Perekrutan seseorang ke dalam kelompok terorisme itu tidak hanya terkait dengan faktor ideologi, tetapi juga memainkan kegalauan para laki-laki. Bahkan, manipulasi ini berlangsung ketika orang itu aktif dalam gerakan.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
Terorisme tidak hanya ancaman bagi keamanan negara, tetapi juga terhadap kemanusiaan seseorang. Orang-orang yang terlibat dalam kelompok terorisme umumnya mengalami manipulasi yang memanfaatkan konstruksi sosial untuk menjadi seorang laki-laki atau perempuan yang ideal. Cara pandang keliru terhadap sosok ”maskulin” dan ”feminin” menjadi pemantik keterlibatan seseorang dalam gerakan terorisme.
Hal itu setidaknya terungkap dalam studi Noor Huda Ismail, Visiting Fellow S Rajaratnam School of International Studies Nanyang Technological University, Singapore, terhadap sejumlah mantan kombatan asing (foreign fighter) yang berasal dari Indonesia. Umumnya, sejak kecil mereka sudah dijejali nilai-nilai bahwa laki-laki adalah sosok yang kuat, bertugas melindungi perempuan, dan diperbolehkan menyelesaikan permasalahan dengan cara kekerasan. Nilai yang sudah tertanam lama ini mendapatkan momentum ketika mereka bertemu dengan tokoh dari kelompok terorisme yang kemudian memanfaatkannya.
Orang-orang yang terlibat dalam kelompok terorisme umumnya mengalami manipulasi yang memanfaatkan konstruksi sosial untuk menjadi seorang laki-laki atau perempuan yang ideal.
Salah satunya terjadi kepada Syahrul Munif, mantan kombatan di Suriah yang berasal Jawa Timur. Nilai sebagai sosok ”pelindung” dalam dirinya muncul setelah menonton video daring tentang kebrutalan rezim Assad di Suriah. Tayangan itu menggerakkan dia untuk bergabung dalam aksi kemanusiaan yang dapat melindungi perempuan dan anak-anak di sana (Kompas, 26/6/2021).
Pencarian membawanya pada pertemuan dengan salah satu tokoh Jamaah Ansharut Daulah (JAD), yakni Abu Jandal. Dalam sebuah pembicaraan, Abu Jandal mengeksploitasi kegelisahan Syahrul dengan narasi bahwa umat Islam harus menolong sesamanya di mana pun ia berada. Laki-laki pun bertanggung jawab untuk melindungi kaum yang lemah. Perlindungan yang dimaksud hanya bisa diwujudkan dengan cara menjadi anggota JAD agar bisa berjihad di medan perang yang sesungguhnya.
”Jadi, perekrutan seseorang ke dalam kelompok terorisme itu tidak hanya terkait faktor ideologi, tetapi juga memainkan kegalauan para laki-laki,” kata Noor Huda dalam diskusi daring bertajuk ”Kontestasi Maskulinisasi dan Feminisasi dalam Gerakan Radikal”, Selasa (24/8/2021). Selain memanfaatkan nilai keagamaan, Abu Jandal juga mengeksploitasi cara pandang yang salah, yakni mengasosiasikan peran pelindung kepada laki-laki, sedangkan perempuan sebagai pihak yang lemah.
Manipulasi ini tidak hanya terjadi dalam proses radikalisasi atau sebelum seseorang bergabung dalam kelompok teror. Hal ini juga terus berlangsung ketika mereka aktif di dalam gerakan, bahkan setelah undur diri. ”Ketika tengah berperang, lelaki yang keren didefinisikan sebagai orang yang memegang senjata. Setelah berperang, mereka kemudian tidak lagi dianggap sebagai lelaki sejati,” ujar Noor Huda.
Sementara itu, tambah dia, perempuan yang pernah terlibat dalam kelompok terorisme mengalami pengalaman yang berbeda. Radikalisasi yang terjadi pada perempuan umumnya mendorong mereka untuk berperan memperkuat doktrin laki-laki sebagai mujahid. Dorongan itu dilakukan dengan menekan pasangannya untuk tetap berada dalam gerakan teror.
Maskulinisasi
Peneliti Rumah Kitab, Lies Marcoes, mengatakan, radikalisasi yang terjadi pada perempuan tidak hanya berasal dari kelompok teror, tetapi juga lewat tren penyebaran pemahaman agama yang konservatif. Hal itu mendorong mereka untuk ambil bagian dalam menegakkan hukum agama yang diyakininya. Hasrat itu terakumulasi dengan cara menjadi pelaku aktif dalam gerakan terorisme yang selama ini dimonopoli oleh laki-laki. ”Analisis Rumah Kitab pada 2014 menemukan bahwa perempuan mengalami maskulinisasi karena mereka ingin direkognisi,” katanya.
Ada kecenderungan bahwa perempuan di kelompok radikal tidak mau lagi melakukan peran tradisional sebagai sebagai penopang dalam jihad. Peran yang dimaksud ialah melahirkan banyak anak untuk menjadi jihadis pada masa mendatang, kemudian mengurus anak-anak itu selama suaminya pergi berjihad.
Namun, menurut Lies, sejumlah aksi yang mengadopsi maskulinitas itu mengalami kegagalan. Karena itu, gerakan radikal pada perempuan kembali difeminisasi dengan cara memanfaatkan peran ibu dalam keluarga. Seorang ibu yang sudah terpapar ideologi radikal terdorong untuk meyakinkan semua anggota keluarganya untuk melakukan bom bunuh diri bersama. Sebagaimana terjadi pada tragedi bom Surabaya, Mei 2018 (Kompas, 16/5/2018).
Dengan semakin intensnya peran perempuan dalam serangan teror, kata Lies, analisis jender untuk mengungkap dan menanggulangi fenomena ini merupakan keharusan.
Seiring dengan semakin intensnya peran perempuan dalam serangan teror, kata Lies, analisis jender untuk mengungkap dan menanggulangi fenomena ini merupakan keharusan. Selama ini, terorisme dianggap berada dalam ranah publik yang, antara lain, menyangkut kekuasaan, ideologi, dan otoritas politik. Sementara itu, pengalaman perempuan dalam terorisme juga ada di ranah privat yang tersembunyi dalam lapisan relasi jender. Bahayanya sering kali dipandang tidak sebanding dengan yang terjadi di ranah publik.
Sementara itu, pendekatan jender dinilai masih luput dari upaya penanggulangan terorisme. Juru Bicara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Eddy Hartono saat dihubungi Kompas, Selasa sore,tidak menjawab pertanyaan terkait dengan penggunaan pendekatan jender. Ia menjelaskan, penanggulangan terorisme dilakukan dari hulu ke hilir, yakni dengan membangun kesiapsiagaan nasional, kontraradikalisasi, dan deradikalisasi.
Di hulu, pihaknya bekerja sama dengan 46 kementerian/lembaga, di antaranya, untuk menyebarkan kontranarasi terhadap pemahaman agama yang intoleran dengan menyebarkan narasi kebinnekaan dan kebangsaan. Adapun di hilir, penegak hukum terus mencegah terorisme dengan penegakan hukum.