Anak Makin Rentan Jadi Korban Eksploitasi Seksual di Masa Pandemi
Perempuan dan anak-anak hingga kini terus menjadi sasaran eksploitasi seksual, termasuk rentan menjadi korban perdagangan orang. Sejumlah anak sering menjadi korban dan masuk dalam jerat prostitusi anak.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan terhadap anak dalam bentuk eksploitasi seksual, terutama di ranah daring, semakin memprihatinkan. Hingga masa pandemi saat ini, eksploitasi seksual komersial anak secara daring serta praktik perdagangan manusia yang dilacurkan masih terus mengancam anak-anak di sejumlah daerah di Indonesia.
Kondisi krisis yang berdampak pada ekonomi dikhawatirkan akan kian memicu eksploitasi seksual pada anak. Meningkatnya ancaman kekerasan seksual terhadap anak membuat sejumlah korban meminta perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Dalam keterangan pers yang disampaikan secara daring oleh Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu dan Livia Iskandar, Kamis (23/7/2020), bertepatan dengan Hari Anak Nasional 2020, selama empat tahun terakhir (2016-2020) permohonan perlindungan terhadap anak yang masuk ke LPSK mencapai 926 permohonan.
”Sebanyak 482 di antaranya adalah korban kekerasan seksual, 133 anak menjadi korban perdagangan orang, dan sisanya dari berbagai kasus yang menempatkan anak menjadi korban. Sejumlah 106 anak menjadi korban eksploitasi perdagangan seksual,” kata Edwin.
Dari asalnya, permohonan tertinggi dari Jawa Barat, diikuti DKI Jakarta, lalu Sumatera Utara. Adapun untuk anak yang dilacurkan, permohonan perlindungan paling banyak berasal dari Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan DKI Jakarta. Tempat peristiwa terjadinya anak yang dilacurkan paling banyak di DKI Jakarta, diikuti Jawa Timur dan Jawa Barat.
Sebagian besar dari anak yang dilacurkan tidak menyelesaikan pendidikan dasar 12 tahun dan bahkan tidak menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah dasar. Anak-anak tersebut menjadi korban karena diiming-imingi pekerjaan sebagai pramusaji kafe/restoran, pemandu lagu karaoke, penjaga toko, dan tawaran pekerjaan lain dengan janji penghasilan yang memadai.
Namun, yang terjadi sebaliknya, mereka menjadi korban eksploitasi seksual yang dipekerjakan 10 jam hingga 16 jam per hari. Beberapa korban tidak mendapat upah sama sekali. Di antara mereka ada yang dipaksa menggunakan alat kontrasepsi sehingga dapat dieksploitasi secara terus-menerus tanpa terhalang siklus menstruasi.
Edwin mengingatkan, jika pandemi Covid-19 terus mengarah pada krisis ekonomi, hal tersebut berpotensi membuat anak dari keluarga miskin diminta keluarganya membantu perekonomian keluarga dibandingkan sekolah. ”Artinya, kondisi ini berpotensi membuat anak dilacurkan untuk mendapatkan penghasilan yang mudah tanpa kompetensi,” kata Edwin.
Livia mengungkapkan, selain konvensi internasional, untuk melindungi anak, sebenarnya Indonesia telah memiliki Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak dan UU Peradilan Anak. Ia mengingatkan Indonesia juga memiliki peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang memberikan hukuman tambahan kepada pelaku kejahatan seksual, seperti pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan alat deteksi elektronik.
Oleh karena itulah LPSK berharap pemerintah, terutama pemerintah daerah, memberikan perhatian khusus terhadap perlindungan anak dari eksploitasi seksual. Kepolisian dan kementerian terkait hendaknya terus meningkatkan pengawasan terhadap kejahatan daring serta menghapus konten pornografi dan prostitusi daring.
Dalam upaya meningkatkan pencegahan kekerasan seksual terhadap anak, selain alokasi anggaran yang memadai, sumber daya manusia yang bertugas di lembaga-lembaga untuk perlindungan kepada anak dan perempuan juga harus ditingkatkan.