Rentetan Pertimbangan Hakim Korupsi yang Mengusik Akal Sehat
Tak hanya dalam vonis Juliari Batubara, pertimbangan hakim di sejumlah kasus korupsi sebelumnya juga menggelitik akal sehat.
Ini seharusnya bisa dicegah jika hakim berpedoman pada keadilan hukum dan keadilan sosial.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
Beberapa bulan belakangan, publik dibuat tercengang dengan besaran hukuman yang dijatuhkan pengadilan untuk koruptor. Namun, yang lebih mencengangkan lagi, pertimbangan-pertimbangan yang digunakan oleh majelis hakim. Menggelitik akal sehat publik. Padahal, tujuan hukum adalah publik.
Pertimbangan meringankan yang digunakan majelis hakim dalam menjatuhkan putusan atas bekas Menteri Sosial Juliari Batubara pada Senin (23/8/2021), misalnya. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang diketuai Muhammad Damis serta hakim anggota Yusuf Pranowo dan Joko Subagyo menilai Juliari sudah cukup menderita karena dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat, padahal secara hukum, ia belum tentu bersalah karena belum ada putusan pengadilan.
Penderitaan Juliari yang dijadikan pertimbangan meringankan hakim tak pelak mengejutkan publik. Di media sosial, warganet melontarkan sindiran dan membuat beragam meme. Yang paling mengemuka, ke depan, cercaan, makian, dan hinaan pada koruptor harus diganti dengan pujian. Barangkali dengan perubahan itu, majelis hakim akan memberatkan hukuman pada koruptor.
Kritik yang lebih berbobot disuarakan kalangan masyarakat sipil dan pakar hukum. Misalnya, penderitaan Juliari dinilai tak patut dijadikan pertimbangan meringankan karena seharusnya majelis hakim melihat penderitaan masyarakat yang kesulitan menghadapi pandemi dan bertumpu pada bansos yang jauh lebih berat. Selain tak sedikit warga yang kesulitan menerima bansos, akibat bansos dikorupsi, sejumlah bahan makanan dalam paket bansos tak layak makan.
Sebelum putusan atas Juliari, pertimbangan hakim lainnya yang dikritisi publik juga terlihat dalam putusan majelis hakim banding Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta atas Joko Tjandra dan Pinangki Sirna Malasari, Juni dan Juli lalu. Seperti diketahui, keduanya terlibat dalam kasus yang sama, yakni kasus pengurusan fatwa bebas bagi Joko agar ia tak perlu menjalani hukuman 2 tahun penjara di Kasus Bank Bali tahun 2009. Oleh majelis banding, Pinangki dipangkas hukumannya dari semula 10 tahun penjara menjadi tinggal 4 tahun penjara. Adapun Joko dari semula 4,5 tahun penjara menjadi 3,5 tahun.
Dalam vonis banding Pinangki, majelis hakim yang diketuai oleh Muhammad Yusuf dan hakim anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Reny Halida Ilham Malik mempertimbangkan kondisi Pinangki sebagai sebagai perempuan. Menurut hakim, sebagai perempuan, Pinangki dinilai harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan adil. Padahal, perempuan lain yang juga divonis hukuman penjara tak memperoleh keistimewaan tersebut dari hakim.
Adapun dalam putusan Joko, pertimbangan meringankan hakim menuai kritik karena keadaan meringankan yang dipakai hakim lebih tepat dipakai sebagai keadaan yang memberatkan. Pertimbangan dimaksud, Joko kini menjalani pidana penjara dua tahun untuk perkara pengalihan hak tagih Bank Bali.
Untuk diketahui, empat dari lima hakim banding di PT DKI Jakarta yang menyidangkan perkara Joko sama dengan yang menyidangkan perkara Pinangki. Satu hakim lainnya adalah Rusydi.
Mundur ke belakang, persisnya pertengahan 2020, pertimbangan majelis hakim peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung dalam perkara korupsi suap Fahmi Darmawansyah juga menggelitik akal sehat. Majelis hakim PK yang dipimpin Salman Luthan dengan anggota Abdul Latif dan Sofyan Sitompul menilai, barang suap Fahmi kepada bekas Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husen, yakni mobil dan tas mewah, kecil nilainya dan dinilai bentuk kedermawanan. Suami artis Inneke Koesherawati itu dipotong hukumannya dari semula 3,5 tahun penjara menjadi 1,5 tahun.
Masih di 2020, majelis hakim PK di MA mengurangi hukuman bekas Bupati Talaud Sri Wahyumi Manalip dari 4,5 tahun penjara menjadi 2 tahun dalam kasus proyek infrastruktur di Talaud dengan alasan sejumlah barang yang akan dijadikan suap belum sampai ke tangan Sri. Ketua majelis yang menyidangkan perkara ini, yakni Hakim Agung sekaligus Ketua Kamar Pidana MA, Suhadi, didampingi Mohamad Askin dan Eddy Army selaku anggota majelis.
Mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun berpandangan, dalam membuat pertimbangan, hakim seharusnya berpedoman pada keadilan hukum dan keadilan sosial. Putusan hakim yang baik harus bisa mempertimbangkan keseimbangan antara kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Dengan demikian, putusan tidak menimbulkan gejolak di masyarakat seperti fenomena yang terjadi saat ini.
”Pertimbangan hakim idealnya harus mengantisipasi agar tidak terjadi goncangan di masyarakat karena masyarakat adalah tujuan hukum. Harus ada parameter yang jelas. Sebagai contoh, kalau pertimbangan meringankan itu karena terpidana dihina masyarakat seperti apa ukurannya. Harus bisa dijelaskan argumennya,” ujar Gayus.
Untuk pertimbangan hakim yang meringankan, lanjut Gayus, sebenarnya sudah ada panduan yang jelas di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Di Pasal 44 Ayat (1) KUHP disebutkan, orang yang mengalami gangguan mental tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Dia bisa mendapatkan keringanan hukuman setelah diperiksa psikolog. Di Pasal 49 KUHP juga diatur mengenai perbuatan yang dilakukan secara terpaksa untuk pembelaan. Misalnya, terdakwa diancam untuk melakukan korupsi oleh atasannya. Ini bisa menjadi faktor yang meringankan secara normatif yuridis.
”Memang sudah ada aturannya untuk merumuskan alasan pemaaf atau unsur meringankan bagi terdakwa. Itu semua harus berdasar teori hukum yang bisa dipertanggungjawabkan,” kata Gayus.
Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga yang bertugas menjaga kehormatan hakim pun mengingatkan hakim untuk peka dengan situasi yang berkembang di masyarakat. Menurut Juru Bicara KY Miko Ginting, sekalipun hakim memiliki kebebasan dalam memutus suatu perkara, putusan hakim hidup dalam perasaan publik sehingga harus sensitif terhadap situasi yang berkembang di masyarakat.
KY saat ini tengah menjalankan analisis terhadap putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kewenangan itu diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman, dan sejumlah UU terkait lingkungan peradilannya. Harapannya, analisis itu bisa segera selesai sehingga diperoleh gambaran yang utuh terkait pertimbangan-pertimbangan hakim yang mencengangkan publik tersebut.
”KY menyadari bahwa harapan publik sangat besar kepada KY. Namun, KY juga harus berjalan dalam koridor kewenangan yang diberikan oleh peraturan UU,” kata Miko.
Adapun Juru bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak menjelaskan secara detail kriteria dan batasan untuk menentukan dan menilai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
Kriteria dan batasannya diserahkan sepenuhnya kepada otoritas hakim untuk menentukannya. Pasal 197 ayat (1) huruf (f) KUHAP hanya mengatur tentang kewajiban pemuatan pertimbangan keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa. ”Parameternya adalah fakta hukum yang terungkap di persidangan,” ujar Andi.
Dalam perkara korupsi bansos dengan terdakwa Juliari Batubara, menurut Andi, unsur meringankan hukuman dalam pertimbangan hakim dinilainya sah-sah saja. Terdakwa yang mendapat hinaan dari masyarakat sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dianggap sebagai beban penghukuman atau sanksi sosial masyarakat. Padahal, terdakwa masih dalam proses hukum sehingga wajib diterapkan asas praduga tak bersalah.
Sebagai lembaga peradilan yang imparsial dan independen, majelis hakim berwenang mempertimbangkan alasan obyektif dan subyektif pada diri terdakwa. ”Keadaan apa yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa menjadi kewenangan majelis hakim untuk menilainya berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan,” kata Andi.