Ditegaskannya pemberian remisi adalah otoritas Lapas oleh MK membuat PP No 99/2012 menjadi kurang relevan. Sebab, PP itu mengatur remisi untuk napi tindak pidana khusus, seperti korupsi, ditentukan oleh penegak hukum.
Oleh
SUSANA RITA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menegaskan, pemberian remisi menjadi otoritas penuh lembaga pemasyarakatan tanpa diintervensi oleh lembaga lain, terutama jika campur tangan itu bertentangan dengan semangat pembinaan para warga binaan. Setiap warga binaan berhak mendapatkan hak tersebut tanpa pengecualian. Pengecualian hanya dapat dilakukan dengan putusan hakim.
Dengan demikian, putusan tersebut menjadikan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan menjadi kurang relevan. Sebab, dalam PP tersebut diatur, khusus untuk narapidana tindak pidana khusus, seperti korupsi, narkotika, dan terorisme, pemberian remisi dilakukan jika yang bersangkutan mengantongi status sebagai justice collaborator yang dinyatakan secara tertulis oleh instansi penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung, dan Badan Narkotika Nasional (BNN). Hal itu terdapat dalam PP No 99/2012, khususnya Pasal 34A Ayat (1) dan (3) beserta penjelasannya.
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana, Kamis (30/9/2021), menilai putusan MK tersebut problematik dan kembali melemahkan agenda pemberantasan korupsi. Ia juga menilai MK telah melakukan penyelundupan hukum dengan menyelipkan dalam pertimbangan hukum yang membuka peluang penafsiran terhadap PP No 99/2012 yang seharusnya bukan obyek uji materi MK.
Kasus ini bermula ketika mantan advokat senior OC Kaligis, yang juga terpidana kasus suap hakim PTUN Medan, mengajukan uji materi Pasal 14 Ayat (1) Huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, berikut penjelasannya. Ia mengeluhkan, meski telah menjalani masa pidana lebih dari 6 tahun, pemohon tidak mendapatkan remisi atau pengurangan hukuman akibat ketentuan PP No 99/2012. Kaligis pun mempersoalkan norma Pasal 14 Ayat (1) Huruf i UU No 12/1995 yang mengatur tentang hak remisi bagi narapidana sebagai sebuah ketentuan yang multitafsir.
MK dalam putusannya menolak permohonan Kaligis. Bagi MK, rumusan norma Pasal 14 Ayat (1) Huruf i sudah jelas. Permasalahan yang dihadapi Kaligis bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan pada tataran pelaksanaan norma. MK juga mengutip putusan sebelumnya, yakni putusan 54/PUU-XV/2017, yang telah menegaskan bahwa remisi merupakan hak hukum (legal rights) yang diberikan negara kepada narapidana sepanjang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Remisi bukanlah hak yang tergolong ke dalam kategori hak asasi manusia (human rights) dan bukan tergolong hak konstitusional (constitutional rights) sehingga dapat dilakukan pembatasan sesuai peraturan perundang-undangan. Pemerintah berwenang untuk mengatur syarat pemberian remisi tersebut.
Meskipun telah jelas bahwa pemerintah diberi wewenang oleh Pasal 14 Ayat (2) Huruf i untuk mengatur hal tersebut, MK merasa perlu memberikan sejumlah pertimbangan. Apalagi, banyak perkara yang masuk ke MK yang mempersoalkan perlakuan diskriminasi dalam pemberian hak-hak napi, termasuk remisi bagi narapidana kasus korupsi yang diatur dalam peraturan pelaksana (PP) dan bukan UU induknya. Dengan alasan sebagai pelindung hak konstitusional warga sekaligus pengawal demokrasi, MK perlu memberikan pertimbangan meskipun pemberian remisi merupakan implementasi norma yang bukan menjadi kewenangan MK untuk mengadilinya.
Dalam pertimbangan yang dibacakan hakim konstitusi Suhartoyo, MK menegaskan, substansi rumusan norma pada peraturan pelaksana UU No 12/1995 harus mempunyai semangat yang sebangun dengan filosofi pemasyarakatan yang mengakomodasi dan memperkuat pelaksanaan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta konsep restorative justice.
”Berkaitan dengan hal tersebut, sejatinya hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali. Artinya, berlaku sama bagi semua warga binaan untuk mendapatkan haknya secara sama, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan,” kata Suhartoyo.
MK juga menegaskan, selama warga binaan menjalani masa pidana tersebut, harus diberikan hak-haknya yang bersifat mendasar dengan prinsip bahwa satu-satunya hak yang hilang adalah hak untuk hidup bebas.
MK juga menegaskan, selama warga binaan menjalani masa pidana tersebut, harus diberikan hak-haknya yang bersifat mendasar dengan prinsip bahwa satu-satunya hak yang hilang adalah hak untuk hidup bebas. Pemerintah tetap dapat mengatur persyaratan yang harus dipenuhi oleh napi untuk memperoleh hak hukum (remisi) tersebut. Namun, persyaratan tersebut tidak boleh bersifat membeda-bedakan dan justru dapat menggeser konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang ditetapkan, selain juga mempertimbangkan overcrowded di LP yang saat ini menjadi permasalahan utama dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia.
Syarat pemberian remisi, menurut MK, juga tidak relevan jika dikaitkan dengan peristiwa hukum yang sebenarnya sudah dipertimbangkan dan diputuskan majelis hakim. Misalnya, apakah tersangka atau terdakwa mengakui perbuatannya dan tidak secara jujur mengakui keterlibatan pihak lain dalam tindak pidana yang dimaksud. Hal-hal tersebut telah dipertimbangkan majelis hakim saat memidana yang bersangkutan, dalam pertimbangan yang memberatkan hukuman.
”Oleh karena itu, sampai di titik tersebut, segala kewenangan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan persidangan pengadilan telah berakhir, dan selanjutnya menjadi ruang lingkup sistem pemasyarakatan, sehingga hal-hal tersebut kehilangan relevansinya apabila dikaitkan dengan syarat pemberian remisi bagi narapidana,” ujar Suhartoyo.
Obral remisi
Terkait putusan tersebut, Denny menilai, putusan MK melemahkan agenda pemberantasan korupsi. Ada tiga undang-undang yang coba digolkan untuk melemahkan pemberantasan korupsi, yaitu UU KPK yang telah berhasil mengubah KPK saat ini, KUHP yang masih berproses, dan UU Pemasyarakatan, khususnya terkait pengetatan pemberian remisi melalui PP No 99/2012.
”Saya haqul yakin bahwa putusan MK terakhir ini akan digunakan sebagai pembuka pintu untuk mencabut PP No 99/2012 yang esensinya adalah menutup cara-cara obral remisi yang selama ini dihamburkan kepada para koruptor,” ujarnya.
Ia juga melihat MK mencoba menyelipkan argumen yang membuka peluang penafsiran terhadap PP No 99/2012 yang seharusnya bukan obyek uji materi MK. Menurut dia, hal itu merupakan bentuk penyelundupan hukum yang koruptif di mana MK masuk ke wilayah yang bukan kewenangannya mengingat kewenangan pengujian PP No 99/2012 ada di Mahkamah Agung.
Selain itu, Denny juga menilai putusan MK tidak konsisten. Di satu sisi MK mengakui bahwa remisi merupakan hak hukum yang menjadi kewenangan pemerintah untuk mengatur syarat-syarat pemberiannya, tetapi di sisi lain MK dalam pertimbangan hukumnya masuk dalam wilayah implementasi norma yang bukan merupakan kewenangannya. ”Ada inkonsistensi antara pola pikir MK dalam putusan ini yang lebih koruptif dan pola pikir MK dalam putusannya yang lebih antikorupsi. Petanyaannya, ada apa dengan MK?” ujar Denny.
Pemerintah saat ini memang tengah mengusulkan UU Pemasyarakatan untuk direvisi dan telah menjadi salah satu rancangan undang-undang prioritas untuk dibahas dalam prolegnas tahun ini. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, mengungkapkan, pihaknya memang telah mengagendakan rapat kerja dengan Menteri Hukum dan HAM untuk membahas rencana revisi UU Pemasyarakatan. Namun, hingga kini hal itu belum terlaksana.