Warga semakin sulit mengakses bantuan hukum selama pandemi. Mereka berharap ada kemudahan, baik dari regulasi maupun platform bantuan.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Situasi pandemi semakin menyulitkan bantuan hukum kepada warga. Penyebabnya akses untuk layanan bantuan terbatas hingga kurang efektifnya komunikasi.
Kesulitan ini menjadi topik diskusi antara lembaga bantuan hukum (LBH), akademisi, dan Biro Hukum DKI Jakarta tentang bantuan hukum warga DKI Jakarta selama pandemi Covid-19, Sabtu (5/9/2020).
Salah satu mitra LBH Jakarta, Yani, mendapatkan bantuan hukum untuk sengketa lahan permukiman dengan salah satu perusahaan di Jakarta Timur. Sempat terjadi kesulitan komunikasi dengan LBH karena konsultasi berlangsung secara daring imbas pembatasan sosial berskala besar. ”Pemahaman hukum kami minim jadi kesulitan terima penjelasan daring,” kata Yani.
Kendala komunikasi juga terjadi pada salah satu Mitra LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK). Perempuan ini ragu-ragu terhadap bantuan hukum karena pengaduan dan konsultasi lewat telepon dan daring imbas pandemi. ”Kurang yakin karena tidak bertemu langsung, jadi ragu. Apalagi persoalan ini harus ajukan somasi. Setelah saya cek informasi tentang LBH APIK jadi yakin untuk bantu tangani kasus,” ucapnya.
Krisna Aji, mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Jakarta Selatan, juga kerepotan dalam koordinasi dan pelaporan dengan LBH Jakarta. Mahasiswa ini dan beberapa rekannya mendapat sanksi akademik dikeluarkan dari kampus karena demonstrasi protes besaran pemotongan uang kuliah tunggal di kampus. ”LBH kerja dari rumah jadi agak lama respons bantuan hukum. Tatap muka juga terbatas via daring,” ujar Krisna.
Selama pandemi terjadi peningkatan kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam ranah domestik, kekerasan dalam pacaran, dan kekerasan seksual berbasis jender daring.
LBH APIK menerima 508 pengaduan selama Maret hingga Agustus. Sebanyak 168 kekerasan dalam rumah tangga, 151 kekerasan berbasis jender online, 52 kekerasan dalam pacaran, 28 pelecehan seksusal, dan 23 pidana umum.
Perwakilan LBH APIK Uli Pangaribuan menuturkan, salah satu kendala warga untuk pengaduan selama pandemi ialah tidak punya gawai untuk akses layanan bantuan hukum. Kendala lainnya ada kekhawatiran terpapar virus korona jenis baru (SARS-Cov-2) sehingga menunda laporan secara langsung.
Ini hanya segelintir persoalan yang terjadi. Dalam situasi normal pun tetap ada kendala. LBH APIK, misalnya, kesulitan biaya dalam layanan bantuan hukum. Dalam rentang 2017-2019 ada 2.279 kasus litigasi dan non-litigasi. Dari ribuan kasus hanya 78 kasus yang mendapatkan biaya bantuan hukum.
Hal serupa terjadi dalam pelayanan bantuan hukum LBH Jakarta. Direktur LBH Jakarta Arif Maulana mengatakan, rata-rata setiap tahun ada 1.400 pengaduan berbagai persoalan hukum. Persoalan dominan antara lain perburuhan atau ketenagakerjaan, keluarga, utang-piutang, dan pidana umum.
”Paling banyak 10 persen total pengaduan yang tertangani. Kami bantu layanan konsultasi, pendampingan, penyusunan dokumen hukum, sampai ke pengadilan,” ucap Arif.
Selama pandemi, LBH Jakarta menerapkan bekerja dari rumah. Dalam rentang Maret hingga Mei ada 154 pengaduan. Pengaduan paling banyak adalah pinjaman daring. Bekerja dari rumah dan keterbatasan staf menyulitkan bantuan hukum kepada warga.
Keterbatasan
Ada banyak keterbatasan dalam layanan bantuan hukum. Itu mulai dari pemahaman hingga biaya. Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lidwina Inge Nurtjahyo, mengatakan, keterbatasan akses pengetahuan tentang hukum membuat orang enggan berurusan dengan hukum, apalagi berhadapan dengan penegak hukum. Contohnya takut atau malu saat menjalani bukti acara pemeriksaan dan menjadi saksi kasus seperti kekerasan.
Keterbatasan lainnya adalah tidak mendapatkan dukungan dari keluraga atau komunitas sehingga bingung berdiskusi dengan siapa, termasuk ketika ada tekanan dari penegak hukum, tidak paham hukum atau prosedurnya, tidak mampu bayar pengacara, penyandang disabilitas mental, dan bukan penduduk yang memiliki identitas setempat.
”Pandemi menambah keterbatasan layanan tatap muka karena protokol kesehatan, keterbatasan informasi, mekanisme pelaporan karena alat dan sinyal, termasuk keterbatasan jangkauan pemeberi layanan bantuan hukum,” ucap Inge.
Inge mencontohkan keterbatasan klinik Hukum Perempuan dan Anak Fakultas Hukum Universitas Indonesia selama pandemi. Seluruh mekanisme bantuan melalui sambungan telepon dan daring. Pekerja migran kesulitan dalam menyesuaikan waktu. Biasanya berlangsung malam hari secara sembunyi-sembunyi. Sementara untuk kasus pelecehan, layanan melalui Google Docs, pesan Line dan WhatsApp supaya hanya segelintir orang atau terbatas punya akses. Sebab riskan lewat sambungan telepon dan daring.
Kasubag Perundang-undangan Bidang Pemerintahan dan Kesra Biro Hukum DKI Jakarta Wahyu Abdilah menuturkan, diskusi ini menjadi masukan bagi Pemprov DKI untuk mendukung layanan bantuan hukum ke depannya. Sejauh ini Pemprov telah mengalokasikan anggaran layanan bantuan hukum dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah sesuai ketentuan undang-undang.
LBH dan akademisi berharap ada regulasi yang lebih baik untuk bantuan layanan hukum. Misalnya akses bantuan dana, rumah aman, dan penegak hukum lebih responsif. Salah satu harapan itu adalah adanya peraturan daerah dari Pemprov DKI Jakarta tentang layanan bantuan hukum.