Akar konflik di Papua dan Papua Barat adalah berbagai masalah ekonomi dan politik. Karena itu, solusi paling tepat adalah dialog di antara emangku kepentingan untuk mencari jalan penyelesaian masalah, bukan keamanan.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Akar masalah di Papua adalah berbagai masalah akonomi dan politik. Oleh karena itu, solusi paling tepat adalah dialog antara semua pemangku kepentingan untuk mencari jalan penyelesaian kedua masalah tersebut. Aksi kekerasan yang terus terjadi di Papua dan Papua Barat menyebabkan kedua provinsi tersebut semakin terpuruk.
“Dialog itu yang paling penting, apapun namanya. Karena kita bisa lihat dari sejarah, konflik itu bisa diminimalisasi ketika terjadi dialog Papua dan Jakarta,” kata Emir Chairullah, dosen Presiden University, Senin (20/9).
Emir mengatakan, lewat penelitiannya belum lama ini, ia menemukan kalau kebanyakan pihak di Papua ingin berdialog, termasuk Kelompok Kriminal Bersenjata. “Justru jangan sampai narasi didominasi tindak kekerasan dari semua pihak,” kata Emir.
Emir yang tahun 2018 riset tentang elit dan negosiasi Otsus Papua menunjukkan fakta bahwa kekerasan di Papua rendah pada tahun 2000-2005. Saat itu, masyarakat Papua melihat bahwa tawaran Otonomi Khusus dari pemerintah pusat adalah solusi bagi pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan. Bahkan, tewasnya Theys Eluay tahun 2001 yang merupakan salah satu ketua Presidium Dewan Papua tidak lalu memicu tindak kekerasan. “Karena masyarakat waktu itu ingin UU Otsus jadi segera,” kata Emil.
“Dialog itu yang paling penting, apapun namanya. Karena kita bisa lihat dari sejarah, konflik itu bisa diminimalisasi ketika terjadi dialog Papua dan Jakarta”
Namun, masyarakat Papua lalu melihat pemerintah pusat ingkar janji. Beberapa janji dalam UU Otsus seperti bendera dan simbol budaya kembali di langgar. Hal ini berlanjut hingga saat ini di mana ada kepentingan ekonomi eksploitasi sumber daya alam yang dikawal aparat. “Jadi kehadiran TNI Polri itu dilihat untuk mengawal eksploitasi sumber daya alam yang merupakan hak orang Papua,” kata Emir.
Karena itu, solusinya adalah dialog. Ia mengatakan, bahkan faksi militer di Papua pun ingin dialog segera terlaksana. Adanya keluhan bahwa tidak ada pihak di Papua yang bisa menjadi representasi yang tepat menurut dia karena kurangnya pemetaan masyarakat yang tepat di Papua.
"Pembentukan Pansus Maybrat sangat penting, guna memastikan bahwa proses pemulihan situasi sosial kemasyarakatan di Maybrat dapat berjalan baik. Terutama dalam konteks perlindungan sosial dan politik bagi rakyat sipil yang mengungsi ke hutan-hutan"
“Kekerasan yang terjadi belakangan ini di Maybrat dan Kiwirok harus diinvestigasi oleh tim gabungan aparat dan masyarakat,” ujar Emir menambahkan. Proses hukum juga harus jelas dan transparan. Pasalnya, yang penting adalah mengembalikan kepercayaan orang Papua.
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari Jan Christian Warinussy. Ia meminta Komnas HAM turun tangan karena menduga adanya pelanggaran HAM.
Ia juga mendorong Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat (DPR PB) untuk ikut berperan serta dalam memastikan terlindunginya hak-hak warga masyarakat sipil di wilayah Kabupaten Maybrat Provinsi Papua Barat pasca peristiwa tragis yang menewaskan empat prajurit TNI AD dan melukai lainnya di Kampung Kisor, Distrik Aifat Selatan, Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat.
Keikutsertaan yang dimaksud adalah DPR PB dapat memainkan peran politiknya dengan membentuk Panitia Khusus (Pansus) Maybrat. Pembentukan Pansus Maybrat sangat penting, guna memastikan bahwa proses pemulihan situasi sosial kemasyarakatan di Maybrat dapat berjalan baik. Terutama dalam konteks perlindungan sosial dan politik bagi rakyat sipil yang mengungsi ke hutan-hutan. “Pansus juga bisa mengundang Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan,” katanya.