Lembaga pemasyarakatan atau lapas mestinya memiliki mekanisme di luar kebiasaan untuk menghadapi kebakaran, salah satunya terkait evakuasi warga binaan. Mekanisme ini harus dipahami rinci dan dijalankan petugas.
Oleh
Tim Kompas
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Korban jiwa dalam kebakaran di Blok C2 Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang, Banten, seharusnya dapat dicegah dengan manajemen keselamatan yang memadai. Berkaca dari tragedi ini, langkah terdekat yang bisa dilakukan pemerintah ialah menyusun mekanisme di luar kebiasaan untuk menghadapi kebakaran, salah satunya terkait evakuasi warga binaan.
Dalam kebakaran di Blok C2 Lapas Kelas I Tangerang, Rabu (8/9/2021) dini hari, 44 warga binaan tewas. Jumlah itu bertambah dari sebelumnya 41 setelah tiga warga binaan yang dirawat di RSUD Tangerang, meninggal, Kamis (9/9/2021).
Koordinator Program Studi Rekayasa Keselamatan Kebakaran Universitas Negeri Jakarta Catur Setyawan Kusumohadi mengatakan, kebakaran di Lapas Tangerang menjadi momentum perbaikan manajemen keselamatan. Menurut dia, lapas mestinya memiliki mekanisme di luar kebiasaan untuk menghadapi kebakaran, salah satunya terkait evakuasi warga binaan. Mekanisme ini harus dipahami rinci dan dijalankan petugas. ”Bisa dibuat di aturan khusus,” ujarnya.
Manajemen keselamatan, tambah Catur, harus ada di setiap bangunan. Selain itu, perbaikan bangunan dengan mengoptimalkan teknologi diperlukan, seperti membuat sistem untuk membuka seluruh pintu sel bersamaan dalam kondisi darurat.
Mantan anggota regu jaga Lapas Kelas I Tangerang tahun 1982-1985, yang kini menjadi anggota DPR, Agun Gunandjar Sudarsa, menuturkan, peristiwa kebakaran di Lapas Tangerang mestinya tak akan menelan korban jiwa jika prosedur standar operasi dijalankan. Saat terjadi kebakaran, lanjut Agun, biasanya petugas melaporkannya berjenjang ke pegawai di atasnya sembari memeriksa sumber kebakaran. Dalam situasi itu, beberapa petugas pemasyarakatan akan berkumpul di lokasi kebakaran guna memadamkan api.
Jika api membesar, pintu blok dan pintu kamar dibuka untuk memindahkan warga binaan ke ruang lain, seperti aula. Petugas lain menghubungi polisi guna meminta penjagaan di luar lapas, termasuk pemadam kebakaran jika api membesar.
”Semua itu terwujud kalau prosedur dijalankan, juga ketentuan dan ketertiban rumah tangga diterapkan. Jika sampai terjadi seperti kemarin, berarti hal itu tak jalan,” kata Agun.
Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Rika Aprianti dalam diskusi daring mengatakan, selain terus menangani dampak kebakaran, pihaknya mengantisipasi kejadian serupa di tempat lain. Kemenkumham melakukan evaluasi internal terkait kekurangan dalam memproteksi kebakaran.
Peneliti Center for Detention Studies Gatot Goei mengingatkan, jumlah penghuni yang melebihi kapasitas menjadi salah satu persoalan mendasar lapas di Tanah Air. Harus diatur arus masuk dan arus keluar napi agar seimbang.
Arus masuk napi diatur melalui UU yang berkonsekuensi pidana, terutama KUHP. ”Selain itu, UU Narkotika mesti dikaji guna mencegah masuknya pengguna dan pencandu narkotika ke lapas,” tutur Gatot.
22 saksi diperiksa
Dalam penyelidikan penyebab kebakaran, polisi sudah memeriksa 22 saksi, yang terdiri dari petugas lapas dan warga binaan, serta meneliti kabel instalasi listrik. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Tubagus Ade Hidayat menuturkan, pihaknya belum dapat memastikan penyebab kebakaran di blok C2.
”Kesimpulan awal, titik api hanya satu. Api bersumber dari satu titik, kemudian mengenai plafon dari tripleks,” katanya.
Menurut Kepala Lapas Kelas I Tangerang Victor Teguh Prihartono, warga binaan Blok C2 berada dalam bangunan berbentuk paviliun. Kamar-kamar berada persis di tengahnya. Saat kebakaran, kamar-kamar terkunci sesuai protokol tetap.
”Malam itu, satu petugas menjaga Blok C2 dan sebagian besar warga binaan di aula. Dugaan sementara, korsleting. Percikan api membakar plafon tripleks karena pihak yang pertama melihat api itu petugas dari pos keamanan,” tutur dia. (NIA/REK/NAD/DAN/ERK/XTI)