DPR dinilai cukup cepat saat memutuskan persetujuan pemberian amnesti untuk Baiq Nuril, guru korban UU ITE. Karena itu, diharapkan persetujuan amnesti untuk Saiful Mahdi, dosen korban UU ITE, juga cepat diputuskan.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Dewan Perwakilan Rakyat diharapkan segera memproses surat presiden terkait pemberian amnesti kepada dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Saiful Mahdi. Tak hanya membebaskan Saiful dari jerat hukuman, amnesti juga dinilai penting untuk memberikan jaminan kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Kuasa hukum Saiful Mahdi, Syahrul Putra Mutia, dalam konferensi pers, Rabu (6/10/2021), mengatakan, pemberian amnesti adalah wujud tanggung jawab terakhir akibat adanya kesalahan penegakan hukum Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). ”Amnesti adalah wujud komitmen terhadap apa yang telah dilakukan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan. Amnesti lahir atas hak prerogatif presiden jika melihat ada lubang yang tidak bisa ditutupi dalam penegakan hukum,” ujar Syahrul.
Presiden Joko Widodo telah mengabulkan permohonan amnesti yang diajukan Saiful Mahdi. Presiden juga telah mengirimkan surat permohonan persetujuan kepada DPR. Dengan demikian, pemberian amnesti untuk Saiful tinggal menunggu persetujuan DPR.
Sebelum Presiden menyetujui pemberian amnesti itu, Koalisi Advokasi Saiful Mahdi telah mengirimkan surat permohonan meminta amnesti. Tim hukum Kementerian Sekretariat Negara juga telah bertemu dengan koalisi untuk menganalisis fakta dan bukti bahwa pendapat Saiful murni bentuk kebebasan berpendapat dan akademik. Selain mengajukan kepada Setneg, koalisi juga melakukan advokasi kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. Setneg dan Menko Polhukam sepakat bahwa Saiful layak mendapatkan amnesti.
”Amnesti ini sangat penting untuk memberikan jaminan kebebasan berekspresi, berpendapat, dan iklim kebebasan akademik kampus. Kalau orang terdidik saja bisa dipenjara karena mengungkapkan pendapatnya, bagaimana dengan orang biasa?” imbuh Syahrul.
Istri Saiful Mahdi, Dian Rubianty, berharap DPR segera mengabulkan pemberian amnesti kepada Saiful. Sebab, sejak Saiful divonis penjara selama tiga bulan oleh Mahkamah Agung, keluarganya tidak bisa hidup tenang. Saiful seolah dicap sebagai kriminal padahal hanya menyuarakan kritiknya melalui grup percakapan. Dia berharap, Saiful bisa segera menghirup kebebasan karena memang tidak ada unsur niat jahat dalam kritik yang dia sampaikan itu.
”Semoga ke depan tidak ada lagi orang yang takut menyuarakan kebenaran karena diancam dengan hukuman penjara. Pemerintah juga jangan membiarkan kebebasan berpendapat dibungkam,” kata Dian.
Dalam kasus Baiq Nuril, proses di DPR cukup cepat. Semoga untuk kasus Saiful Mahdi ini juga diperlakukan dengan proses yang sama. Ada kebutuhan mendesak, bukan karena berapa lama di penjara, melainkan soal bagaimana menjaga kebebasan akademik
Padahal, menurut Koalisi Advokasi Saiful Mahdi, kritik terkait penerimaan pegawai kampus yang disampaikan melalui grup Whatsapp merupakan sebuah kebenaran. Buktinya, setelah kritik itu disampaikan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi kemudian mengeluarkan surat pembatalan terhadap CPNS di Unsyiah. Namun, hukum tetap berjalan sebatas pembuktian dugaan pencemaran nama baik yang diatur di Pasal 27 Ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE.
Dosen hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan, proses pidana dalam kasus Saiful Mahdi memang tidak wajar. Ada keanehan dalam penegakan hukum perkara tersebut sehingga negara melalui politik hukumnya bisa memberikan amnesti untuk menjaga kebebasan akademik di kampus. Sekarang, bola persetujuan itu berada di DPR. Dia berharap, proses akan cepat seperti saat pemerintah memberikan amnesti kepada Baiq Nuril.
DPR akan mempertimbangkan usulan pemberian itu melalui rapat di Komisi III, kemudian hasilnya akan dikirimkan melalui rapat pleno DPR. Dengan demikian, diharapkan sebelum masa reses DPR pada 8 Oktober nanti, proses persetujuan di DPR sudah selesai.
”Dalam kasus Baiq Nuril, proses di DPR cukup cepat. Semoga untuk kasus Saiful Mahdi ini juga diperlakukan dengan proses yang sama. Ada kebutuhan mendesak, bukan karena berapa lama di penjara, tetapi soal bagaimana menjaga kebebasan akademik,” kata Zainal.
Moratorium
Ketua Paku ITE Muhammad Arsyad mengatakan, setelah pemberian amnesti kepada Saiful Mahdi, pemerintah dan DPR harus meninjau ulang atau memberlakukan moratorium terhadap kasus pasal karet UU ITE yang dalam tahap penyelidikan dan penyidikan. Apalagi, jika memang kasus tersebut tidak sesuai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Kominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri tentang Pedoman Implementasi UU ITE. Berdasarkan catatan Paku ITE, saat ini ada 23 kasus yang tidak sesuai dengan SKB UU ITE. Misalnya, kasus pencemaran nama baik tidak dilaporkan oleh individu perseorangan tetapi oleh perusahaan atau institusi. Kasus seperti itu harus diberhentikan agar tidak menjadi preseden buruk.
”Kami berharap kasus-kasus yang dalam tahapan penyelidikan, penyidikan bisa dihentikan oleh kepolisian. Sementara untuk kasus yang sudah tahap penuntutan dan persidangan, hakim bisa memutus bebas dengan pertimbangan perlindungan HAM. Tidak hanya sebatas hukum acara pidana,” imbuh Arsyad.
Dari 23 kasus yang didampingi oleh Paku ITE, hampir semua kasus tidak terbukti niat jahat atau mens rea-nya. Namun, karena ada relasi kuasa antara pelapor dan terlapor, kasus itu tetap dilanjutkan hingga masuk ke persidangan. Jika hakim gagal melihat unsur tersebut, bisa jadi para tersangka ini tetap akan dihukum penjara. Untuk mengoreksi putusan itu, presiden harus terus-menerus mengeluarkan pengampunan hukuman. Ini tidak akan memutus persoalan tingginya pemidanaan dalam UU ITE.
”Kami berharap DPR juga cepat memproses revisi UU ITE yang sudah masuk dalam perubahan prolegnas prioritas 2021. Kami sudah membuat kertas kebijakan yang diserahkan kepada Menko Polhukam, di situ ada usulan dari kami, mana pasal yang sebaiknya dihapus dan mana pasal yang masih bisa direvisi secara semantik,” terang Arsyad.