Tak Ada Jaminan Amendemen Konstitusi Hanya Bahas PPHN
Gagasan amendemen konstitusi untuk mengatur ketentuan tentang Pokok-Pokok Haluan Negara dikhawatirkan akan melebar ke perubahan substansi lain, seperti pembatasan masa jabatan presiden-wakil presiden.
Oleh
Edna C Pattisina
·4 menit baca
BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN/MUCHLIS JR
Presiden Joko Widodo berpidato pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2021 dan Sidang Bersama DPR dan DPD dalam rangka HUT Ke-76 Republik Indonesia di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD, Senin (16/8/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Permusyawaratan Rakyat memastikan amedemen terbatas UUD 1945 digagas untuk memasukkan ketentuan mengenai Pokok-Pokok Haluan Negara atau PPHN dalam konstitusi. Wacana tentang perpanjangan masa jabatan presiden-wakil presiden tidak akan dibahas dalam amendemen konstitusi. Namun, kalangan masyarakat sipil menilai tidak ada jaminan amendemen tidak melebar ke isu di luar PPHN.
Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam webinar ”Presiden Tiga Periode: Antara Manfaat dan Mudarat” yang diadakan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) serta Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Senin (13/9/2021), mengatakan, kekhawatiran amendemen terbatas akan membuka peluang diubahnya ketentuan lain di luar PPHN tidak beralasan. ”Kekhawatiran amendemen terbatas akan membuka kotak pandora itu terlalu prematur,” katanya.
Politikus Partai Golkar itu menandaskan, sampai saat ini belum pernah ada pembicaraan di MPR tentang perpanjangan masa jabatan presiden-wakil presiden. Materi yang tengah dibahas saat ini adalah PPHN. Menurut dia, kebutuhan akan PPHN yang merupakan pedoman jangka panjang, siapa pun pemimpinnya bukanlah wacana baru.
Badan Pengkajian MPR telah membahas bentuk hukum PPHN. Hasilnya, PPHN bisa diatur dalam konstitusi, ketetapan (Tap) MPR, atau lewat undang-undang. Paling ideal, menurut Badan Pengkajian MPR, adalah PPHN diatur melalui Tap MPR, bukan UU yang masih dapat diuji materi ke Mahkamah Konstitusi.
KOMPAS/CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2021 dan Pidato Kenegaraan Presiden RI pada Sidang Bersama DPR RI dan DPD dalam rangka HUT Ke-76 Proklamasi Kemerdekaan RI di Ruang Rapat Paripurna Gedung Nusantara MPR, DPR, DPD, Jakarta, Senin (16/8/2021).
Bambang memahami kekhawatiran semua kalangan mengenai kemungkinan pembahasan substansi lain saat amendemen terbatas dilakukan, termasuk penambahan batasan jabatan presiden-wakil presiden menjadi tiga periode. Ia menegaskan bahwa isu itu tidak pernah dibahas di MPR, baik di tingkat pimpinan, alat kelengkapan, maupun rapat pimpinan dengan fraksi.
Hal ini dibenarkan oleh Benny K Harman dari Fraksi Partai Demokrat MPR. Menurut dia, belum ada agenda konkret untuk memenuhi tuntutan sekelompok orang yang ingin masa jabatan presiden tidak dibatasi dua periode.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Benny Kabur Harman
Senada dengan Bambang, Benny juga menyampaikan bahwa kini yang tengah dibahas adalah PPHN. Namun, masih ada perbedaan pandangan fraksi apakah PPHN ini membutuhkan amendemen konstitusi atau ditetapkan di tingkat UU saja. Pihak yang ingin amendemen menganggap PPHN akan lebih kuat, tetapi pihak yang kontra melihat bahwa presiden kemudian menjadi mandataris MPR yang berbeda dengan sistem politik saat ini.
”Tapi lalu muncul ide-ide yang tidak jelas ujung pangkalnya untuk memperpanjang periode atau menunda pemilu,” kata Benny.
Hal ini menimbulkan kewaspadaan ada agenda tersembunyi pihak-pihak tertentu untuk menunda pemilu dan menambah masa jabatan Presiden Joko Widodo hingga 2027. Jabatan Jokowi disebut pantas diperpanjang karena prestasi luar biasa dan untuk mengamankan proyek ibu kota negara.
Tidak ada jaminan
Peneliti LIPI Siti Zuhro melihat saat ini muncul rasa saling tidak percaya antarelemen bangsa. Karena itu, banyak kalangan khawatir amendemen dengan alasan PPHN tidak akan melebar ke substansi lainnya. Di sisi lain, relevansi PPHN juga masih dipertanyakan.
Menurut Siti, perlu ada kajian serius, terutama dengan memasukan pengalaman empirik di masa lalu. ”Ini soal etika, ada di atas hukum,” tandasnya.
KOMPAS/EDDY HASBY
Mahasiswa se-Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi mendatangi Gedung MPR/DPR/DPD, Mei 1998, menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden Soeharto. Sebagian mahasiswa melakukan aksi duduk di atap Gedung MPR/DPR/DPD.
Masa jabatan presiden-wakil presiden lima tahun maksimal dua periode merupakan buah dari refleksi mendalam atas perjalanan sejarah kepemimpinan politik Indonesia. Hal ini diadakan untuk mencegah lahirnya kekuasaan yang otoriter, tetapi cukup panjang untuk mengukur kinerja presiden.
Titi Anggraini dari LHKP PP Muhammadiyah mengatakan, munculnya wacana presiden tiga periode ini adalah bentuk nyata hadirnya berbagai halangan bagi semua pihak berpartisipasi dalam demokrasi. ”Yang paling rugi perempuan dan anak muda,” kata Titi.
Pembatasan itu terlihat juga dari ambang batas pencalonan presiden maupun ketiadaan calon perseorang di pilpres. Tiga periode presiden, menurut dia, akan memperburuk politik dinasti. ”Tidak ada jaminan tidak akan mengakomodir kepentingan lain. Apalagi kalau alasannya sekadar patuh pada teks konstitusi yang bisa diubah. Ini bahaya,” katanya.
Hal senada disampaikan Iwan Satriawan dan MHH PP Muhammadiyah. Ia mengatakan, saat ini adalah ujian bagi oposisi dan civil society agar mampu bangkit melawan gagasan ini. Menurut dia, ada indikasi memperpanjang kekuasaan.
Pulihkan jati diri bangsa sebagai modalitas spiritualisme dan moral politik, terbebas dari belenggu dan dominasi kelompok yang mengeskploitasi sumber daya alam, apalagi terhadap auntentitas rakyat dari kepemimpinan yang dinastik-feodalistik.
Ia mengapresiasi pernyataan Ketua MPR yang mengatakan, tidak ada pembicaraan perpanjangan tiga periode. ”Mudah-mudahan partai lain menunjukkan hal yang sama,” katanya.
Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqqodas yang hadir sebagai pembicara kunci menggarisbawahi pentingnya akselerasi perdaulatan rakyat sebagai amanat UUD dalam demokratisasi sosial, politik, dan HAM. Menurut dia, penting ada pembatasan oligarki politik dan bisnis. ”Pulihkan jati diri bangsa sebagai modalitas spiritualisme dan moral politik, terbebas dari belenggu dan dominasi kelompok yang mengeskploitasi sumber daya alam, apalagi terhadap auntentitas rakyat dari kepemimpinan yang dinastik-feodalistik,” katanya.