Bahaya Pembungkaman dan Penghasutan
Peristiwa Tanjung Priok 1984 menyisakan pelajaran penting dalam hidup bernegara. Sikap pemerintah yang otoriter dan membungkam kebebasan berpendapat memicu kemarahan warga yang diperparah oleh penghasutan.
Peristiwa kelam penembakan dan penghilangan paksa Tanjung Priok 1984, telah 37 tahun berlalu. Meski sebagian pelaku pelanggaran HAM berat itu sudah diadili, kekecewaan korban dan keluarganya masih tersisa karena peradilan dianggap penuh rekayasa. Terlebih, peristiwa itu disebabkan sikap pemerintah yang tak mendengarkan warga. Dampaknya, tindakan aparat pun disikapi warga dengan kemarahan dan dibumbui penghasutan.
Wanma Yetti (57) harus kehilangan ayahnya saat usianya 20 tahun. Ayahnya, Bahtiar, diduga tewas saat bentrokan antara warga dan militer di Tanjung Priok, 12 September 1984 malam. Hingga kini, jasad dan pusara ayahnya tak diketahui keberadaannya.
Sepeninggal ayahnya, Yetti tak bisa melanjutkan kuliah karena dituduh anak tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Meskipun sudah hijrah dari Jakarta ke Padang, Sumatera Barat, stigmatisasi itu terus menempel. Dia dan adik-adiknya tidak bisa melanjutkan kuliah karena cap yang diberikan oleh penguasa saat itu.
”Setelah 37 tahun berlalu, kami mencoba ikhlas dan memaafkan. Walau kami tahu bahwa pengadilan dalam perkara itu penuh sandiwara. Sekarang, kami berharap negara mengakui kekejaman pada masa lalu dan memberikan kompensasi atas kerugian yang kami alami,” kata Yetti saat dihubungi, Selasa (14/9/2021).
Tepat 37 tahun lalu, aparat keamanan melakukan penembakan yang mengakibatkan ratusan warga Tanjung Priok kehilangan nyawa dan luka-luka. Saat itu, warga berdemonstrasi menuntut empat pengurus Musala Assa’adah yang ditangkap oleh Kodim 0502 Jakarta Utara dibebaskan. Di perjalanan, mereka diadang oleh aparat militer, lalu terjadi bentrokan yang berujung penembakan massal.
Baca juga : UKP-PIP Harus Pelajari Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu
Insiden Assa’adah
Berdasarkan laporan pelanggaran HAM berat yang disusun Komnas HAM, khususnya ”Peristiwa Tanjung Priok 1984-1985”, disebutkan, peristiwa itu berawal dari insiden di Musala Assa’adah. Saat itu, kalangan ulama di Jakarta bereaksi keras terhadap kebijakan Presiden Soeharto yang menyatakan Pancasila sebagai asas tunggal. Semenjak itu, ceramah di masjid oleh para mubalig bernada keras. Mereka menyampaikan pidato, di antaranya, penolakan Pancasila sebagai asas tunggal, menolak larangan memakai jilbab bagi anak-anak perempuan, anti-China, dan protes biaya pengurusan KTP yang mahal.
Buntut dari ceramah keras itu, sejumlah pamflet bernada keras juga ditempel di dinding Musala Assa’adah. Tindakan ceramah keras serta penempelan pamflet itu sebelumnya telah diingatkan oleh aparat Kodim Jakarta Utara. Mereka juga diminta melepas pamflet yang isinya menentang kebijakan pemerintah mengenai asas tunggal Pancasila dan larangan memakai jilbab.
Namun, imbauan itu ternyata tidak diindahkan. Hingga, seorang tentara bernama Sertu Hermanu mencoba masuk ke dalam musala dan mencabut pamflet yang terpasang. Karena pamflet yang dipasang di dinding sulit dilepas, dia membasahinya dengan air dan menggosokkan pada pamflet tersebut dengan maksud agar tidak terbaca.
Bagai api dalam sekam. Karena sudah ada sentimen sebelumnya, peristiwa pun dengan cepat mengekskalasi konflik. Pelepasan pamflet di musala itu kemudian disebarkan dengan narasi macam-macam.
Bagai api dalam sekam. Karena sudah ada sentimen sebelumnya, peristiwa pun dengan cepat mengekskalasi konflik. Pelepasan pamflet di musala itu kemudian disebarkan dengan narasi macam-macam. Sertu Hermanu dianggap masuk ke musala tanpa membuka sepatu larsnya. Selain itu, air yang digunakan untuk menggosok pamflet adalah air selokan yang kotor.
Rumor tentang sikap yang tidak pantas yang dilakukan oleh Sertu Hermanu itu pun dengan mudahnya menyebar ke masyarakat. Pengurus musala memanggilnya dan meminta tentara itu meminta maaf atas tindakannya. Namun, saat pembicaraan sedang berlangsung, sepeda motor milik Sertu Hermanu yang diparkir di sekitar mushala justru dibakar oleh massa yang marah. Setelah itu, empat orang yang bernama Achmad Sahi, Syafwan Sulaeman, Syarifuddin Rambe, dan M Nur ditangkap dan dibawa ke Kodim Jakarta Utara.
Pasca-penangkapan itu, warga berusaha untuk membebaskan empat pengurus musala. Upaya dilakukan dengan meminta bantuan tokoh agama dan dermawan bernama Amir Biki. Namun, upaya itu tak juga membuahkan hasil. Empat orang tetap ditahan dengan alasan telah melakukan tindak pidana.
Baca juga : Perjuangan Panjang Menuntut Keadilan
Bentrokan dan penembakan
Kemudian, pada 12 September 1984 malam, diselenggarakan pengajian atau tablig akbar di Jalan Sindang, Tanjung Priok. Amir Biki ikut berbicara sebagai penceramah dengan menentang keras kebijakan pemerintah dan meminta empat orang yang ditahan dibebaskan. Jika tidak, dia akan mendatangi pejabat pemerintahan dan membuat banjir darah di Tanjung Priok.
Karena tahanan tak juga dilepaskan, massa bergerak dalam dua rombongan. Massa pimpinan Amir Biki bergerak ke Kodim Jakarta Utara, sementara rombongan satu lagi ke arah Pasar Koja. Belum sampai ke Kodim, tepatnya di depan Polres Metro Jakarta Utara, massa yang bergerak dihambat oleh satu regu yang dipimpin oleh Sersan Dua Sutrisno Mascung di bawah komando Kapten Sriyanto.
Selaku Kasi II Ops Kodim Jakarta Utara, Kapten Sriyanto melaporkan bahwa aparat diserang massa yang berjumlah ribuan. Dandim menginstruksikan agar pasukan bertahan dan mencegah agar jangan sampai massa memasuki wilayah obyek vital, seperti Pertamina. Karena massa sudah panik, ajakan untuk berdamai dan berunding pun tidak diindahkan. Kapten Sriyanto diserang oleh massa. Mengetahui pimpinannya terdesak, Prada Prayogi melepaskan tembakan ke atas sebagai peringatan. Situasi ricuh hingga mengakibatkan banyak orang terluka tembak.
Alat pemukul
Sejarawan Bonnie Triyana mengatakan, penghasutan yang memicu insiden Musala Assa’adah dan peristiwa penembakan setelah itu adalah dampak kebijakan penguasa kala itu. Menurut dia, pemerintah saat itu menerapkan Pancasila sebagai asas tunggal. Kebijakan itu pun mendapatkan respons beragam dari masyarakat, terutama kalangan ulama. Sejumlah tokoh, seperti Ali Sadikin, juga mengkritik kebijakan itu dengan membuat petisi. Mereka khawatir, penafsiran tunggal terhadap Pancasila akan menjadi alat pemukul bagi kelompok kritis atau yang berpandangan berbeda.
Baca juga : September Hitam: Bulan Kelam Rangkaian Sejarah HAM di Indonesia
”Saat itu, memang ada kekhawatiran dari Presiden Soeharto bahwa ada kekuatan yang akan menggantikan Pancasila. Namun, kebijakan tafsir tunggal Pancasila itu juga digunakan sebagai alat untuk membungkam suara kritis masyarakat dengan melabeli mereka sebagai anti-Pancasila,” kata Bonnie.
Sejarawan Bonnie Triyana mengatakan, penghasutan yang memicu insiden Musala Assa’adah dan peristiwa penembakan setelah itu adalah dampak kebijakan penguasa kala itu. Menurut dia, pemerintah saat itu menerapkan Pancasila sebagai asas tunggal. Kebijakan itu pun mendapatkan respons beragam dari masyarakat, terutama kalangan ulama.
Penerapan asas tunggal itulah yang sebenarnya menjadi bibit konflik di peristiwa Tanjung Priok. Masyarakat menolak tafsir tunggal Pancasila serta larangan-larangan yang, menurut mereka, membatasi kebebasan beragama. Namun, karena situasinya adalah rezim militer otoriter, suara masyarakat dibungkam walau bentuknya kebebasan berpendapat.
Sudah diproses hukum
Komisioner Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, mengatakan, Komnas HAM telah bekerja menyelidiki kebenaran peristiwa Tanjung Priok 1984. Berkas penyelidikan itu juga telah ditindaklanjuti oleh kejaksaan ke tahap penyidikan dan penuntutan di Pengadilan HAM ad hoc di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 2003.
Perkara disidangkan dengan terdakwa mantan Komandan III Yon Arhanudse 06 Sutrisno Mascung dan 10 anggotanya. Kedua, atas nama terdakwa, mantan Komandan Polisi Militer Komando Daerah Militer Regu V Jaya Pranowo. Ketiga, atas nama mantan Komandan Distrik Militer 0502/Jakarta Utara Rudolf Butar Butar. Keempat, atas nama terdakwa mantan Kepala Seksi II Operasi Komando Distrik Militer (Kodim) 0502 Jakarta Utara Sriyanto. Di pengadilan tingkat pertama, ada yang dihukum penjara. Namun, mereka kemudian banding dan akhirnya semua dibebaskan dari segala dakwaan oleh Mahkamah Agung.
”Dari sisi proses hukum, Komnas HAM sudah menyelesaikan tugasnya, yaitu melakukan penyelidikan. Hasilnya sudah dijadikan sebagai bahan penuntutan oleh kejaksaan dan disidangkan di pengadilan HAM ad hoc. Kalau masyarakat tidak puas dengan hasilnya, mau bagaimana lagi?” kata Amiruddin.
Dari sisi hukum, Amiruddin mengatakan, prosesnya sudah selesai karena sudah diputus di pengadilan. Namun, dari sisi kemanusiaan, Komnas HAM mendorong agar negara memberikan perhatian kepada korban. Perhatian dapat berupa perlindungan, rehabilitasi, restitusi melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Negara juga dapat menyusun strategi kemanusiaan yang lainnya untuk melindungi dan memenuhi hak korban.
Korban pun sepakat, mereka sudah lelah berproses hukum yang dimanipulasi dan tidak berpihak kepada korban. Mereka tak mau membuang waktu untuk peninjauan kembali (PK) ke MA jika situasi peradilan sudah tak berpihak kepada korban. Sekarang, mereka menuntut kompensasi dari negara sebagai ganti rugi dampak buruk yang mereka rasakan pascaperistiwa itu. Semoga, suara mereka didengar….