Menginspirasi Perjuangan HAM lewat Film Dokumenter
Rumah produksi WatchdoC Documentary memenangi Special Prize di Gwangju Prize for Human Rights 2021. Karya mereka dinilai berkontribusi dalam upaya promosi HAM.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gwangju Prize for Human Rights memberikan penghargaan kepada rumah produksi Indonesia, WatchdoC Documentary, sebagai pemenang Special Prize pada 2021. Karya mereka yang terdiri dari dokumenter dan serial televisi dinilai berkontribusi terhadap promosi hak asasi manusia.
Gwangju Prize for Human Rights (GPHR) adalah penghargaan yang diberikan May 18 Memorial Foundation dari Korea Selatan. Penghargaan tahunan ini diberikan kepada sejumlah pihak yang aktif menggiatkan HAM dan demokrasi. GPHR merupakan lembaga yang didirikan sebagai peringatan bagi para korban kerusuhan 18 Mei 1980 di Korea Selatan saat rezim Presiden Chun Doo-hwan.
WatchdoC dipilih sebagai pemenang Special Prize GPHR 2021, sedangkan pemenang utama GPHR adalah Anon Nampha. Nampha adalah pengacara dan aktivis HAM asal Thailand.
”Komite Seleksi GPHR 2021 yakin bahwa semangat 18 Mei ada pada Anon Nampha dan WatchdoC Documentary. Kami mengapresiasi Anon Nampha yang melawan pemerintah diktator tanpa henti walau ada ancaman. Begitu pula dengan WatchdoC Documentary yang menginspirasi warga dunia dengan film mereka,” kata Komite Seleksi GPHR 2021 dalam keterangan tertulis, Kamis (14/1/2021). Komite ini diketuai Moon Kyoo-hyun.
Salah satu pendiri WatchdoC, Dhandy Dwi Laksono, pada Jumat (15/1/2021) memandang penghargaan itu sebagai apresiasi yang memacu semangat sekaligus menantang. Sejak dibentuk pada 2009, ini kali pertama WatchdoC menerima penghargaan sebagai organisasi.
”Sebenarnya, penghargaan ini agak membebani karena merupakan komitmen yang besar. Kami adalah perusahaan privat yang punya motif laba. Di sisi lain, kami disejajarkan dengan tokoh yang melakukan gerakan sosial secara alami. Namun, secara umum, ini apresiasi yang sangat menantang dan memacu semangat,” kata Dhandy di Jakarta.
WatchdoC hingga kini telah membuat lebih dari 200 dokumenter dan lebih dari 700 serial televisi. Karya mereka berkutat di beragam isu, seperti HAM, lingkungan, kaum minoritas, sejarah, dan demokrasi.
Salah satu dokumenter berjudul Sexy Killers masuk lima besar dokumenter investigasi terbaik Festival Film Antikorupsi 2020 di Korea Selatan. Karya lain pernah mendapat penghargaan di Festival Film CinemAsia di Amsterdam, Belanda, dan Festival Film Dokumenter Antikorupsi Asia Timur di Brasil.
”Tema yang kami olah adalah yang tidak terlalu disorot media arus utama karena beberapa hal, seperti keterikatan dengan iklan dan kepentingan bisnis pemilik perusahaan media. Kedua, kami menyorot hal yang diberitakan media, tetapi dengan sudut pandang berbeda,” kata Dhandy.
Media yang tepat
Film, dokumenter, dan karya audio visual lain dinilai tepat untuk mengadvokasi perihal HAM dan isu lain. Sebab, suatu isu dan dampaknya bagi masyarakat ditampilkan apa adanya secara visual. Di Indonesia, ini lebih efektif dibandingkan dengan bacaan.
”Tingkat literasi di sini masih rendah. Itu realitas yang harus dikompromikan. Jadi, ini tentang bagaimana masyarakat seperti itu tetap punya sumber informasi yang baik. Mereka bisa mandiri dengan pengetahuan dan informasi,” ujar Dhandy.
Menurut World’s Most Literate Nations oleh Central Connecticut State University (CCSU) pada 2016, Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara dalam soal minat membaca. UNESCO menyatakan minat baca di Indonesia hanya 0,1 persen. Artinya, hanya 1 dari 1.000 orang yang rajin membaca.
Tema yang kami olah adalah yang tidak terlalu disorot media arus utama karena beberapa hal, seperti keterikatan dengan iklan dan kepentingan bisnis pemilik perusahaan media. Kedua, kami menyorot hal yang diberitakan media, tetapi dengan sudut pandang berbeda.
Sutradara Nyanyian Akar Rumput (2018), Yuda Kurniawan, sependapat. Menurut dia, audio visual merupakan media yang tepat untuk mengajarkan tentang isu HAM di Indonesia. Film pun dapat didistribusikan secara luas.
”Ada rencana menayangkan film ini di layanan streaming. Sudah ada tawaran dari beberapa layanan OTT (over the top). Kami masih dalam tahap negosiasi,” ujar Yuda.
Pengingat
Nyanyian Akar Rumput ialah film tentang kehidupan Fajar Merah, putra dari Wiji Thukul yang hilang pada 1998. Thukul adalah penyair dan aktivis HAM yang vokal menentang Orde Baru. Setelah hilang 23 tahun lalu, tidak ada yang tahu kabar Thukul. Keluarganya masih menunggu kepastian hingga hari ini.
”Film ini dibuat untuk mengingatkan kita bahwa ada kasus pelanggaran HAM. Orang juga perlu tahu bahwa pemerintah masih punya utang untuk mencari mereka yang hilang,” ujar Yuda.
Film tersebut dinilai membuka wawasan anak muda. Mereka jadi tahu sejarah di masa lampau dan kondisi masa kini. Ini juga memicu tumbuhnya diskusi di masyarakat. Adapun film ini ditayangkan di bioskop pada awal 2020.
”Nyanyian Akar Rumput sempat ditonton salah satunya oleh Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid. Perkara pesan di film ini mau disampaikan ke pemerintah atau tidak, yang penting ada yang menonton dan mengapresiasi. Ini pengingat bahwa kebebasan berekspresi di masa kini berharga dan pengingat bahwa mereka yang hilang masih perlu dicari,” tutur Yuda.
Film lain yang mempromosikan HAM, khususnya perempuan, adalah Sa Ada di Sini: Suara Perempuan Papua Menghadapi Konflik yang Tak Kunjung Usai. Selain film, judul yang sama diterbitkan dalam bentuk buku.
Buku dan film itu merupakan hasil penelitian terhadap 170 perempuan asli Papua yang menghadapi masalah, seperti kekerasan serta ketidakpastian kepemilikan sumber daya alam dan tanah ulayat.
”Mereka sulit mengakses ketersediaan air bersih, fasilitas kesehatan, dan pendidikan bagi anak-anak,” ujar Selviana Yolanda, perwakilan Asia Justice and Rights (AJAR) (Kompas, 9/10/2017).