Cakupan Bantuan Hukum Diperluas, tetapi Kasus Penghalangan Akses Naik
Badan Pembinaan Hukum Nasional tengah melakukan verifikasi dan akreditasi terhadap organisasi bantuan hukum yang akan menyalurkan bantuan hukum gratis kepada masyarakat di seluruh Indonesia.
Oleh
SUSANA RITA/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berusaha keras untuk memperluas cakupan pemberian bantuan hukum hingga ke wilayah tertinggal, terpencil, dan terluar di Indonesia. Hal itu diwujudkan dengan menyediakan organisasi bantuan hukum terakreditasi yang dapat mengakses dana bantuan hukum yang dialokasikan APBN di setidaknya 67 persen kabupaten/kota di Indonesia.
Namun, di sisi lain, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat, ada peningkatan jumlah kasus penghalang-halangan pendampingan oleh aparat kepolisian. Hal tersebut dinilai bisa membuat upaya memperluas cakupan bantuan hukum menjadi kurang berarti.
Saat ini, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) tengah melakukan verifikasi dan akreditasi terhadap organisasi bantuan hukum (OBH) yang akan menyalurkan bantuan hukum gratis kepada masyarakat di seluruh Indonesia.
Kepala Bidang Bantuan Hukum BPHN Sri Rahayu Eka Setyowati, Kamis (16/9/2021), mengungkapkan, pihaknya fokus pada pemerataan akses bantuan hukum kepada masyarakat, khususnya di wilayah yang selama ini tidak terjangkau program bantuan hukum. Wilayah-wilayah terpencil, seperti kabupaten/kota di wilayah Indonesia timur, akan mendapatkan prioritas.
Selama ini, jumlah organisasi/pemberi bantuan hukum (OBH/PBH) masih terkonsentrasi di kota-kota besar. Sebaran PBH terakreditasi periode 2019-2021 hanya mencakup 41 persen atau 211 kabupaten/kota dari total 514 kabupaten/kota di Indonesia. Sisanya, 303 kabupaten/kota tidak memiliki PBH terakreditasi.
BPHN menargetkan ada penambahan jumlah kabupaten/kota yang memiliki PBH terakreditasi pada tahun ini. Sebaran PBH diharapkan mencakup 342 kabupaten/kota atau 67 persen dari total kabupaten/kota di Indonesia. Sri Rahayu mengatakan, BPHN akan memperlunak syarat verifikasi dan akreditasi di wilayah-wilayah 3T (terpencil, terluar, tertinggal).
”Untuk daerah 3T, misalnya, syarat PBH untuk dapat lolos verifikasi dan akreditasi harus menangani 10 kasus dalam setahun, tetapi ternyata hanya menangani tiga atau empat kasus, bisa diberi keringanan,” ujarnya.
Ia mencontohkan pentingnya afirmasi dalam hal pemberian bantuan hukum untuk wilayah-wilayah seperti Labuan Bajo atau Ende di Nusa Tenggara Timur. Sebab, jika kasus-kasus hukum harus ditangani PBH yang ada di ibu kota provinsi (Kupang misalnya), persoalan jarak dan waktu menjadi kendala.
Verifikasi dan akreditasi OBH penerima dana bantuan hukum dilakukan tiap tiga tahun sekali, seperti diamanatkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Verifikasi merupakan pemeriksaan atas laporan dan dokumen-dokumen yang diserahkan PBH dan organisasi kemasyarakatan yang nantinya mendapatkan anggaran APBN.
Akreditasi merupakan penilaian dan pengakuan terhadap OBH tersebut sesuai dengan kluster yang ditentukan BPHN. Pengklusteran tersebut menentukan banyaknya perkara yang akan ditangani dalam satu tahun.
Proses verifikasi dan akreditasi telah dilakukan untuk OBH baru pada rentang Maret-Juni. BPHN menerima pendaftaran dari 1.090 OBH yang sebelumnya belum pernah menerima dana bantuan hukum dari APBN.
Tahapan selanjutnya, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia saat ini tengah melakukan reakreditasi untuk 524 OBH lama (2019-2021). ”Kami evaluasi, apakah ada yang tidak jalan pendampingannya, apakah ada yang melakukan kesalahan, sehingga tidak layak untuk direakreditasi,” ujar Sri Rahayu.
Saat ini, pokja daerah tengah memeriksa kelengkapan dokumen serta melakukan verifikasi faktual, termasuk mendatangi kantor OBH dan bertemu pengurusnya. Proses tersebut akan berlangsung hingga 4 Oktober mendatang.
Terkait upaya pemerintah memperluas akses bantuan hukum, Ketua YLBHI Asfinawati mendukung upaya tersebut. ”Afirmasi menjadi kesepakatan tim, tapi ada hal-hal yang tidak bisa dilanggar, memasukkan data atau dokumen yang tidak benar,” kata Asfinawati yang menjadi salah satu angota tim verifikasi dan akreditasi dari unsur LBH.
Memberikan data yang benar, katanya, menjadi salah satu penanda integritas OBH yang bersangkutan. Ini penting untuk memastikan bahwa OBH tersebut nantinya betul-betul melakukan pendampingan terhadap masyarakat yang berhadapan dengan hukum. ”Kalau mereka tidak betul-betul mendampingi, percuma saja ada OBH, kan,” ujarnya.
Penghalangan
Pada 2019, YLBHI mencatat ada enam kasus penghalang-halangan pendampingan yang dilakukan aparat terhadap pengacara publik LBH. Jumlah itu naik signifikan pada 2020, yakni 33 kasus. Data tersebut terhimpun dari jaringan LBH yang ada di 17 provinsi.
”Data kami malah polisi pada tahun 2020 semakin banyak menghalang-halangi pendampingan. Pemerintah seharusnya bisa memerintahkan akses pendampingan ini dibuka mulai dari kepolisian, kejaksaan,” kata Asfinawati.
Menurut dia, mendapatkan pendampingan merupakan hak orang-orang yang sedang berhadapan dengan hukum. Namun, aparat kepolisian masih menganggap pengacara/pemberi bantuan hukum hanya membuat ribet.
Naiknya kasus penghalang-halangan pendampingan hukum tersebut berkorelasi dengan maraknya aksi menolak Undang-Undang Cipta Kerja yang dibuat dengan metode omnibus law. Aksi-aksi terkait kebebasan berekspresi meningkat dalam beberapa waktu terakhir.
Asfinawati menilai, hal tersebut menunjukkan di antara pemerintah sendiri belum ada sinergi yang baik antara BPHN yang ingin memperluas cakupan akses pemberian bantuan hukum dan kepolisian yang justru mempersempit akses. Persoalan sulitnya memberikan pendampingan hukum tidak hanya dialami oleh LBH, tetapi juga OBH-OBH lain.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Rusdi Hartono saat dihubungi untuk dimintai tanggapan melalui pesan singkat terkait temuan YLBHI hingga Kamis malam belum memberi respons.
Lebih jauh, Asfinawati juga mengungkapkan adanya kriminalisasi dan penangkapan terhadap pengacara publik LBH, baik di Jakarta maupun daerah. Berdasarkan data YLBHI, sepanjang 2015-2021 terdapat 7 pengacara LBH Jakarta yang ditangkap dan 2 dikriminalisasi serta 5 pengacara LBH Semarang, 2 pengacara LBH Manado, dan 4 pengacara LBH Yogyakarta yang ditangkap. Sementara itu, 2 pengacara LBH Bali dikriminalisasi.
Penangkapan dan kriminalisasi tersebut, tambahnya, terkait dengan isu seperti Papua, konflik agrarian seperti penggusuran atau pencemaran, cicak-buaya atau pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi, aksi Kamisan, dan aksi terkait arah politik luar negeri Indonesia atas Myanmar. Pihaknya sudah berupaya untuk menyampaikan persoalan tersebut kepada kepolisian dalam berbagai acara, tetapi hingga kini belum ada tindak lanjut.