Ujian Bertubi bagi Eksistensi Partai Demokrat
Delegitimasi pada Partai Demokrat pimpinan AHY dapat menjadi ancaman bagi demokrasi Indonesia. Namun, Partai Demokrat kubu kongres Deli Serdang juga memiliki argumen mengajukan uji materi atas AD/ART partai ke MA.
Upaya untuk mendelegitimasi Partai Demokrat pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono oleh Partai Demokrat kubu Kongres Luar Biasa Deli Serdang terus berlanjut. Belum tuntas urusan dengan sejumlah gugatan yang dilayangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kali ini partai tersebut harus menghadapi gugatan uji materi terhadap anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya. Konsolidasi dan kerja-kerja partai pun terimbas. Ancaman bagi demokrasi Indonesia.
Badai kembali menerjang eksistensi Partai Demokrat. Empat kader yang terafiliasi dengan kubu Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang mengajukan uji materi terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Demokrat Tahun 2020 ke Mahkamah Agung (MA). Gugatan yang dimaksud didaftarkan pada Selasa (14/9/2021) oleh Muh Isnaini Widodo dkk dengan termohon Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hingga Rabu (29/9/2021), merujuk pda data di laman resmi Mahkamah Agung kepaniteraan.mahkamahagung.go.id, gugatan dengan nomor registrasi 39/P/Hum/2021 tersebut masih dalam proses pemeriksaan oleh Tim C.
Para penggugat didampingi Yusril Ihza Mahendra dan Yuri Kemal Fadlullah dari Ihza & Ihza Law Firm SCBD-Bali Office. Melalui keterangan tertulis, Rabu, Yusril Ihza Mahendra membenarkan, kantor hukumnya mewakili empat anggota Partai Demokrat untuk menguji formil dan materiil AD/ART Demokrat Tahun 2020 ke MA. MA dinilai berwenang untuk menguji AD/ART parpol karena aturan itu dibuat atas perintah undang-undang dan delegasi yang diberikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Pengujian terhadap AD/ART parpol melalui pengadilan sebelumnya tidak dikenal dalam hukum Indonesia. Langkah ini pun baru pertama kali dilakukan.
Namun, menurut Yusril, pengujian AD/ART parpol penting mengingat peran krusial partai dalam demokrasi dan penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, parpol tidak boleh dibentuk dan dikelola sesuka hati oleh para pendiri atau tokoh penting melalui AD/ART yang berlawanan dengan undang-undang atau UUD 1945. Hasil uji materi ini diharapkan bisa menjadi preseden bagi anggota partai lainnya untuk melakukan hal serupa ketika muncul ketidakpuasan terhadap pedoman dasar parpol.
Baca juga : Konflik Demokrat Berlanjut, Kubu Moeldoko Minta PTUN Jakarta Sahkan KLB Deli Serdang
”MA harus melakukan terobosan hukum untuk memeriksa, mengadili, dan memutus apakah AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 bertentangan dengan undang-undang atau tidak. Apakah perubahan AD/ART dan pembentukan AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 telah sesuai dengan prosedur yang diatur oleh undang-undang atau tidak,” ujarnya.
Dalam permohonan uji materi, beberapa hal yang diajukan, antara lain, terkait kesesuaian kewenangan majelis tinggi partai yang dinilai sangat besar dengan asas kedaulatan anggota dalam UU Parpol. Sifat putusan majelis tinggi juga dipertanyakan, apakah sebatas rekomendasi atau mengikat. Selain itu, diajukan pula pengujian apakah keinginan 2/3 cabang Partai Demokrat untuk menyelenggarakan KLB harus disertai dengan persetujuan majelis tinggi.
Persoalan seputar AD/ART Partai Demokrat mengemuka seiring dengan berlangsungnya KLB Deli Serdang, 5 Maret 2021. KLB yang diklaim dihadiri 1.200 kader dari hampir semua daerah itu menetapkan dan mengesahkan Moeldoko menjadi Ketua Umum Partai Demokrat.
Persoalan seputar AD/ART Partai Demokrat mengemuka seiring dengan berlangsungnya KLB Deli Serdang, Sumatera Utara, 5 Maret 2021. KLB yang diklaim dihadiri 1.200 kader dari hampir semua daerah itu menetapkan dan mengesahkan Moeldoko, yang menjabat Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Selain itu, juga mengesahkan Jhoni Allen Marbun sebagai Sekretaris Jenderal Demokrat periode 2021-2025.
Pada hari yang sama, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam konferensi pers daring menyatakan, KLB Deli Serdang ilegal dan inkonstitusional. Sebab, penyelenggaraannya tidak mengacu pada AD/ART partai yang telah disahkan pemerintah melalui Kemenkumham.
Mengacu pada AD/ART Demokrat, syarat untuk digelarnya KLB salah satunya harus disetujui, didukung, dan dihadiri minimal 2/3 ketua dewan pimpinan daerah (DPD) dan minimal setengah dari jumlah ketua dewan pimpinan cabang (DPC). Selain itu, harus pula disetujui oleh Ketua Majelis Tinggi Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono.
Menurut AHY, ketiga klausul itu tidak dipenuhi. Tidak ada ketua DPD yang mengikuti KLB. Mengenai ketua DPC, ia mengakui ada 34 orang yang mengikuti KLB. Akan tetapi, posisi mereka sebagai ketua telah diberhentikan sebelum KLB digelar. Jadi, ia menilai tidak ada pemilik suara sah yang mengikuti KLB.
Upaya berulang
Meski tidak diakui secara internal, kubu Moeldoko mendaftarkan hasil KLB Deli Serdang ke Kementerian Hukum dan HAM untuk disahkan. Namun, pada akhir Maret 2021, Menkumham Yasonna H Laoly menolak permohonan tersebut karena dinilai tidak memenuhi syarat kelengkapan dokumen. Pemerintah pun secara resmi mengakui kepengurusan AHY sebagai pengurus Partai Demokrat yang sah.
Keputusan pemerintah tidak menghentikan upaya kubu KLB Deli Serdang. Mereka melayangkan dua gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan pertama diajukan para pengurus yang meminta majelis hakim mengesahkan hasil KLB Deli Serdang. Adapun gugatan lainnya dikirim oleh eks kader yang menuntut majelis hakim membatalkan dua surat keputusan (SK) Menkumham terkait hasil Kongres V Partai Demokrat 2020.
Baca juga : Kemenkumham Tolak KLB Demokrat Deli Serdang Pimpinan Moeldoko
Selain itu, eks kader Demokrat juga menggugat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Demokrat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan yang dimaksud terkait dengan pemecatan sejumlah kader setelah diketahui mengikuti KLB.
Juru bicara Partai Demokrat kubu KLB Deli Serdang, Muhammad Rahmad, mengatakan, gugatan uji materi terhadap AD/ART Demokrat merupakan pintu masuk untuk memenangkan gugatan di PTUN yang saat ini masih dalam proses persidangan. Jika uji materi dikabulkan oleh MA, AD/ART dan kepengurusan AHY yang saat ini terdaftar di Kemenkumham berpotensi untuk dibatalkan. ”Jika AD/ART Demokrat Tahun 2020 itu sudah bubar, tidak ada alasan lagi bagi Kemenkumham untuk tidak mengesahkan hasil KLB Deli Serdang,” ujarnya.
Bagi kubu KLB Deli Serdang, lanjut Rahmad, uji materi ini juga dilakukan untuk membuktikan bahwa AD/ART Demokrat tidak sesuai dengan UU Parpol. ”Soal bubarnya DPP AHY dan AD/ART Partai Demokrat, kami anggap itu adalah bonus,” ucapnya.
Integritas penegak hukum
Di tengah berbagai manuver hukum tersebut, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat yang juga Presiden RI 2004-2014 Susilo Bambang Yudhoyono dalam akun Twitter @SBYudhoyono pada Senin (27/9/2021), mengungkapkan masih percaya pada integritas penegak hukum. Ia pun berharap agar aparat bisa membuktikan bahwa hukum tidak berjarak dengan keadilan. ”Money can buy many things, but not everything. Mungkin hukum bisa dibeli, tapi tidak untuk keadilan,” tulis Yudhoyono.
Pembicaraan soal hukum dan uang juga dikemukakan politisi senior Demokrat, Rachlan Nasidik dan Andi Arief, melalui akun Twiter, Rabu (29/9/2021). Keduanya menyatakan siap menghadapi semua gugatan di meja hijau. Namun, mereka juga mempertanyakan sikap Yusril yang lebih memilih untuk menjadi kuasa hukum kubu KLB Deli Serdang dan klaim pembelaan terhadap demokrasi. Padahal, hal itu ditengarai karena Demokrat tidak mampu membayar jasa bantuan hukum sebesar Rp 100 miliar.
Ketika dikonfirmasi, Rachlan mengatakan, Yusril pernah mengutus anaknya, Yuri Kemal Fadlullah, untuk bertemu dengan Sekretaris Jenderal DPP Demokrat. Pertemuan yang dimaksud bertujuan membicarakan jasa layanan hukum berikut biaya yang diperlukan.
Pembicaraan soal hukum dan uang juga dikemukakan politisi senior Demokrat, Rachlan Nasidik dan Andi Arief melalui akun Twiter, Rabu (29/9/2021). Keduanya menyatakan siap menghadapi semua gugatan di meja hijau.
Yusril Ihza Mahendra merupakan advokat sekaligus ahli hukum tata negara kondang sejak era Orde Baru. Ia pernah menjabat anggota DPR/MPR pada 1999 serta menduduki beberapa posisi menteri pada era Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Terkait biaya jasa Rp 100 miliar, Yusril mengaku prihatin terhadap pernyataan tersebut. Namun, ia enggan menjawab perihal hubungan kerja dengan Partai Demokrat.
Baca juga : Safari Politik, Strategi AHY Pertahankan Partai Demokrat
Yusril mengatakan, dirinya bekerja secara profesional sebagai advokat yang merupakan salah satu unsur penegak hukum sesuai ketentuan UU Advokat. Pihaknya tak ingin mencampuri urusan pertikaian antarkubu yang terjadi di Demokrat. ”Urusan politik adalah urusan internal Partai Demokrat. Kami fokus pada persoalan hukum yang dibawa kepada kami untuk ditangani,” ucapnya.
Di tengah perseteruan para politisi Demokrat, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD ikut berkomentar. Ia mengatakan, gugatan uji materi terhadap AD/ART Partai Demokrat tidak ada gunanya karena hasilnya tidak bisa menjatuhkan kepengurusan AHY. Kalaupun berhasil, keputusan hakim hanya berlaku ke depan. Artinya, dengan putusan itu hal yang bisa dilakukan paling jauh adalah perbaikan AD/ART, tetapi tidak mengubah susunan pengurus partai saat ini.
Mengenai isu keterlibatan pemerintah dalam kisruh ini, Mahfud menepisnya. Menurut dia, jika memang pemerintah bermaksud turut campur, semestinya sudah dilakukan sejak KLB Deli Serdang berlangsung. Namun, saat agenda itu diselenggarakan, perwakilan pemerintah justru menghadap Presiden untuk mendiskusikan agenda itu secara hukum.
”Kajian secara hukum tidak boleh ada muktamar di luar muktamar yang diadakan oleh kepengurusan yang sah. Maka, Presiden menyuruh tegakkan hukum. Karena itulah muktamar versi Moeldoko tidak bisa disahkan,” ujarnya.
Menanggapi pernyataan itu, Yusril menilai Mahfud belum membaca permohonan uji formil dan materiil yang diajukan secara saksama sehingga komentar yang dikeluarkan terkesan di luar konteks. Mahfud dinilai fokus pada upaya menjatuhkan kepengurusan DPP Partai Demokrat, padahal sebagai advokat, Yusril mengklaim tidak berurusan dengan hal tersebut. ”Bahwa ada para politisi yang akan memanfaatkan putusan MA nanti jika sekiranya dikabulkan untuk kepentingan politik mereka, saya tidak ikut campur. Saya bekerja profesional sebagai advokat,” ujarnya.
Ia menyarankan Mahfud sebagai Menko Polhukam tidak perlu banyak berkomentar mengenai perkara yang tengah diperiksa MA. Pemerintah diminta netral dan menyerahkan penanganan perkara sepenuhnya kepada MA. Apa pun putusan yang nanti dikeluarkan, semua pihak mesti menghormati keputusan lembaga yudikatif tertinggi itu.
Ancaman demokrasi
Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra mengakui, sejumlah upaya delegitimasi Demokrat berimbas pada kerja kader, terutama dalam penanganan pandemi Covid-19. Mau tidak mau harus ada energi, perhatian, dan tenaga yang dicurahkan untuk menghadapi serangan hukum yang datang bertubi-tubi dalam beberapa bulan terakhir. ”Bagaimanapun, kegiatan kami dalam membantu rakyat menghadapi pandemi Covid-19 agak terganggu karena kami mesti berbagi dengan persoalan ini. Ini yang sangat kami sayangkan,” katanya.
Kendati demikian, lanjut Herzaky, semua kader Demokrat di seluruh wilayah saat ini justru semakin solid. Ujian yang tengah dihadapi membuat mereka kian intens berkonsolidasi mewaspadai setiap ancaman. ”Ada aura perlawanan luar biasa besar yang siap ditumpahkan sewaktu-waktu. Kalau ada penzaliman, kami tidak akan segan-segan untuk turun,” ujarnya.
Baca juga : Dua Kubu Saling Klaim soal Keabsahan AD/ART Partai Demokrat
Peneliti politik senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro, mengatakan, delegitimasi yang terjadi pada Demokrat merupakan ancaman bagi demokrasi Indonesia. Hal ini sekaligus memperlihatkan bahwa para elite tidak siap berkontestasi sesuai aturan. Persaingan cenderung dilakukan dengan cara yang tidak etis, bahkan bisa melanggar hukum.
Semestinya, kata Siti, seseorang yang hendak menduduki kursi pimpinan sebuah parpol bersedia mengikuti aturan main yang telah ditetapkan, mulai dari menjadi kader hingga mengikuti AD/ART.
Dalam kondisi politik yang sehat, parpol lain juga seharusnya aktif memberikan dukungan untuk menjaga kedaulatan parpol lain.
Dalam kondisi politik yang sehat, parpol lain juga seharusnya aktif memberikan dukungan untuk menjaga kedaulatan parpol lain. Sebab, parpol merupakan institusi yang berperan krusial dalam sistem demokrasi sebagaimana tertulis dalam konstitusi. Keberhasilan manuver politik lewat berbagai jalur untuk merenggut kedaulatan partai bisa terulang kembali nantinya.
”Sekali berhasil pada satu partai, ini akan terjadi pada partai-partai lain. Ini berangkat dari kontestasi yang tidak sehat dan penegakan hukum kita yang selalu rapornya merah,” kata Siti.