DPR Diharap Beri Kepastian Amnesti Saiful Mahdi pada Paripurna Kamis Besok
Surat Presiden terkait pemberian amnesti untuk Saiful Mahdi, dosen Universitas Syiah Kuala, korban UU ITE, telah diserahkan ke DPR pada 29 September. Namun, DPR belum juga memberikan pertimbangan atas amnesti itu.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain menutup masa sidang I-2021/2022, rapat paripurna, Kamis (7/10/2021) diharapkan juga memberikan kepastian tentang pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat terkait pemberian amnesti kepada Saiful Mahdi, dosen Universitas Syiah Kuala, Aceh, yang diperkarakan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Presiden Joko Widodo telah menyetujui amnesti terhadap Saiful, dan kini tinggal menunggu pertimbangan DPR.
Surat persetujuan amnesti itu dikirimkan Presiden kepada DPR pada 29 September 2021. Sesuai dengan Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Presiden harus memperhatikan pertimbangan dari DPR dalam memberikan amnesti. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, pemerintah bekerja cepat dalam memproses permohonan amnesti Saiful Mahdi tersebut.
”Alhamdulillah, kita bekerja cepat. Setelah dialog dengan istri Saiful Mahdi dan para pengacaranya, 21 September, saya langsung rapat dengan pimpinan Kemenkumham (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) serta Kejaksaan Agung, dan saya katakan pemerintah akan mengusulkan kepada Presiden untuk memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi. Lalu, tanggal 24 (September) saya lapor Presiden dan Presiden setuju,” ujar Mahfud melalui keterangan tertulis (Kompas, 6/10/2021).
Dalam pemberian pertimbangan amnesti ini, komisi yang terkait langsung dengan persoalan peradilan ialah Komisi III. Namun, hingga Rabu (6/10/2021) sore belum ada surat tugas dari pimpinan DPR terkait dengan pemberian pertimbangan amnesti terhadap Saiful Mahdi.
Ketua Komisi III DPR Herman Herry mengatakan telah mengecek ke sekretariat, dan belum ada surat tugas dari pimpinan DPR terkait hal tersebut. Namun, secara normatif, menurut Herman, DPR berpegangan pada Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi ”Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Selain itu, menurut Herman, ada pula Pasal 71 UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rayat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah (MD3). Pasal itu menyebutkan salah satu wewenang DPR adalah memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi.
”Jadi pada prinsipnya Komisi III menunggu saja arahan dari pimpinan DPR dan siap menindaklanjuti jika memang ditugaskan karena hal ini menjadi perhatian masyarakat,” ucapnya.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar membenarkan surat persetujuan dari Presiden mengenai amnesti Saiful Mahdi telah diterima DPR pada 29 September 2021.
Sebagaimana surat presiden (surpres) lainnya, surat tersebut harus dibahas terlebih dulu di dalam Badan Musyawarah (Bamus) untuk menentukan alat kelengkapan dewan (AKD) mana yang akan ditugasi oleh pimpinan dalam memberikan pertimbangan terkait amnesti tersebut.
Berkaca dari pengalaman pemberian amnesti sebelumnya, yakni kepada Baiq Nuril, pimpinan DPR menugaskan Komisi III untuk membahas surpres. Namun, hingga Rabu sore, belum ada surat tugas yang diterima oleh pimpinan Komisi III untuk merespons surpres tersebut.
”Semua surpres prinsipnya dibawa ke Bamus dulu, untuk menentukan komisi mana yang ditugasi. Namun, untuk surpres pertimbangan amnesti ini belum ada rapat Bamus sehingga belum ada komisi yang ditunjuk,” katanya.
Jadi pada prinsipnya Komisi III menunggu saja arahan dari pimpinan DPR dan siap menindaklanjuti jika memang ditugaskan karena hal ini menjadi perhatian masyarakat.
Kendati demikian, mekanisme itu dapat saja diselesaikan dalam waktu cepat. Kamis besok, pimpinan DPR bisa saja menggelar rapat Bamus untuk membahas surpres mengenai amnesti untuk Saiful sebelum rapat paripurna. Apalagi publik berharap rapat paripurna kali ini dapat sekaligus memberikan kepastian mengenai pertimbangan DPR terhadap amnesti Saiful.
Proses cepat
Pengajar pada Departemen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Herlambang P Wiratraman mengatakan, dengan waktu yang saat tersedia, praktis hanya satu hari tersisa bagi DPR untuk memberikan kepastian pembahasan atau pemberian pertimbangan terhadap persetujuan amnesti Saiful.
DPR diharapkan merespons cepat persetujuan amnesti dengan membacakan surpres tersebut dalam rapat paripurna, Kamis.
”Presiden telah menyetujui amnesti sehingga DPR sebagai wakil rakyat tentu diharapkan juga cepat merespons sikap presiden tersebut. Karena keadilan yang tertunda sama halnya dengan keadilan yang diabaikan, atau tidak ada keadilan,” katanya.
Dengan begitu, DPR dapat langsung menentukan komisi mana yang menindaklanjuti surpres tersebut. Dalam kondisi kebutuhan keadilan yang mendesak, pembahasan dan pemberian pertimbangan itu mestinya dapat segera diberikan, bahkan ketika DPR memasuki masa reses. ”Tentu jika pertimbangan itu bisa lebih cepat diberikan akan lebih baik, terlebih presiden juga telah menyetujui amnesti itu,” katanya.
Hingga saat ini, Saiful telah menjalani 1 bulan dari 3 bulan masa hukuman yang dijatuhkan oleh hakim. Peristiwa yang menimpa Saiful ini dimulai ketika pada 4 Juli 2019 ia dipanggil oleh Kepolisian Resor Kota Banda Aceh sebagai saksi dalam kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh Dekan Fakultas Teknik Unsyiah.
Setelah diperiksa, dia ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE karena diduga mencemarkan nama baik dekan tersebut melalui pesan Whatsapp.
”Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup?” Demikian bunyai pesan Saiful di dalam grup ”UnsyiahKITA”, yang anggotanya ialah dosen dan karyawan kampus Unsyiah, Februari 2019.
Tidak ada nama dan jabatan tunggal tertentu di dalam pesan itu. Anggota grup juga telah sejak awal melarang isi diskusi di dalam grup itu untuk dibawa keluar dari grup.
Pada 21 April 2020, Pengadilan Negeri Banda Aceh menjatuhkan hukuman tiga bulan penjara dan denda Rp 10 juta kepada Saiful Mahdi. Dia mengajukan banding atas putusan tersebut ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh, tetapi ditolak.
Pada 29 Juni 2021, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan Saiful Mahdi dan menguatkan vonis bersalah yang dijatuhkan PN dan PT Banda Aceh. Pada 2 September 2021, Saiful mulai menjalani masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banda Aceh.