Banding atau Tidak, KPK Pasrah Tunggu Sikap Juliari
Vonis majelis hakim atas bekas Mensos Juliari Batubara dianggap telah memenuhi tuntutan jaksa. Karena itu, KPK memilih menunggu sikap Juliari akan banding atau tidak sebelum memutuskan langkah hukum selanjutnya.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi memilih menunggu sikap terdakwa korupsi bantuan sosial, Juliari Batubara, atas vonis majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta untuk menentukan akan banding atau tidak. Jika terdakwa tidak banding, terbuka kemungkinan bagi KPK untuk menerima putusan hakim atas Juliari.
Saat jumpa pers memaparkan kinerja penindakan KPK, di kantor KPK, Jakarta, Selasa (24/8/2021), Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, vonis majelis hakim sudah melebihi tuntutan jaksa penuntut umum pada KPK. Hakim salah satunya memvonis hukuman 12 tahun penjara, sedangkan tuntutan jaksa 11 tahun penjara. Dengan demikian, KPK melihat yang dituntut oleh jaksa sudah dipenuhi majelis hakim.
”Kalau dari sisi tuntutan dan putusan hakim, sudah melebihi dari yang kita tuntut. Ya, kita lihat, apabila terdakwa banding, tentu kita juga mengajukan memori banding. Kalau terdakwanya menerima, saya kira kita juga harus fair,” ujar Alexander.
Saat sidang pembacaan putusan untuk Juliari pada Senin (23/8/2021), kuasa hukum Juliari, Maqdir Ismail, menyatakan akan mempelajari terlebih dulu putusan hakim sebelum mengambil keputusan akan banding atau tidak atas putusan hakim. Begitu pula jaksa penuntut umum.
Peneliti Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menyayangkan sikap KPK yang menunggu Juliari. Acuan utama KPK untuk memutuskan langkah hukum seharusnya berpijak pada kepentingan masyarakat. Maka, ketika vonis hakim dinilai banyak kalangan belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, seharusnya KPK memutuskan banding.
”Meski kecewa dengan sikap KPK yang pasrah itu, ICW tidak kaget. Perspektif KPK, kan, hanya melihat Juliari cukup dituntut 11 tahun,” ujarnya.
Padahal, menurut Kurnia, Juliari bisa dituntut jaksa atau dijatuhi hukuman lebih berat oleh hakim. Juliari seharusnya bisa dituntut atau dihukum maksimal sesuai yang diatur di Pasal 12 Huruf (b) UU Pemberantasan Tipikor, yaitu hukuman seumur hidup. Ada berbagai unsur pemberat yang bisa digunakan, di antaranya posisinya sebagai pejabat publik dan korupsi dilakukan saat pandemi Covid-19.
Putusan hakim yang dinilai ringan juga sebelumnya disampaikan penerima bansos yang dikorupsi Juliari cs. Salah satunya penerima bansos di Jakarta Utara, Eni Rochayati. Menurut dia, putusan hakim tak memenuhi rasa keadilan publik, khususnya para penerima bansos. Selain itu, tak menciptakan efek jera.
Pengembangan kasus
Selain dari sisi tindak pidana suap, KPK membuka kemungkinan akan mengusut kasus korupsi bansos dari sisi dugaan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa (PBJ). Bukan tak mungkin KPK juga mengusut dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Alexander mengatakan, dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, jaksa penuntut umum (JPU) KPK akan membuat kesimpulan (resume). Kemudian, dari kesimpulan itu, bisa saja KPK mengembangkan pengusutan kasus tersebut, salah satunya ke arah dugaan korupsi dalam PBJ.
”Kemarin, kan, masih menyangkut perkara suap. Ada banyak laporan dari media dan masyarakat, misalnya, vendor yang tak memenuhi kualifikasi, dia hanya sebagai broker (makelar), dan seterusnya. Akan kami lihat informasi atau data yang kami miliki, kemudian kami tambah dengan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan,” papar Alexander.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri pun menyatakan, saat ini perkara bansos yang menjerat Juliari masih terus dikembangkan.
Tim penyelidik akan mencari kemungkinan adanya pidana lain yang berhubungan dengan pasal-pasal, seperti melawan hukum, memperkaya diri sendiri, serta berkaitan dengan kerugian negara. Dalam kaitan itu, bisa saja nantinya terdakwa korupsi bansos, termasuk Juliari, dijerat dengan pasal TPPU. Ini sepanjang ditemukan alat bukti yang mencukupi.
”Sekarang dalam proses penyelidikan dan masih berjalan hingga kini. Ini merupakan bentuk komitmen KPK terhadap kasus bansos itu agar bisa dituntaskan,” kata Ali.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor Yenti Garnasih menyayangkan gerak lamban kerja KPK dalam mengusut perkara bansos. Menurut dia, jika KPK baru mengembangkan kasus ini ke arah TPPU, langkah KPK sudah terlambat.
”Bisa dikatakan ini bukan langkah strategis, tetapi tragis karena sudah kelamaan. Pertama, belum tentu uangnya masih ada. Kedua, orang-orangnya juga makin sulit ditemukan,” ucap Yenti.
Ia khawatir kerja lamban KPK ini menuai kecurigaan publik. Publik akan menduga-duga KPK lemah dalam menindaklanjuti TPPU pada kader partai tertentu. ”Jadi, jangan salahkan kalau masyarakat menuduh KPK itu lembek di partai ini di TPPU-nya, tetapi partai lain kenceng. Nah, itu jangan sampai,” tuturnya.
Seharusnya, lanjut Yenti, KPK dapat menelusuri dugaan TPPU pada perkara bansos ketika awal mengusut tindak pidana suap pada Juliari. Hal itu juga sebenarnya telah diatur di dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU. ”UU itu, kan, sudah jelas bahwa kalau dalam hal ini ada korupsi ditemukan ada TPPU-nya, sekaligus dikumulatifkan,” tutur Yenti.
Yenti menyayangkan para pimpinan KPK saat ini tidak fokus mengembangkan tindak pidana korupsi ke arah TPPU. Padahal, menurut dia, komitmen itu sempat disampaikan saat para pimpinan KPK mengikuti tes calon pimpinan KPK.
Bahkan, menurut Yenti, tidak terlalu masalah jika operasi tangkap tangan KPK berkurang jumlahnya. Namun, pengembangan satu kasus harus lebih dalam, salah satunya lewat TPPU.
”Padahal, dulu saat kami tes (calon pimpinan KPK), semua (calon) akan mengembangkan (tindak pidana korupsi) ke TPPU. Namun, KPK saat ini tidak menunjukkan itikad baik itu,” ucapnya.