Partai politik dinilai tetap harus bertanggung jawab atas perilaku koruptif kadernya. Apalagi, di sejumlah kasus, didapati ada korelasi antara uang hasil korupsi dan pembiayaan kepentingan partai.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
Publik belakangan ini tak henti disuguhi penangkapan politisi akibat tersandung kasus korupsi. Sayangnya, partai-partai yang menelurkan para politikus tersebut seakan tak kunjung berbenah diri. Pemberian sanksi tegas bagi partai patut dipertimbangkan agar demokrasi ini tak terus digerogoti praktik korupsi yang berkepanjangan.
Pucuk pimpinan DPR dari Partai Golkar, Azis Syamsuddin, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus dugaan suap terhadap bekas penyidik KPK, Stepanus Robin Pattuju, pada akhir pekan lalu. Sebelumnya, partai beringin itu juga telah dihantam badai kasus korupsi yang melibatkan salah satu kadernya, Alex Noerdin.
Sejumlah kader dari parpol lain juga tak terlepas dari jerat kasus korupsi. Sebut saja bekas Menteri Sosial Juliari Batubara dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Gubernur Sulawesi Selatan nonaktif Nurdin Abdullah (PDI-P), bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (Gerindra), Bupati Kolaka Timur Andi Merya Nur (Gerindra), Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari (Nasdem), anggota DPR Hasan Aminuddin (Nasdem), serta eks Bupati Sidoarjo Saiful Ilah (Partai Kebangkitan Bangsa).
Namun, dalam diskusi Satu Meja The Forum bertajuk ”Parpol di Pusaran Korupsi” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (30/9/2021) malam, Ketua Badan Advokasi Hukum dan HAM DPP Partai Golkar Supriansa mengatakan, tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kader tidak bisa serta-merta dihubungkan dengan partai. Sebab, tindakan tersebut merupakan tindakan individu, bukan merupakan kebijakan partai.
”Jadi, jangan dianggap bahwa (tindakan korupsi) ini adalah kebijakan parpol. Parpol ini, menurut saya, suci dia berdiri. Artinya, dia adalah sebuah kendaraan. Kendaraan ini dikendarai oleh si A, si B, dan si C, dengan segala pengurusnya. Jadi, mobilnya ada, tinggal bagaimana kita mengendarai, lalu siapa-siapa penumpang-penumpangnya yang naik,” ujar Supriansa.
Diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu turut menghadirkan anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, serta sejumlah narasumber yang tersambung melalui telekonferensi video, yakni politikus PDI-P, Masinton Pasaribu; aktivis antikorupsi Saor Siagian; serta mantan penyidik KPK, Ronald Paul.
Supriansa menjelaskan, sebenarnya, jauh sebelum penyelenggaraan pemilu, entah pemilihan legislatif maupun kepala daerah, parpol selalu berusaha untuk mencermati rekam jejak dan integritas dari para kadernya yang akan maju. Namun, godaan itu akan selalu muncul ketika mereka sudah duduk sebagai pejabat publik.
”Ketika dia bisa mengambil sebuah kebijakan, di situlah ada godaan masuk dan itu masuk ke individu. Kalau tidak mampu menahan itu, jebol pertahanannya. Namun, dikatakan, embel-embelnya dia adalah kader partai, itu benar kader partai karena masuk melalui pintu partai,” ucap Supriansa.
Ketika dia bisa mengambil sebuah kebijakan, di situlah ada godaan masuk dan itu masuk ke individu. Kalau tidak mampu menahan itu, jebol pertahanannya.
Masinton Pasaribu pun sependapat dengan Supriansa. Jika ada kader partainya yang melakukan tipikor, itu berarti merupakan persoalan individu, bukan partai. Sebab, komitmen partai jelas bahwa tidak ada tawar-menawar terhadap perilaku koruptif.
”Partai, kan, lagi pula tidak bisa day to day (hari per hari) mengawasi perilaku kader, ya, sehari-hari dia ngapain, komunikasi dengan siapa, lalu tugas dia apa saja,” kata Masinton.
Artinya, menurut Masinton, ada persoalan yang lebih krusial dan patut segera dibenahi. Ia melihat, hulu persoalan korupsi ini adalah politik berbiaya tinggi. Untuk itu, sistem politik di Indonesia harus ditata kembali, mulai dari pembiayaan parpol, pembiayaan kampanye setiap calon kepala daerah dan legislatif, hingga aspek pertanggungjawaban, pengauditan, serta sanksi terhadap kader partai ataupun partai politik yang terlibat dalam pusaran korupsi.
”Kalau tidak (ada perubahan) dan dibiarkan begini terus, ini akan terjadi pengulangan-pengulangan, adalah kasus suap ini-itu. Maka, kita harus mencari formula yang tepat,” ujar Masinton.
Mengambil tanggung jawab
Titi Anggraini memiliki pandangan lain. Menurut dia, partai politik tetap harus bertanggung jawab atas perilaku koruptif kadernya. Apalagi, di sejumlah kasus, didapati ada korelasi antara uang hasil korupsi dan pembiayaan kepentingan partai.
Misalnya, dalam persidangan mantan anggota DPR dari PDI-P, Damayanti Wisnu Putranti, terungkap bahwa Damayanti menerima suap untuk kepentingan pilkada. Kasus lain, mantan Sekretaris Jenderal Golkar Idrus Marham terbukti berperan atas pemberian uang yang digunakan untuk kepentingan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar.
”Dalam konteks persidangan, kan, ada korelasinya begitu. Nah, di sinilah kita berharap terobosan dari parpol untuk mengambil tanggung jawab lebih,” ucap Titi.
Titi mengusulkan sejumlah langkah terobosan guna meminimalkan pusaran korupsi yang melibatkan kader parpol. Ia mengungkapkan, partai hanya takut pada dua hal. Pertama, tak bisa menjadi peserta pemilu. Kedua, tidak mendapat kursi.
Karena itu, misal, jika pelaku melakukan korupsi di daerah pemilihan Banten III, pemilu ke depan partai tersebut tidak bisa menjadi peserta pemilu di dapil tersebut. Lalu, contoh lain, jika kader partai terbukti melakukan praktik korupsi saat menjabat mewakili partai, hak pergantian antarwaktunya diberikan kepada partai lain atau dibiarkan kosong.
”Persoalan korupsi ini persoalan laten di bangsa kita dan persoalan kejahatan luar biasa. Jadi, langkahnya harus extraordinary, luar biasa. Kalau tidak ada langkah yang luar biasa, selalu kemudian ada toleransi ataupun seolah-olah diskoneksi antara kader yang korupsi dan partainya. Padahal, ini sudah menjadi patologi demokrasi kita yang luar biasa,” tutur Titi.
Saor Siagian setuju dengan pendapat Titi. Jika kembali ke sakralitas partai, konsekuensinya harus ada penghukuman yang tegas kepada partai politik. Sebab, bagaimanapun juga, menurut dia, sang pelaku melakukan tipikornya saat menduduki jabatan politik di mana dahulu partai ikut berperan agar pelaku memperoleh jabatan tersebut.
Ia pun mengemukakan, persoalan korupsi kader parpol ini harus diselesaikan secara holistik. Jika publik tidak ingin lagi ada kader parpol yang terjerat korupsi, mereka juga tidak boleh menerima uang dari para kandidat saat tahapan kampanye pemilihan. Sebab, ini ada kaitannya dengan politik berbiaya tinggi. Saat kandidat itu terpilih, mereka rentan akan melakukan tipikor demi mengembalikan modal politiknya.
”Harus balance, harus holistik, itu yang kita harapkan nanti, kita bisa mendapatkan kader-kader partai yang mempunyai integritas,” ucap Saor.