UKP-PIP Harus Pelajari Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemantapan ideologi Pancasila diharapkan tidak mengulangi penerapan asas tunggal Pancasila pada masa Orde Baru. Saat itu, Pancasila dinilai sebagai ideologi tertutup yang dijadikan alat pemerintah untuk melawan setiap masyarakat yang tidak sepakat dengan kebijakannya.
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, berbagai pelanggaran HAM pada masa lampau dapat dijadikan landasan bekerja Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) sehingga pengalaman penerapan Pancasila di masyarakat pada era Orde Baru tidak terulang. ”UKP-PIP seharusnya tidak hanya menanggulangi persoalan intoleransi, tetapi lebih jauh dapat melakukan pemulihan terhadap penegakan HAM, para keluarga korban pelanggaran HAM dapat dipanggil untuk diajak berdialog,” kata Usman seusai menjadi pembicara dalam konferensi pers yang dilakukan oleh Forum Aktivis Hak Asasi Manusia (FAHAM) di kantornya, di Jakarta, Senin (11/9).
Beberapa pegiat HAM juga hadir sebagai pembicara, antara lain Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras Feri Kusuma, dan perwakilan keluarga korban kasus kerusuhan Tanjung Priok tahun 1984, Wanma Yetti.
Konferensi pers situ dilakukan sekaligus memperingati peristiwa kerusuhan di Tanjung Priok yang terjadi 33 tahun silam. Peristiwa itu dianggap sebagai salah satu kasus pelanggaran HAM pada era Orde Baru.
Pada 2004, sebanyak 12 orang telah dinyatakan bersalah dalam kasus itu di Pengadilan HAM Ad Hoc tingkat pertama, di antaranya mantan Komandan Kodim 0502 Jakarta Utara Mayjen (Purn) Rudolf Adolf Butar Butar yang dihukum 10 tahun penjara dan mantan Komandan Regu III Batalyon Arhanudse 06 Sutrisno Mascung yang dihukum 3 tahun penjara. Sebanyak 10 anak buah Sutrisno dijatuhi hukuman masing-masing 1 tahun. Meski demikian, pada 2006 hingga tingkat kasasi, Mahkamah Agung membebaskan 12 orang tersebut dengan alasan mereka tidak melakukan pelanggaran HAM.
Bahan pertimbangan
Ditemui secara terpisah, Deputi Bidang Advokasi UKP-PIP Haryono menjelaskan, pihaknya tidak akan menanggapi soal pelanggaran HAM pada masa lalu ini secara kasus per kasus, tetapi menanggapi semua kasus pelanggaran HAM pada masa lampau secara umum sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan kebijakan. Kerja sama dengan pihak Komisi Nasional (Komnas) HAM untuk mempelajari kasus pelanggaran HAM di masa lampau juga dimungkinkan untuk dilakukan.
”Kami tidak akan melakukan hal yang merupakan kewenangan lembaga negara lainnya. Tugas kami ialah menjamin setiap proses pembangunan yang ada sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Semua pihak harus mampu keluar dari situasi traumatik pelanggaran HAM masa lalu. Saat ini, UKP-PIP hadir untuk menjamin HAM karena apabila Pancasila diterapkan dengan baik, HAM setiap orang akan terjamin,” ujar Haryono.
Ismail mengatakan, pihaknya sepakat upaya penguatan ideologi Pancasila melalui kehadiran UKP-PIP untuk mengatasi persoalan disintegrasi bangsa yang diwarnai oleh berbagai aksi intoleransi. Namun, Pancasila harus dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam budaya masyarakat, tidak dengan pendekatan yang sifatnya satu arah dan doktriner. UKP-PIP diharapkan mampu mempelajari berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu agar usaha pemantapan Pancasila tidak melanggar HAM. (DD14)