Konsep pemasyarakatan telah bergeser dari pemenjaraan ke arah pembinaan. Namun, untuk kejahatan-kejahatan tertentu, termasuk kejahatan luar biasa, hakim yang mesti memberikan pemberatan dalam putusannya.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pascaputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pemberian remisi merupakan hak bagi setiap narapidana, kini opsi untuk membatasi hak narapidana dinilai sebaiknya diserahkan kepada putusan hakim. Artinya, jika ada pembatasan yang ingin diberikan hakim sebagai bagian dari vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa, hal itu mesti disampaikan di putusan.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STH) Jentera, Anugerah Rizki Akbari, dihubungi dari Jakarta, Jumat (1/10/2021), mengatakan, konsep pemasyarakatan telah bergeser dari pemenjaraan ke arah pembinaan dan pemasyarakatan. Meski demikian, untuk kejahatan-kejahatan tertentu, termasuk kejahatan luar biasa, hakim yang mesti memberikan pemberatan dalam putusannya.
Dalam jenis kejahatan tertentu, seperti korupsi, efektivitasnya justru lebih terasa apabila ada perampasan aset milik koruptor dan tidak berorientasi pada penghukuman badan. ”Dalam kasus korupsi sekalipun, pembatasan hak dia itu seharusnya menjadi putusan hakim. Selanjutnya, putusan hakim itulah yang dieksekusi, termasuk apabila ada pembatasan tertentu,” katanya.
Pada Kamis, MK memutus permohonan uji materi dari mantan advokat senior OC Kaligis yang juga terpidana kasus suap hakim PTUN Medan. Dia mengajukan uji materi Pasal 14 Ayat (1) Huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan berikut penjelasannya. Ia mengeluhkan, meski telah menjalani masa pidana lebih dari 6 tahun, pemohon tidak mendapatkan remisi atau pengurangan hukuman akibat ketentuan PP No 99/2012.
Kaligis juga mempersoalkan norma Pasal 14 Ayat (1) Huruf i UU No 12/1995 yang mengatur tentang hak remisi bagi narapidana sebagai sebuah ketentuan yang multitafsir. MK dalam putusannya menolak permohonan Kaligis. Namun, dalam pertimbangan yang dibacakan hakim konstitusi Suhartoyo, MK menegaskan, substansi norma pada peraturan pelaksana UU No 12/1995 harus mempunyai semangat yang sebangun dengan filosofi pemasyarakatan yang mengakomodasi dan memperkuat pelaksanaan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta konsep restorative justice. Maka remisi harus diberikan tanpa terkecuali.
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana menilai putusan MK tersebut problematik dan kembali melemahkan agenda pemberantasan korupsi. Ia juga menilai MK telah melakukan penyelundupan hukum dengan menyelipkan dalam pertimbangan hukum yang membuka peluang penafsiran terhadap PP No 99/2012 yang seharusnya bukan obyek uji materi MK (Kompas, 1/10/2021).
Problematik
Pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan di satu sisi dinilai problematik, terutama karena sampai saat ini undang-undang di Tanah Air belum memiliki definisi yang jelas mengenai pengedar narkotika. Akhirnya, pengguna dapat dengan mudah disangkakan dengan pasal kepemilikan dan pengedaran narkotika. Dengan adanya PP No 99/2012, mereka kesulitan menerima remisi, asimilasi, dan hak-hak napi lainnya. Kondisi ini berujung pada kepadatan lembaga pemasyarakatan (lapas).
PP No 99/2012 mengatur syarat pemberian remisi kepada pelaku kejahatan luar biasa (extraordinary), yakni harus menjadi justice collabolator, pelaku kejahatan yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar jaringan kejahatannya. Beberapa jenis kejahatan yang mesti mendapatkan syarat khusus itu, antara lain, korupsi, terorisme, dan peredaran narkotika.
”Layak tidaknya seorang napi mendapatkan remisi dan hak-haknya mestinya dinilai oleh pemerintah melalui proses pemasyarakatan. Namun, itu bukan berarti mereka tidak akan pernah memperoleh hak-haknya,” katanya.
Dalam kasus terorisme, misalnya, dalam penanganannya tidak berorientasi pada pemenjaraan semata, tetapi harus ada program khusus yang diadakan di dalam lapas untuk menetralisasi paham radikal. Adapun untuk kejahatan narkotika, menurut Rizki, yang mestinya dipotong ialah rantai bisnisnya, dan pengendaliannya agar tidak disalahgunakan. Selain juga merehabilitasi pengguna narkotika, dan bukannya memenjarakannya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Trimedya Panjaitan, mengatakan, PP 99/2012 tidak sesuai dengan filosofi pemasyarakatan. Pemasyarakatan seharusnya dipahami sebagai upaya mengembalikan pelaku kejahatan ke masyarakat sebagai pribadi yang lebih baik. Dalam prosesnya warga binaan akan melalui pembinaan intensif dan ketika menunjukkan perkembangan positif sudah sewajarnya mereka mendapatkan apresiasi atau penghargaan berupa remisi atau pengurangan masa hukuman.
”Pemberian remisi itu pun harus bersifat umum, tidak boleh dikecualikan. Filosofinya dalam pemenjaraan atau pemasyarakatan itu agar orang yang dipenjara itu menjadi orang yang lebih baik. Ketika dia sudah menjadi baik, harus ada reward. Misalnya, dalam tindak pidana korupsi yang paling penting itu kan pengembalian keuangan negara. Untuk apa orang dihukum 20 tahun, tetapi uangnya tidak kembali,” ujarnya.
Ketentuan di PP No 99/2012, menurut Trimedya, menyalahi filosofi dan prinsip pemasyarakatan. Kalaupun ada syarat yang mesti dibuat dalam pemberian asimilasi, remisi, dan pembebasan bersyarat, serta hak-hak lainnya, itu seharusnya berkaitan dengan upaya mencegah remisi dan hak-hak warga binaan itu dijadikan komoditas transaksional.
”Seharusnya kalau mau dibuat batasan ialah untuk mencegah remisi itu jadi komoditas yang transaksional. Maka dibuatlah pembatasan agar orang bisa memperoleh remisi dengan syarat-syarat tertentu. Namun, bukan berarti menyulitkan atau menutup potensi napi memperoleh hak-hak mereka,” ucapnya.
Dalam diskusi media di Media Center DPR, Wakil Ketua Komisi III DPR Adies Kadir mengatakan, sejumlah kejahatan berat yang diatur di dalam PP No 99/2012 menyumbang overkapasitas 30-40 persen.
”Karena apa, di Pasal 34 Ayat 1 itu semua narapidana mulai terorisme, narkotika, korupsi, psikotropika, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan terhadap hak asasi manusia yang berat, kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, kejahatan ilegal logging, trafficking, hampir semuanya ada di sana. Itu mengambil porsi yang besar, sedangkan maling-maling sedikit, seperi maling ayam, maling baju, dan lainnya,” katanya.
Ia sependapat agar ada pengaturan kembali terkait dengan PP No 99/2012. Menurut dia, kalau pengaturan di PP No 99/2012 tidak direvisi, termasuk juga UU Pemasyarakatan, kepadatan lapas akan terus terjadi. RUU Pemasyarakatan itu pun telah masuk sebagai RUU Prolegnas Prioritas 2021.
Direktur Center for Detention Studies Ali Aranoval mengatakan, pengaturan dan pembatasan hak-hak napi memang sebaiknya dilakukan melalui putusan hakim. Di beberapa negara, seperti di Amerika Serikat, hakim yang memutuskan apakah seseorang itu akan diberikan pembebasan bersyarat ataukah tidak. Mekanisme itu tidak diserahkan kepada pemerintah atau pun penegak hukum seperti yang terjadi di Indonesia.
”Kalau itu sudah menjadi putusan hakim, tentu semua harus melakukan. Kalau itu diatur oleh PP, yang mana berpotensi diskriminatif atau tidak sesuai dengan konsepsi di UU Pemasyarakatan, hal itu memang akan problematik,” ujarnya.