Bapak, kan, kuasa (pemohon) sekarang nih, kuasa dari istri,” kata Saldi Isra yang meminta Akhmad untuk melihat contoh-contoh putusan MK sebelumnya.
Saldi juga meminta Akhmad untuk mengoreksi petitum permohonannya yang meminta MK membatalkan putusan MA. ”Jangan Bapak berpikir Mahkamah Konstitusi ini tempat untuk mengoreksi putusan Mahkamah Agung, ndak Pak,” Saldi meluruskan.
Suhartoyo secara gamblang menilai bahwa permohonan Akhmad masih jauh dari standar permohonan pengujian undang-undang. Banyak bagian yang harus diperbaiki. Ia khawatir jika Akhmad tidak memahami saran-saran hakim dan tidak berhasil memperbaiki permohonan seperti anjuran yang diberikan di persidangan, perkara itu akan kandas. Seperti diketahui, MK akan menghentikan persidangan dan menyatakan perkara tidak dapat diterima jika permohonan tidak jelas dan kabur.
Baca juga : Presiden Berharap MK Terus Menjaga Marwah dan Martabat
Oleh karenanya, Suhartoyo menanyakan apakah Akhmad punya tempat bertanya dan berdiskusi mengenai permohonan yang diajukan. Atas pertanyaan ini, Akhmad mengaku tidak ada teman berdiskusi ataupun bertanya. Pemohon pun diminta untuk menimbang ulang apakah akan melanjutkan perkara tersebut atau menariknya mengingat tidak mudah untuk berperkara di MK, apalagi untuk orang awam.
Akhmad ternyata tak sendiri. Hari berikutnya, Selasa (5/10/2021), Herifuddin Daulay, seorang guru honorer yang mengajar mata pelajaran Teknik Komputer dan Jaringan di jenjang SMK menguji konstitusionalitas UU No 7/2017 tentang Pemilihan Umum ke MK. Ia mengaku mempersoalkan sejumlah pasal di dalam undang-undang tersebut karena peduli akan keberlangsungan negara ini dan sebagai perwujudan bela negaranya.
Salah satu poin yang dipersoalkan Daulay adalah mengenai presiden RI. Fokusnya adalah presiden harus orang asli Indonesia. Ia tidak mau memiliki presiden orang asing meski berkewarganegaraan Indonesia.
Majelis panel dibuat sedikit ”pusing” dengan permohonan Daulay. Anggota panel, Arief Hidayat, misalnya, melihat adanya banyak kelemahan dalam permintaan uji materi, serta tidak jelas. ”Perbaiki semuanya. Sistematikanya, uraian kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, juga perbaiki posita dan petitum,” kata Arief.
Sama seperti Akhmad, Daulay juga diminta untuk mencermati Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Pengujian Undang-Undang dan mempelajari contoh-contoh permohonan yang baik.
Ia pun menanyakan pasal-pasal apa saja yang diuji, serta apa yang dijadikan batu ujinya. Meski Daulay telah menyebutkan sejumlah pasal di dalam UU Pemilu, hal itu tetap dinilai tak jelas. Akhirnya Arief menanyakan, ”Bapak itu ingin menguji apa sih, undang-undang apa, to?”
Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh punya pendekatan lain. Ia menanyakan sudah berapa kali Daulay mengajukan perkara di MK. Daulay pun menjawab bahwa ini adalah perkara keduanya.
”Yang kedua ini harusnya lebih bagus dari yang pertama,” kata Daniel.
Daulay pun meminta maaf. Rupanya ia cukup sibuk karena juga tengah menyiapkan materi pengujian tentang kepala daerah dan periodisasi jabatan presiden.
Kian dikenal publik
Adanya orang-orang awam yang ”nekat” ke MK bisa jadi menjadi kabar baik. Sebagai lembaga peradilan yang relatif baru (didirikan 2003) jika dibandingkan saudara tuanya Mahkamah Agung (sejak 1945), keberadaan MK kian dikenal publik.
Hal tersebut juga terlihat dari grafik penambahan perkara dari tahun ke tahun. Keberadaan peradilan konstitusi dalam melindungi hak-hak konstitusional warga negara dan menjaga demokrasi dirasakan publik kian dibutuhkan.
Di antara banyaknya pengajuan perkara ke MK, terseliplah pemohon yang merupakan orang-orang awam tanpa didampingi pengacara profesional. Akhmad yang seorang pensiunan PNS, Herifuddin Daulay yang seorang guru honorer, dan terdapat beberapa lagi lainnya masyarakat biasa yang maju ke MK dengan alasannya masing-masing.
Pendiri Themis Indonesia yang juga ahli tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, mengungkapkan, gagasan awal MK sebagai pengadilan konstitusional memang membuka ruang seluas-luasnya bagi warga di republik ini untuk berperkara di MK. Tak harus orang yang paham hukum, tak harus didampingi advokat profesional, siapa saja yang memiliki kerugian konstitusional atau hak konstitusionalnya berpotensi dirugikan, bisa beracara di MK.
Dalam konteks itulah, dismissal process atau tahap pemeriksaan pendahuluan menjadi penting artinya. Dalam dua kali sidang pemeriksaan pendahuluan, hakim memberikan saran-saran perbaikan permohonan. Dismissal process sejak awal memang didesain untuk melindungi pemohon, terutama mereka yang tidak mengetahui hak-hak konstitusionalnya secara baik.
Di dalam tahap pemeriksaan pendahuluan tersebut, hakim akan mengetahui pemohon mana yang benar-benar memiliki kerugian konstitusional atau yang sekadar mengajukan permohonan ke MK. ”Jadi memang tidak asal masuk perkara,” katanya.
Bagaimana solusi untuk pemohon yang benar-benar membutuhkan pendampingan dari pihak yang paham hukum? Feri mengungkapkan, mengingat MK tidak mensyaratkan lisensi advokat untuk menjadi kuasa pemohon, pemohon bisa mengajak orang yang paham atau berpengalaman untuk menjadi pendampingnya dalam persidangan. Mereka bisa saja mahasiswa-mahasiswa fakultas hukum ataupun paralegal yang memiliki pengalaman beracara.
”Istilahnya pokrol bambu pun boleh. Jadi tidak perlu konsep probono seperti di pengadilan umum. Hakim tidak perlu menunjuk advokat untuk mendampingi,” ujarnya.
Terkait dengan pihak yang iseng mengajukan uji materi meskipun kerugian konstitusionalnya diragukan, Feri memiliki pandangan tersendiri. Menurut dia, hal itu terjadi karena MK sendiri dalam beberapa perkara tidak konsisten terhadap pagar-pagar ”hukum acara” yang sudah diatur oleh UUD 1945 dan undang-undang. Ia mencontohkan perkara pengujian UU MK yang diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Watch yang sebenarnya tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum sebagai pemohon tetapi diloloskan.
Gagasan awal MK sebagai pengadilan konstitusional memang membuka ruang seluas-luasnya bagi warga di republik ini untuk berperkara di MK. Tak harus orang yang paham hukum, tak harus didampingi advokat profesional, siapa saja yang memiliki kerugian konstitusional atau hak konstitusionalnya berpotensi dirugikan, bisa beracara di MK.
Seperti diketahui, untuk bisa mengajukan perkara ke MK, pemohon bisa mengajukan diri sebagai warga negara Indonesia, kelompok masyarakat hukum adat, Lembaga negara, serta badan hukum, baik privat maupun publik. Sementara menurut Feri, bukan warga negara, bukan kelompok masyarakat hukum adat, bukan lembaga negara, juga bukan badan hukum privat dan publik karena belum terdaftar status badan hukumnya di Kementerian Hukum dan HAM.
Baca juga : Uji Moralitas Hakim Konstitusi
”Sesuatu yang eksplisit tapi kemudian dilanggar dan hakim tidak menyikapinya dengan standar yang baku. Jangan-jangan sebenarnya MK sendiri tidak disiplin, tidak mematuhi pagar-pagar yang sudah dibatasi UUD dan UU. Makanya akhirnya muncullah orang-orang nyeleneh asal maju ke MK,” ujarnya.
Sementara itu, Juru Bicara MK Fajar Laksono Suroso mengungkapkan, MK sebenarnya sudah memiliki fitur konsultasi untuk membantu pihak-pihak yang ”buta” tentang bagaimana beracara di MK. Fitur konsultasi tersebut sudah ada di situs web MK.
”Ada form-nya. (Nanti) dihubungi MK. Selain itu, sebetulnya bisa juga yang lebih sederhana, dilayani by phone. Hanya sekarang soalnya terinformasi atau tidak, mau memanfaatkan atau tidak,” ujar Fajar.
Jalan untuk membantu terwujudnya perlindungan hak konstitusional warga yang lebih luas sebenarnya sudah ada. Menjadi tugas MK dan semua pihak untuk menyosialisasikannya sehingga tak ada lagi orang-orang yang tersesat atau bahkan menyesatkan diri di rimba peradilan konstitusi.