Aktivis HAM Munir Said Thalib meninggal dunia dalam penerbangan Jakarta-Amsterdam, 7 September 2004. Hingga kini, auktor intelektualis pembunuhan Munir belum juga terungkap.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari, Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
Hari Selasa (7/9/2021) ini, tepat 17 tahun aktivis hak asasi manusia, Munir Said, Thalib, gugur. Selama itu pula keluarga Munir terus mencari keadilan, berjuang agar perkara itu dituntaskan sekaligus mengungkap auktor intelektualis. Mereka berharap negara negara memproses hukum seluruh pelaku.
Munir meninggal dunia dalam penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda, 7 September 2004. Munir terbang ke Belanda dengan menumpang pesawat Garuda Indonesia GA-978 untuk melanjutkan studi.
Kala itu, Institut Forensik Belanda (NFI) menyatakan, Munir meninggal akibat racun arsenik dengan jumlah dosis di ambang kewajaran. Racun itu diduga dicampurkan pada makanan yang disantap Munir.
Memperingati 17 tahun meninggalnya Munir, Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) kembali mendesak negara memproses hukum semua pelaku pembunuhan Munir. Selama 17 tahun, istri dan anak-anak Munir berharap dengan penuh ketidakpastian agar perkara dituntaskan.
Proses hukum yang sudah dilakukan dianggap hanya menyentuh aktor lapangan dan pemberi perintah kepada eksekutor. Auktor intelektualis dalam rencana pembunuhan itu nyaris tak tersentuh hukum. Sementara hukuman bagi para pelaku lapangan juga dianggap tidak memenuhi rasa keadilan korban. Petugas keamanan penerbangan (aviation security) Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari dihukum 14 tahun penjara karena terbukti meracuni makanan Munir. Deputi V Badan Intelijen Negara Muchdi Purwoprandjono malah divonis bebas.
Mantan anggota Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Meninggalnya Munir, Usman Hamid, menuturkan, dalam peringatan 17 tahun meninggalnya Munir, KASUM kembali mengingatkan tanggung jawab negara untuk menuntaskan kasus hingga ke auktor intelektualis. Temuan TPF yang dibentuk oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004 itu memperlihatkan bahwa ada dugaan keterlibatan BIN dalam operasi pembunuhan Munir.
Bahkan, dalam persidangan sudah terungkap bahwa ada perintah dari BIN kepada Garuda Indonesia selaku badan usaha milik negara (BUMN), dalam skenario pembunuhan itu. Orang-orang yang terlibat dalam operasi itu diperintahkan oleh BIN. Mantan Direktur Garuda Indonesia Indra Setiawan yang menerbitkan surat tugas kepada Pollycarpus juga divonis satu tahun penjara.
”Orang-orang yang sudah diadili ini tidak dapat dikatakan sebagai orang yang paling bertanggung jawab pada perkara ini. Masih ada auktor intelektualis yang harus diproses hukum pro justitia,” kata Usman dalam konferensi pers ”17 Tahun Kematian Munir”, Selasa siang.
Dengan temuan TPF dan fakta persidangan sebelumnya, Usman menyebut, keterlibatan negara dalam pembunuhan Munir dianggap sudah terang benderang. Oleh karena itu, penyelesaian perkara harus menggunakan cara luar biasa. Salah satunya adalah menetapkan kasus menjadi pelanggaran HAM berat. Dengan demikian, kasusnya tidak akan terhalang dengan aturan kedaluwarsa hak penuntutan 18 tahun. Sesuai Pasal 78 Ayat (1) angka 4 hak penuntutan bisa gugur karena kedaluwarsa untuk kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.
”Ini adalah pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing) yang bisa masuk dalam kejahatan kemanusiaan dan masuk dalam pelanggaran HAM berat,” kata Usman.
Usman juga menyebut bahwa dalam proses persidangan para aktor lapangan, ada kebuntuan hukum yang membuat putusan pengadilan mengecewakan korban. Situasi pada saat itu, sejumlah saksi dalam perkara Muchdi PR mencabut atau mengubah kesaksiaannya. Ini diduga karena ada intervensi atau intimidasi. Saksi juga tidak mendapatkan perlindungan yang layak saat itu. Proses hukum yang dilakukan pun akhirnya sangat jauh dari harapan keluarga korban. Dia mendorong, ada investigasi baru di kepolisian mengenai kasus ini. Polri dapat membentuk tim investigasi baru yang lebih kuat. Tujuannya agar proses hukum berjalan dengan optimal dan bisa menyeret auktor intelektualis ke meja hijau.
Orang-orang yang sudah diadili ini tidak dapat dikatakan sebagai orang yang paling bertanggung jawab pada perkara ini. Masih ada auktor intelektualis yang harus diproses hukum pro justitia.
Kompas telah berusaha menghubungi Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto dan Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono untuk menanyakan kelanjutan pengungkapan auktor intelektualis dalam kasus Munir sebagaimana disuarakan masyarakat sipil. Pasalnya, setahun lagi kasus ini berpotensi tidak dilanjutkan karena dianggap sudah kedaluwarsa. Namun, hingga Selasa sore, keduanya tidak menjawab.
Perlindungan pembela HAM
Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komnas Perempuan, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengingatkan pentingnya perlindungan bagi pembela HAM. Komnas HAM mencatat sepanjang tahun 2020, setidaknya ada 19 kasus pengaduan terkait dengan pembela HAM. Jumlah ini masih meningkat jika dibandingkan sepanjang 2012-2015, di mana hanya ada 11 peristiwa pelanggaran atau serangan terhadap pembela HAM. Pelanggaran atau serangan terhadap pembela HAM itu meliputi defamasi, kriminalisasi, pemberangusan serikat, serangan atau kekerasan fisik, pembubaran kegiatan, dan penembakan.
Adapun, Komnas Perempuan mencatat ada 87 kasus kekerasan dan serangan kepada perempuan pembela HAM yang diadukan pada kurun waktu 2015-2021. Angka kekerasan itu juga meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2019, hanya ada lima kasus. Adapun, pada 2020 ada 36 kasus. Ini menunjukkan bahwa perempuan pembela HAM masih rentan saat menjalankan aktivismenya.
Dengan situasi yang serius ini, Komnas HAM, LPSK, dan Komnas Perempuan mendesak agar perlindungan dan pemulihan komprehensif kepada korban diperbaiki demi tegaknya HAM dan demokrasi di Indonesia. Perbaikan itu dapat dilakukan dengan mengubah regulasi yang mengancam kerja-kerja pembela HAM, seperti UU ITE, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja. Selain itu, aparat penegak hukum juga diminta untuk menggunakan mekanisme berbasis HAM dalam penanganan kasus pembela HAM. Sehingga tidak ada kriminalisasi terhadap para pembela HAM.