Saat KPK Memberi Penyuluhan Antikorupsi kepada Para Narapidana Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi ingin narapidana korupsi yang telah menjalani hukuman bisa menjadi agen perubahan supaya tidak terjadi lagi korupsi. Bisakah hal ini berhasil?
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
Sebanyak 25 warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Rabu (31/3/2021), menjadi peserta kegiatan penyuluhan antikorupsi dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka narapidana kasus korupsi yang telah mendapatkan program asimilasi setelah memperoleh keterangan dapat bekerja sama dan menjalani dua pertiga masa pidananya.
Hadir dalam kegiatan ini di antaranya Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Irjen Reynhard Silitonga, dan Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum. Dalam kegiatan ini, Firli selalu didampingi Uu.
Firli menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan narapidana. Salah satunya, bekas pejabat di lingkungan Kementerian Dalam Negeri Sugiharto yang tersandung kasus korupsi KTP elektronik. Firli memberikan nasihat kepada Sugiharto agar tidak mengulangi perbuatannya lagi dan bisa kembali ke masyarakat.
Dalam pidato pembukaannya, Firli mengungkapkan, seseorang bisa sampai ke Lapas Sukamiskin karena terjadi penyimpangan sosial. ”Itu adalah rumusan kesepakatan. Kalau melakukan penyimpangan ini harus dihukum,” ujarnya.
Ia menegaskan, setelah selesai menjalani proses hukum, mereka akan kembali ke keadaan semula. Karena itu, diharapkan masyarakat mau menerima mereka. Situasi menjadi memprihatinkan apabila seusai menjalani pemidanaan di Lapas Sukamiskin, narapidana justru melakukan pelanggaran hukum lagi.
Ketika sudah kembali ke masyarakat, Firli ingin para warga binaan bisa menyebarkan bahaya korupsi dengan menjadi agen penyuluh antikorupsi. Menurut Firli, mereka pantas menjadi agen dalam memberikan penyadaran agar tidak melakukan korupsi karena mereka pernah melakukan kejahatan tersebut dan mengalami konsekuensinya. Ia berharap mereka menjadi agen perubahan untuk diri sendiri dan orang lain supaya tidak terjadi lagi korupsi.
KPK akan melakukan kegiatan penyuluhan ini di daerah yang rentan korupsi dan di lapas agar tidak terjadi penyimpangan. Para pelaku yang sudah dibina di lapas jangan sampai terjerembap lagi.
Reynhard Silitonga menyambut positif rencana KPK untuk menjadikan warga binaan sebagai corong agar tidak melakukan korupsi untuk diri sendiri dan masyarakat. Reynhard mengungkapkan, tugas lapas membuat warga binaan agar menyadari perbuatan dan memperbaiki diri.
Selain itu, mereka melakukan pembinaan agar warga binaan tidak mengulangi perbuatannya dan bisa kembali ke masyarakat seperti sediakala. ”Harapan kita, warga binaan setelah keluar dapat kembali ke masyarakat dan ikut dalam pembangunan bangsa,” ujar Reynhard.
Penyesalan
Bagi narapidana perkara korupsi, banyak pergulatan batin yang mereka alami selama menjalani hukuman. Ada yang merasa kesal mengapa dirinya dipersalahkan, sedangkan orang lain yang juga melakukan korupsi tidak dipenjara. Ada juga rasa penyesalan karena telah kehilangan waktu bersama dengan orang-orang yang dicintai.
Beben Sofyar, narapidana kasus penyalahgunaan kredit yang merugikan negara, misalnya, telah menjalani hukuman 14 tahun. Dia merasa menyesal karena umurnya terus bertambah di penjara. Ada rasa penyesalan dalam hidupnya karena tidak dapat melihat perkembangan anaknya. Sebab, ketika masuk penjara, anaknya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, sedangkan saat ini ia sudah memiliki cucu.
Di sisi lain, hukuman ini membuat Beben memiliki waktu yang banyak untuk belajar agama. Ia belajar agama dari bekas Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq yang sama-sama menjalani hukuman di Sukamiskin. Beben berharap, kelak ketika sudah selesai menjalani hukuman, ia ingin tidak hanya dikenang sebagai orang yang pernah masuk penjara. Ia bertekad untuk membangun sesuatu yang berguna.
Sementara itu, narapidana lain bertutur bahwa keluarga menjadi kekuatan terbesar selama menjalani hukuman. Mereka yang sebelumnya menganggap keluarga sebagai sesuatu yang biasa sekarang menganggap mereka sangat luar biasa. Ini, misalnya, dialami Sugiharto yang menunjukkan perasaan positif terhadap keluarganya. Meskipun berada di penjara, ia yakin tetap menjadi pemimpin bagi keluarganya.
Psikolog Joice Manurung yang mendampingi warga binaan mengungkapkan, butuh proses yang tidak singkat untuk mengenalkan siapa mereka sebenarnya. Sebab, saat ini mereka telah mendapatkan label negatif dari orang lain. Mereka dinilai sebagai orang yang telah merugikan negara.
”Pemahaman ini membuat mereka tidak memiliki sebuah keyakinan pada diri sendiri,” ujar Joice.
Ia menjelaskan, stigma negatif sebagai koruptor telah membuat bagian hidup mereka menjadi tidak sempurna. Meskipun demikian, sesuatu yang rusak bisa dibuat lebih baik. Untuk bisa mengalami perubahan dalam perilaku, mereka membutuhkan waktu untuk berproses.
Mereka harus memperoleh program yang positif secara berulang untuk memperbaiki perilakunya. Dukungan lingkungan sangat berpengaruh dalam proses tersebut. Joice meyakini, mereka dapat belajar dari apa yang sudah terjadi dan dapat memberikan edukasi kepada masyarakat. Mereka dapat menjadi penyambung lidah KPK dalam memberantas korupsi.
Hati-hati
Rencana KPK untuk menjadikan koruptor sebagai agen penyuluh antikorupsi mendapatkan sorotan dari pegiat antikorupsi. KPK diharapkan berhati-hati dalam menjadikan para terpidana korupsi sebagai agen untuk mengampanyekan antikorupsi.
Menurut peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, korupsi adalah perbuatan pidana yang dilakukan secara rasional. Mereka memiliki motif ekonomi untuk memperkaya diri sendiri. Tindak pidana ini dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan.
Bagi Rohman, tidak semua terpidana korupsi cocok dijadikan sebagai agen untuk mengampanyekan antikorupsi karena jarang ada yang mengakui dan menyesali perbuatannya. ”Yang paling penting adalah apakah mereka telah mengembalikan seluruh harta hasil kejahatannya?” ujarnya.
Ia menjelaskan, banyak hasil korupsi yang dicuci, dialirkan, diselundupkan, diserupakan, dan disamarkan sehingga penegak hukum kesulitan untuk merampas serta mengembalikannya ke negara. Karena itu, Pukat UGM menolak koruptor yang tidak mengembalikan seluruh harta hasil kejahatannya dan tidak mengakui kesalahannya dijadikan penyuluh antikorupsi.
Zaenur menyebutkan, terpidana yang dapat menjadi agen penyuluhan antikorupsi adalah mereka yang memenuhi ketentuan peraturan bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam mengungkap kasus yang lebih besar. Mereka juga telah mengembalikan hasil kejahatannya dan mengakui perbuatannya.
Semoga mereka sungguh-sungguh dapat menjadi penyuluh antikorupsi agar orang tidak melakukan korupsi. Bukan sebaliknya, justru melakukan pelanggaran hukum lagi yang merugikan negara.