Elegi Saiful Mahdi Menanti Keadilan Melalui Amnesti...
Jerat UU ITE atas Saiful Mahdi, dosen di Aceh, melabrak aturan pedoman UU ITE. Lebih dari itu, mencederai kebebasan akademik. Dukungan agar Presiden memberikan amnesti bagi Saiful mengalir dari dalam dan luar negeri.
Tidak terbayangkan sebelumnya, hanya melalui satu pesan di kelompok percakapan yang terbatas, Saiful Mahdi, dosen statistika di Universitas Syiah Kuala, Aceh, kini dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pergulatan hukumnya tidak hanya mengundang keprihatinan ahli hukum dan hak asasi manusia di Tanah Air, tetapi juga ahli dari luar negeri.
Sejak diundangkan lebih dari satu dekade lalu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diubah dengan UU No 19/2016 telah memakan banyak ”korban”. Demikian halnya yang dialami Saiful, yang dilaporkan dengan pasal pencemaran nama baik di Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Ia dilaporkan ke polisi oleh Dekan Fakultas Teknik (FT) Unsyiah Taufiq Saidi setelah Saiful mengirim pesan di sebuah kelompok percakapan (grup Whatsapp).
”Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup?” Demikian bunyi pesan Saiful di dalam grup ”UnsyiahKITA”, yang anggotanya ialah dosen dan karyawan Kampus Unsyiah, Februari 2019.
Tidak ada nama dan jabatan tunggal tertentu di dalam pesan itu. Anggota grup juga telah sejak awal melarang isi diskusi di dalam grup itu untuk dibawa keluar dari grup. Artinya, pesan Saiful itu mestinya hanya ada di grup tersebut, secara terbatas, dan bukan untuk umum.
Baca juga: Saiful Mahdi Ditahan, Koalisi Masyarakat Sipil Ajukan Amnesti ke Presiden
Di luar dugaan, pesan itu rupanya dijadikan bukti pelanggaran UU ITE oleh Taufiq Saidi. Padahal, pelapor bukanlah anggota grup percakapan tersebut, yang semestinya juga tidak bisa mengetahui isi diskusi apa pun di dalam grup tersebut.
Proses hukum terhadap Saiful berjalan. Pada tingkat pertama, ia dinyatakan bersalah melanggar Pasal 27 Ayat (3) UU ITE oleh Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh (Perkara/Putusan No 432/Pid.Sus/2019/PN BNA tanggal 21 April 2019). Ia divonis tiga bulan penjara dan denda Rp 10 juta subsider kurungan 1 bulan penjara. Putusan itu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Aceh (Putusan No 104/PID/2020/PT BNA tanggal 16 Juni 2020). Di tahap kasasi, upaya Saiful mencari keadilan pupus karena kasasi tidak dikabulkan hakim agung, 29 Juni 2021.
Pada 2 September 2021, Saiful memenuhi panggilan eksekusi oleh Kejaksaan Negeri Banda Aceh. Ia kemudian ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banda Aceh di Lambaro, Aceh Besar.
Selanjutnya, pada 17 Agustus 2021, Saiful mengirimkan surat permohonan amnesti kepada Presiden Joko Widodo. Di dalam suratnya itu, Saiful mengungkapkan kronologi kasus yang menimpanya. Ia pun menceritakan dirinya sebagai rakyat biasa dari keluarga miskin dengan orangtua berpendidikan sangat rendah. Namun, ia beruntung dapat mengecap pendidikan tinggi.
”Tapi, lewat pendidikan dan harapan perbaikan hidup lewat pendidikan itu juga yang telah membawa saya menjadi Sarjana Statistika dari ITS Surabaya, Master of Science bidang Statistika dari University of Vermont di Amerika Serikat, dengan beasiswa Fulbright, dan menyelesaikan S-3 (Ph.D) di Cornell University, salah satu kampus terbaik di dunia. Alhamdulillah, pendidikan S-1, S-2, dan S-3 itu semua saya peroleh dengan beasiswa penuh,” ungkap Saiful.
Pendidikan pulalah yang mengajarkannya soal baik dan buruk serta bagaimana korupsi itu sangat buruk dan karena itu keterbukaan pejabat publik dalam mengambil suatu kebijakan sangat penting. Ia juga menyebut gerakan anti-KKN bermakna sangat pribadi untuknya sebagai anak rakyat biasa dari keluarga miskin, yang hanya mungkin membaik status sosialnya lewat pendidikan dan adanya kesempatan yang sama untuk semua warga negara.
”Tindakan menjadi whistle blower dengan kritik sekeras apa pun terhadap pejabat dan lembaga publik seharusnya didukung bukan malah dihukum. Bapak Presiden telah memberikan contoh nyata dalam hal ini dengan tidak pernah menggunakan UU ITE terhadap pengkritik bahkan penghina Bapak,” ucap Saiful dalam suratnya.
Baca juga: Sejumlah Pakar Hukum Dukung Saiful Mahdi
Alasan amnesti
Pilihan Saiful mengajukan amnesti, dan bukan grasi, menurut kuasa hukumnya, Muhammad Aryad, karena Saiful merasa tindakannya menulis pesan di dalam kelompok percakapan itu bukanlah kejahatan. Ia tidak harus mengakui kejahatan apa pun dengan mengirimkan pesan itu. Berbeda dengan permohonan grasi yang dimaknai pemohon mengakui kejahatannya setelah menerima putusan berkekuatan hukum tetap, amnesti hanya dimaknai sebagai permohonan ampunan dari presiden.
Bahkan, menurut Arsyad, telah ada kesalahan tafsir terhadap pasal pencemaran nama baik di dalam UU ITE yang dikenakan kepada kliennya. Ia mengaitkan kesalahan itu dengan pedoman teknis implementasi UU ITE yang diatur di dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Kapolri, Jaksa Agung, dan Menkominfo Nomor 229 Tahun 2021, No 154/2021, dan No KB/2/VI/2021.
Terkait pedoman implementasi Pasal 27 Ayat (3) Huruf f di dalam SKB itu ditegaskan, korban sebagai pelapor harus perseorangan dengan identitas spesifik, dan bukan institusi, korporasi, profesi atau jabatan.
Adapun pedoman implementasi Pasal 27 Ayat (3) Huruf k mengatur, bukan merupakan delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam hal konten itu disebarkan melalui sarana grup percakapan yang bersifat tertutup atau terbatas, seperti grup percakapan keluarga, kelompok pertemanan akrab, kelompok profesi, grup sekantor, grup kampus, atau institusi pendidikan.
Dengan penjelasan di dalam SKB itu, menurut Arsyad, Saiful semestinya tidak dapat disebut mencemarkan nama baik seseorang. ”Kritik di grup WA itu terbatas mengenai adanya seleksi calon dosen yang tidak memenuhi kriteria. Dia juga tidak menyebutkan siapa yang terindikasi meloloskan orang tersebut. Dia hanya melihat pimpinan Fakultas Teknik Unsyiah. Pimpinan itu, kan, banyak, tidak hanya dekan, tapi bisa wakil dekan dan lain-lain,” ujarnya.
Dengan dihukumnya Saiful sekalipun telah ada SKB menteri, menurut Arsyad, menunjukkan SKB itu tidak pernah dilihat oleh penegak hukum, termasuk hakim, dalam memutuskan perkara terkait UU ITE. Ada kemungkinan dalam kacamata hukum, pedoman itu bukanlah sebuah produk hukum, melainkan hanya petunjuk teknis dalam penanganan perkara.
”SKB ini tidak efekif, bukan hanya dari sisi peradilan saja, tetapi juga di kepolisian dalam proses penyelidikan dan penyidikan, SKB ini tidak digunakan oleh penegak hukum,” katanya.
Dalam kasus lain yang ditanganinya, Arsyad yang juga Koordinator Paguyuban Korban UU ITE (Paku ITE) turut mendapati SKB itu tidak efektif sebagai pedoman implementasi penerapan pasal-pasal yang dipandang multitafsir. Sebagai contoh, kasus yang menimpa Stella Monica, seorang konsumen klinik kecantikan di Surabaya, yang dijerat dengan pasal pencemaran nama baik di UU ITE, setelah ”curhat” di media sosial (medsos), lantaran kondisi wajahnya yang memburuk seusai perawatan.
Revisi terhadap UU ITE pun terus didorong agar memberikan tafsir yang lebih jelas terhadap pasal-pasal karet yang selama ini memakan banyak korban. Dengan masih berlakunya UU ITE, semua orang kini berpotensi dipidanakan. Bahkan, pernah ada kasus teman satu grup arisan, karena gosip dan pertanyaan sepele di grup percakapan, mereka berakhir saling lapor di polisi dengan UU ITE. Ada pula orang yang mengganti status di medsos dari ”single” menjadi ”in relationship” dilaporkan oleh mantan suaminya.
Khusus untuk kasus Saiful, Arsyad berharap Presiden mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh permohonan amnesti Saiful.
Dukungan pun mengalir untuk amnesti Saiful. Ada sekitar 45 pihak, baik lembaga maupun pribadi, yang menyampaikan dukungannya atas permohonan amnesti Saiful. Sebagian dari mereka mengirim surat langsung kepada Presiden. Dukungan itu, antara lain, dikirimkan oleh Pemuda Muhammadiyah Aceh, Persada Universitas Brawijaya, LP3ES, SafeNET, Dhia Al Uyun (perwakilan dosen Unsyiah Kuala), Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia, dan LBH Banda Aceh.
Kebebasan akademik
Dukungan dan permohonan amnesti juga diajukan oleh kelompok cendekiawan dan guru besar dari Australia yang bekerja atau melakukan kajian di Indonesia. Mereka mengirimkan surat permohonan amnesti dengan basis argumen tentang pentingnya perlindungan terhadap kebebasan akademik.
Kritik yang disampaikan oleh Saiful dipandang sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai akademisi untuk perbaikan institusi pendidikan tempatnya bekerja. Tindakan Saiful pun tidak dianggap bermotif pribadi. Penghukuman terhadap Saiful dianggap dapat mencoreng reputasi Indonesia dan mencederai kebebasan akademik di dunia pendidikan di Indonesia.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair), Herlambang P Wiratraman, mengatakan, pemberian amnesti oleh presiden ini sangat penting untuk mengafirmasi masih adanya kebebasan akademik di Indonesia. Perbedaan pendapat, bahkan kritik,adalah hal biasa di dunia akademik. Bahkan, melalui perbedaan pendapat itulah ilmu pengetahuan bertumbuh.
”Kriminalisasi terhadap kebebasan akademik dan kebebasan berekspresi adalah kesalahan fatal,” ujarnya.
Herlambang meyakini pemerintah memiliki itikad baik dalam kasus Saiful. Potensi pemberian amnesti terhadap Saiful pun terbuka lebar karena sebelumnya ada preseden positif dengan amnesti terhadap Baiq Nuril. Kasus Saiful ini pun menjadi ujian bagi SKB menteri yang diterbitkan oleh pemerintah. Apakah SKB itu merupakan ketentuan yang dapat dipakai ataukah tidak?
Baca juga: Baleg Sepakati Revisi UU ITE Masuk Prolegnas Prioritas 2021
Rencana pemerintah merevisi UU ITE disambut baik. Namun, hendaknya norma yang diatur di dalam revisi UU ITE itu tidak lagi membuka celah bagi lebih banyak warga yang dipidanakan karena mengemukakan pendapat. Kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagai bagian dari HAM dan demokratisasi sudah sepatutnya mendapatkan atensi semua pihak.