Kehadiran Calon Hakim Agung di Paripurna Jadi Tanda Tanya
Hakim dituntut untuk bisa melihat dasar hukum dari rasa keadilan di masyarakat. Jika nilai hukum dan keadilan di masyarakat yang diangkat, tentu keputusan itu akan memenuhi rasa keadilan di masyarakat.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kehadiran calon hakim agung yang disetujui Komisi III DPR ke Rapat Paripurna DPR memunculkan pertanyaan bagi publik. Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) menilai, ini adalah tradisi baru yang kontradiktif bagi calon karena dapat dianggap sebagai utang budi secara politik ke parlemen.
Seusai disetujui dalam rapat pleno tertutup di Komisi III, Selasa (21/9/2021), tujuh nama calon hakim agung kemudian dibawa ke Rapat Paripurna DPR. Tujuh nama yang disetujui Komisi III DPR itu adalah lima orang dari kamar pidana, yaitu Dwiarso Budi Santiarto, Jupriyadi, Prim Haryadi, Suharto, dan Yohanes Priyana, serta dari kamar perdata ada Haswandi dan Brigadir Jenderal (TNI) Tama Ulinta Br Tarigan sebagai calon hakim kamar militer. Ketujuh calon itu juga terlihat hadir di ruang paripurna DPR. Sebelum rapat paripurna dimulai, calon hakim Suharto dan Haswandi terlihat hadir di ruang rapat Komisi III.
Juru Bicara Pemantau Peradilan Erwin Natosmal Oemar saat dihubungi mengatakan, kehadiran calon hakim agung di paripurna merupakan tradisi baru. Sebelumnya, nama calon hakim yang disetujui DPR hanya diumumkan di rapat Komisi III dan paripurna. Kehadiran para calon ini pun membuat koalisi bertanya-tanya sebab kehadiran itu bisa berdampak negatif. Tidak tertutup kemungkinan, situasi itu membuat calon hakim agung seolah berutang budi secara politik kepada parlemen.
Ke depan, Komisi Yudisial harus bertanggung jawab dalam proses persetujuan di DPR. Jangan biarkan calon hakim bertemu langsung dengan parlemen karena dapat membahayakan independensi calon hakim agung itu ke depan. KY harus memagari CHA (calon hakim agung) agar tidak terlibat dalam negosiasi politik dengan parlemen,” kata Erwin.
Erwin menilai, proses persetujuan di DPR ternyata berpotensi mendegradasi proses yang sudah dilakukan KY. Calon yang disebut mendapatkan rapor istimewa dari KY justru tidak disetujui oleh DPR. Adapun calon yang bermasalah, baik dari sisi rekam jejak maupun integritasnya, justru malah disetujui oleh DPR. Misalnya, calon hakim yang pernah melarang menyiarkan sidang korupsi besar secara langsung. Calon hakim yang diduga melanggar kode etik dan berpotensi konflik kepentingan dengan pihak luar. Serta, calon hakim yang pernah menerima permohonan peninjauan kembali (PK) sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
”Melihat proses seperti ini, ke depan hasil seleksi KY jangan lagi dilakukan secara tertutup. KY harus memublikasikan kinerjanya pascaproses seleksi sehingga publik bisa memantau dan memberikan masukan dalam tahap selanjutnya,” kata Erwin.
Sebelumnya, Ketua Komisi III Herman Herry mengatakan, calon yang dipilih oleh Komisi III telah disetujui oleh kelompok fraksi (poksi). Mereka yang terpilih adalah calon yang dianggap terbaik oleh Komisi III. Penumpukan perkara di Mahkamah Agung dan kebutuhan calon hakim agung harus segera dipenuhi. Atas pandangan itu, Komisi III mencari hakim dengan penilaian paling tinggi. Dia tak memungkiri, parameter yang dipakai DPR subyektif. DPR menggunakan hak politiknya untuk memilih calon yang paling dianggap terbaik dari yang disodorkan KY.
”Tidak ada aturan yang menyebut bahwa mereka yang mendapatkan nilai terbaik dari KY harus disetujui oleh DPR. Ini adalah hak politik dari anggota DPR,” kata Herman.
Juru bicara Komisi Yudisial, Miko Ginting, mengatakan, KU menghormati keputusan yang sudah diambil oleh Komisi III DPR. Kewenangan itu sudah diatur di norma konstitusi, di mana pengusulan calon hakim agung dari Komisi Yudisial memerlukan persetujuan dari DPR. Proses seleksi yang dilakukan KY sudah mendorong prinsip transparansi dan akuntabilitas.
”Proses di KY bertujuan untuk memperoleh calon hakim agung yang kredibel, kompeten, berintegritas, dan memiliki kapasitas kenegarawanan yang tinggi. Namun, keputusan akhir tetap berada di DPR,” kata Miko.
Kekurangan hakim
Juru bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro, mengatakan, MA sebelumnya memang mengajukan kebutuhan hakim sebanyak 13 orang untuk mengisi kekurangan yang ada. Ada sejumlah hakim yang pensiun dan meninggal dunia karena Covid-19. Namun, pada akhirnya, setelah melalui proses seleksi yang panjang, akhirnya DPR menyetujui 7 orang dari 11 calon hakim agung yang diajukan oleh KY. Masuknya tujuh hakim agung baru itu diharapkan dapat memberi konstribusi pada perbaikan MA ke depan. Baik dari sisi penyelesaian perkara maupun dari peningkatan kualitas putusan yang dapat menjembatani antara kepastian hukum, keadilan sosial, dan keadilan moral.
”Meski kami hanya mendapatkan tujuh hakim agung, MA sudah bersyukur. Yang terpenting, DPR dan KY memahami dan memenuhi kebutuhan hakim agung, terutama di kamar pidana,” kata Andi.
Menurut Andi, MA membutuhkan calon hakim yang tidak hanya memenuhi kuantitas, tetapi juga secara kualitas. MA berharap ke depan KY dan DPR dapat memenuhi kekurangan hakim agung, termasuk hakim agung di kamar tata usaha negara (TUN) khusus pajak.
Salah satu calon terpilih, Prim Haryadi, mengatakan, dirinya akan bersinergi dengan visi dan misi MA, yaitu mendorong terwujudnya badan peradilan yang agung. Adapun misinya secara pribadi sebagai hakim agung adalah berusaha berkontribusi untuk perbaikan kelembagaan MA. Dia berharap dapat berkontribusi dalam perbaikan MA. Prim juga menyadari bahwa selama seleksi calon hakim agung ini, banyak rumor negatif yang beredar tentang dirinya. Namun, dia merasa semua itu sudah terklarifikasi dalam seleksi yang diadakan di KY ataupun uji kelayakan dan kepatutan di DPR.
”Saya sudah sampaikan berkaitan dengan tugas saya di bagian sumber daya manusia di MA. Ada orang yang belum waktunya kita mutasi karena ada informasi dari aparat penegak hukum ataupun Badan Pengawas MA sehingga wajar jika ada banyak selentingan tentang saya,” kata Prim.
Hakim agung untuk kamar perdata, Haswandi, mengatakan, dirinya berharap dapat menyerap aspirasi masyarakat, menegakkan keadilan sesuai dengan fakta-fakta hukum yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Hukum berkembang dalam kehidupan masyarakat sehingga disebut sebagai the living law. Apabila peraturan perundang-undangan sudah tertinggal, hakim dituntut untuk bisa melihat dasar hukum dari rasa keadilan di masyarakat. Jika nilai hukum dan keadilan di masyarakat yang diangkat, tentu keputusan itu akan memenuhi rasa keadilan di masyarakat.
”Di MA, saya berharap bisa memperbaiki aturan mengenai eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Bagaimana agar eksekusi ini dapat dilaksanakan dengan cepat agar masyarakat tidak hanya menang di atas kertas, tetapi juga menikmati proses persidangan yang panjang. Saya ingin membentuk satu unit khusus di MA yang khusus mengurusi masalah eksekusi,” kata Haswandi.