Napi Kasus Korupsi, antara Penyuluh dan Pemberi Testimoni
Beberapa hari terakhir, ruang publik riuh memperbincangkan wacana soal KPK yang hendak merekrut narapidana kasus korupsi untuk memberi testimoni antikorupsi. Bagaimana duduk persoalannya dan apa dampaknya?
Oleh
Dian Dewi Purnamasari/ Nikolaus Harbowo
·5 menit baca
Pada pertengahan Agustus 2021, KPK menyebut akan menggandeng napi koruptor untuk menjadi penyuluh antikorupsi. Testimoni mereka diharapkan membuat orang lain gentar saat akan melakukan korupsi. Kondisi ini ditanggapi beragam oleh masyarakat, baik di ruang daring maupun di ruang luar jaringan.
Pengajar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan, ide merekrut penyuluh antikorupsi dari napi koruptor lahir dari cara berpikir yang tidak pas. Menurut dia, hal yang bisa diceritakan dari napi koruptor hanya pengalaman mereka selama dihukum di lembaga pemasyarakatan. Dia mempertanyakan bagaimana kemudian napi koruptor diharapkan bisa membangun sistem pencegahan korupsi.
”Ini menjadi semacam anakronisme di telinga saya. Bagaimana mungkin koruptor yang mengambil uang begitu banyak dipercaya sebagai penyuluh yang akan menyampaikan ide-ide antikorupsi. Sementara pegawai berkualitas yang telah membangun sistem pencegahan korupsi di KPK malah disingkirkan dengan proses TWK yang aneh,” kata Zainal.
Proses TWK yang dimaksud ialah tes wawasan kebangsaan. Diskursus soal penyuluh dari napi kasus korupsi ini mencuat saat keriuhan mengenai TWK terkait alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menghangat. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Ombudsman RI telah menyampaikan hasil penyelidikan dan hasil pemeriksaan dari aduan pegawai KPK yang dinyatakan tak memenuhi syarat. Ada rekomendasi atas temuan tersebut yang perlu dijalankan oleh instansi terkait, termasuk KPK.
Zainal mengungkapkan pandangannya soal penyuluh antikorupsi itu dalam acara bincang Satu Meja The Forum ”Napi Koruptor Jadi Agen Antikorupsi, Inikah Jalan Baru Melawan Korupsi?” yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, Rabu (25/8/2021) malam. Selain Zainal, narasumber yang juga hadir adalah mantan Ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK Yenti Garnasih; anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP, Arsul Sani; anggota Komisi III dari Fraksi PDI-P, I Wayan Sudirta; dan komisioner Komnas HAM, Choirul Anam.
Berbeda dengan Zainal, Arsul Sani menyebut wacana tersebut adalah ide di luar kebiasaan. Ide di luar kebiasaan itu bisa berdampak positif atau negatif, harus dilihat dari realisasinya. Dia menilai bisa saja KPK terinspirasi dengan sistem yang dibangun Badan Nasional Narkotika atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Mantan penyalah guna narkoba dan teroris banyak digandeng untuk pencegahan. Namun, tentu saja penerimaan masyarakat antara mantan napi terorisme, pemakai narkoba, dan koruptor akan berbeda.
”Memangnya mantan napi koruptor itu mau direkrut jadi penyuluh. Wong rata-rata mereka marah karena saat minta dijadikan justice collaborator (pelaku tindak pidana yang bekerja sama dengan penegak hukum) tidak diberikan. Saya meragukan program ini akan berhasil,” kata Arsul.
Bukan penyuluh
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ipi Maryati Kuding, saat dikonfirmasi secara terpisah, membantah soal perekrutan mantan napi korupsi menjadi penyuluh antikorupsi. Sebab, penyuluh antikorupsi harus bersertifikat dan mendapat pengakuan kompetensi yang mengacu pada standar kompetensi kerja nasional Indonesia bidang penyuluh antikorupsi.
KPK, kata Ipi, hanya akan manfaatkan pengalaman mantan napi korupsi tersebut. Mereka akan diminta memberi testimoni tentang pengalamannya selama menjalani proses hukum, baik dampaknya bagi diri sendiri, keluarga, maupun kehidupan sosialnya.
”Dengan membagikan pengalaman pahit tersebut, diharapkan menjadi pembelajaran bagi masyarakat dan mengajak masyarakat untuk tidak mengikuti jejaknya melakukan tindak pidana korupsi melalui cerita pengalaman yang menyentuh hati masyarakat,” ujar Ipi.
Ipi mengakui, hal itu tidak menjadi jaminan para mantan napi korupsi tidak mengulang kembali pidana korupsi. Peran masyarakat dibutuhkan untuk bersama-sama mengawal hal itu. ”Kami yang pasti juga akan evaluasi efektivitas program ini untuk kelanjutannya ke depan,” tutur Ipi.
I Wayan Sudirta tidak setuju jika napi koruptor dijadikan penyuluh antikorupsi. Namun, dia setuju jika napi koruptor diberi kesempatan untuk membuat testimoni pencegahan korupsi. Mereka yang bisa memberikan testimoni harus diseleksi ketat dengan sejumlah syarat, di antaranya orang yang melakukan korupsi karena tekanan, orang tersebut sadar telah menjadi korban sistem, tidak berdaya melawan, dan telah bertobat.
Yenti Garnasih berpandangan, meski napi koruptor hanya memberikan testimoni, tetap saja tak tepat. Sebab, saat dihukum penjara di lapas, mereka sudah mendapat keistimewaan fasilitas. Lapas mereka berbeda dengan pelaku kejahatan lain, misalnya LP Cipinang dan LP Paledang. Fasilitas yang ada di lapas koruptor justru mengistimewakan koruptor sehingga tak menciptakan efek jera. Di lapas juga sudah berkali-kali ditemukan pelanggaran jual-beli fasilitas untuk koruptor.
”Sekarang malah diberikan panggung untuk testimoni. Ini bisa blunder,” kata Yenti.
Choirul Anam mengatakan, dalam perspektif hak asasi manusia, napi koruptor memiliki hak yang sama dengan orang lain. Jika kemudian mereka tobat dan menjadi pegiat antikorupsi secara sukarela, akan lebih diterima masyarakat. Namun, jika direkrut oleh KPK, manfaatnya justru dipertanyakan. Sebagai aparat penegak hukum dan garda terdepan pemberantasan korupsi, hal itu menjadi kontradiktif.
”Akan lebih pas jika yang bicara itu para korban korupsi, yaitu warga yang menderita akibat korupsi, bukan napi koruptor,” kata Anam.
Dengarkan rekomendasi
Zainal berpandangan, deretan kebijakan kontroversial KPK tidak berdiri sendiri. Hal itu dinilainya merupakan konsekuensi setelah adanya revisi UU KPK. KPK telah dibawa ke arah berbeda. Dia menyebut, KPK sekarang bukanlah KPK yang diinginkan oleh publik. KPK sekarang adalah wajah yang diinginkan oleh politikus, oligarki, dan koruptor.
Sementara itu, Arsul Sani berpandangan, pimpinan KPK harus lebih terbuka mendengarkan rekomendasi dari lembaga lain seperti hasil rekomendasi Ombudsman RI dan Komnas HAM tentang pelaksanaan TWK. Pimpinan KPK diharapkan menyikapi dengan bijak laporan hasil pemeriksaan ORI yang menemukan ada dugaan malaadministrasi dalam pelaksanaan TWK. Selain itu, hasil rekomendasi Komnas HAM juga menemukan adanya dugaan pelanggaran HAM dalam TWK. Hal itu harus didengarkan dan dipatuhi untuk memperbaiki kesalahan.
Choirul Anam sepakat, KPK harus bijak mendengarkan rekomendasi dari lembaga negara independen lainnya. Jika ada kritikan, masukan, dan evaluasi untuk menata sistem pemberantasan korupsi menjadi lebih baik, harus didengarkan dan dipatuhi. Sejatinya, rekomendasi itu dibuat untuk mengembalikan KPK menjadi lembaga yang lebih independen dengan kinerja yang akuntabel.
”Jika rekomendasi dari Komnas HAM dan ORI didengarkan dan dipatuhi, saya yakin publik akan kembali mendukung KPK. Ini, kan, untuk menjaga independensi KPK sekaligus menjaga marwah mereka,” kata Choirul.