Selama pandemi, jumlah penonton drama Korea di Indonesia meningkat. Selain untuk hiburan, ada sejumlah film dan serial yang membawa pesan isu HAM. Budaya populer pun bisa jadi medium penyampai pesan perlindungan HAM.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·6 menit baca
Tanpa bantuan sopir taksi hijau, reporter televisi Jerman, Jurgen Hinzpeter, tidak akan bisa mewartakan kebrutalan militer Korea Selatan kepada dunia. Sopir taksi paruh baya bernama Kim Sa-bok itu berani menembus situasi berbahaya menuju lokasi pemberontakan di kota Gwangju. Di sanalah mahasiswa dan aktivis bersatu menolak represi rezim militer.
Cerita tentang sejarah Korea Selatan (Korsel) menurunkan rezim militer itu divisualisasikan apik dalam film A Taxi Driver yang ditayangkan pada 2017. Film yang diilhami dari kisah nyata itu membawa masuk penonton pada perjuangan warga Korsel menuntut demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) pada 1980. Sekitar 200 mahasiswa dan aktivis tewas di tangan rezim militer karena menuntut demokrasi. Namun, media lokal Korsel tidak bisa memberitakannya karena ketatnya pengawasan rezim militer. Akses komunikasi diputus sehingga tidak ada informasi apa pun bisa keluar dari wilayah tersebut.
Ada suasana tegang saat Hinzpeter meliput kerusuhan itu. Dia harus disembunyikan di rumah warga, hingga akhirnya berhasil keluar dengan selamat dari Gwangju. Dia lalu mengirimkan hasil liputannya untuk menyiarkan pelanggaran HAM dan kekejaman militer Korsel kepada dunia.
Bagi penonton Indonesia, peristiwa itu lekat dengan sejarah jatuhnya rezim militer otoriter pada tahun 1998. Sejumlah aktivis dan mahasiswa tewas, hilang, dan diculik karena menuntut reformasi dan pemerintahan yang demokratis. Salah satunya ialah seniman Wiji Thukul dari Solo yang menyuarakan kritiknya melalui karya sastra puisi. Sampai saat ini, Wiji masih hilang dan tidak diketahui rimbanya. Kisahnya pernah difilmkan dengan judul Istirahatlah Kata-Kata pada tahun 2017.
Sejak pandemi, aktivis perempuan Tunggal Prawestri mengaku mendadak menjadi penggemar drakor atau drama Korea. Beberapa judul film dan serial sudah dia lahap selama implementasi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Film yang sudah dia tonton di antaranya Into The Ring, yang mengisahkan tentang stigmatisasi dan tantangan perempuan saat akan terjun ke dunia politik sebagai calon anggota Dewan.
Dalam film itu juga diceritakan mengenai problem yang dihadapi perempuan setelah melahirkan dan saat kembali ke tempat kerja. Mereka terpaksa harus dipecat dari tempat kerja hanya karena menyusui anak. Dia juga menonton film Law School yang memotret fenomena kekerasan seksual pada perempuan. Bagaimana korban mengumpulkan keberanian dan membuktikan kejahatan tersebut di pengadilan.
”Cerita-cerita yang diangkat di drakor sekarang sangat beragam. Ada banyak nilai universal HAM yang disampaikan. Namun, untuk memahaminya secara utuh tentu kita harus memiliki pemahaman dasar HAM terlebih dahulu,” tutur Tunggal saat diskusi ”Belajar HAM dari Drama Korea”, Rabu (25/8/2021).
Budaya populer
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Beka Ulung Hapsara, mengatakan, isu-isu HAM terkadang masih dianggap sebagai isu serius yang berat dipahami. Padahal, HAM adalah isu dasar dan universal yang harus dipahami seseorang untuk melindungi hak-haknya. Pemahaman mengenai HAM juga diharapkan membuat seseorang menjunjung tinggi HAM dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidak menjadi pelanggar HAM.
Melalui medium budaya populer seperti film, diharapkan isu HAM lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Komnas HAM juga mengakui, cerita yang diangkat dalam film drama Korea saat ini banyak yang mengangkat isu universal HAM. Sementara itu, Komnas HAM juga mempunyai misi ingin menyosialisasikan HAM dengan cara lebih populer. Komnas HAM telah melakukan berbagai seri diskusi yang mengupas isu HAM melalui medium seni seperti film dan musik.
”Ternyata, kita bisa juga belajar nilai-nilai universal HAM dengan meresapi pesan cerita di drama Korea,” kata Beka.
Deputi Direktur Komnas HAM Korsel Kim Mina yang hadir dalam diskusi itu sepakat bahwa isu HAM seharusnya tidak menjadi isu yang berat. Bicara soal HAM tidak melulu mengenai genosida, kejahatan kemanusiaan, dan pelanggaran HAM berat.
Dimensi HAM sangat luas, baik dalam kehidupan sosial maupun politik masyarakat. Oleh karena itu, di Korsel, Komnas HAM Korsel membuat program untuk mengedukasi masyarakat tentang HAM dengan cara yang seru. Salah satunya melalui film.
Untuk bisa memproduksi film yang bisa menyampaikan pesan HAM dengan baik, Komnas HAM Korea selalu membekali sutradara dan kru film agar lebih dulu paham isu HAM. Mereka tidak mau pesan-pesan HAM yang ingin disampaikan justru terdistorsi karena minimnya pengetahuan HAM dari para sineas.
Di Korsel, meskipun masyarakat masih memiliki trauma terhadap peristiwa kelam seperti ”Peristiwa Gwangju 1980”, pemerintah tidak melarang pembuatan film tersebut. Perubahan itu juga didukung oleh gerakan masyarakat yang menuntut agar kebenaran peristiwa tersebut diungkap ke publik. Selain itu, Komnas HAM Korsel juga konsisten mengadvokasi isu-isu hak kelompok minoritas, seperti perempuan, anak, kelompok miskin, dan pekerja migran. Harapannya, agar masyarakat semakin memahami isu HAM.
”Isu pendidikan HAM sama pentingnya dengan penegakan HAM, dan ini akan berkontribusi pada perlindungan HAM. Komnas HAM Korea beberapa kali memproduksi film yang kemudian disosialisasikan ke sekolah-sekolah,” kata Mina.
Dibekali pemahaman HAM
Penyuluh HAM dari Komnas HAM, Sri Rahayu, mengatakan, pesan-pesan universal HAM sebenarnya banyak dipotret dalam drama Korea, baik film maupun serial yang ditayangkan pada akhir-akhir ini. Misalnya, di serial Itaewon Class, seseorang bisa belajar tentang keragaman jender dan ras.
Di serial Move to Heaven, penonton juga dapat melihat isu keamanan dan hak keselamatan kerja. Informasi yang dia dapatkan, setelah penayangan serial Hospital Playlist, antusiasme donor darah di Korsel meningkat. Ini membuktikan bahwa medium film dapat menyebarkan pengaruh positif kepada masyarakat.
”Melalui medium film, isu-isu HAM dapat disampaikan dengan cara yang lembut. Bahkan, di Korsel sendiri sudah terbukti bahwa dampak tayangan drakor terhadap isu kemanusiaan, seperti aksi donor darah, pun efektif,” kata Rahayu.
Di Indonesia, tren menonton drama Korea memang meningkat tajam selama pandemi Covid-19. Penjarakan sosial untuk mengendalikan penyebaran Covid-19 membuat jumlah penonton drakor melonjak. Pengajar Komunikasi Universitas 17 Agustus Surabaya, Prihandari Satvikadewi, menyebutkan, tren menonton drakor ini dapat dilihat sebagai wujud eskapisme kolektif akibat kebosanan, perasaan tertekan masyarakat akibat harus mengunci diri untuk waktu yang cukup lama dan belum jelas ujungnya.
Pada Agustus 2020, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia bahkan merilis hasil survei yang dilakukan di 28 kota di Indonesia. Hasilnya, jumlah penonton drakor meningkat 87,8 persen dibandingkan dengan sebelum masa pandemi. Waktu yang dihabiskan untuk menonton drakor juga naik, dari 2,7 jam menjadi 4,6 jam per hari (Kompas.id, 11/7/2021).
Hanya saja, memang, untuk bisa menangkap pesan-pesan HAM yang disampaikan melalui film, penonton harus terlebih dahulu memiliki dasar pengetahuan HAM. Dengan dasar pengetahuan HAM, mereka dapat menangkap pesan yang disampaikan secara implisit itu dengan lebih baik.
Komnas HAM sejak 2014 sudah memproduksi banyak kampanye HAM agar cakupan dan metode lebih diminati masyarakat. Kini, pendidikan HAM juga menggunakan medium budaya populer.
”Kami juga baru saja menyelesaikan pelatihan HAM untuk pekerja seni yang membahas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Kami juga menyosialisasikan isu HAM kepada rumah produksi film dengan harapan mereka mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif,” kata Rahayu.
Ternyata, menonton drakor tidak hanya menjadi eskapisme selama berdiam diri di rumah di masa pandemi. Dengan memilih tema drakor tertentu, hal ini juga bisa menjadi pembelajaran terhadap isu-isu HAM universal.