Pemberian Remisi Sejumlah Koruptor Janggal
Ada narapidana korupsi penerima remisi yang diduga tidak berstatus sebagai ”justice collaborator”. Padahal, status tersebut menjadi salah satu syarat narapidana korupsi bisa menerima remisi.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah narapidana korupsi yang mendapat remisi pada peringatan HUT Ke-76 Kemerdekaan RI ditengarai tidak berstatus sebagai justice collaborator atau pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana. Padahal, status tersebut menjadi salah satu syarat narapidana korupsi bisa menerima remisi.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, terdapat 214 orang dari 3.496 narapidana tindak pidana korupsi (tipikor) atau sekitar 6 persen yang mendapat remisi umum dalam rangka Hari Kemerdekaan RI tahun 2021.
Besaran pengurangan hukuman melalui remisi bagi setiap koruptor berkisar satu bulan hingga enam bulan, bergantung pada masa pidana.
Namun, dari ratusan koruptor itu ada beberapa di antaranya yang diduga tak memenuhi syarat untuk menerima remisi, khususnya syarat berstatus sebagai justice collaborator (JC) seperti diatur di Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan, yakni terpidana kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1 Eni Maulani Saragih, serta terpidana kasus pengurusan fakwa Mahkamah Agung untuk Joko Soegiarto Tjandra, Andi Irfan Jaya.
Baca juga: Kemenkumham Jelaskan Alasan Obral Remisi Koruptor
Untuk Eni, di dalam putusan, majelis hakim telah menolak permohonan JC Eni. Ia tidak mengajukan banding atas putusan hakim tersebut. Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai aparat penegak hukum yang menangani kasus Eni juga bersikap sama.
Untuk Andi Irfan, kuasa hukumnya, Andi Syafrani, saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (21/8/2021), mengatakan, sejak awal persidangan kliennya tidak pernah mengajukan diri sebagai JC. ”Tidak mengajukan JC. Tidak ada (juga) JC (dalam putusan pengadilan),” ujarnya.
Pada 18 Januari 2021, majelis hakim memvonis Andi Irfan selama 6 tahun penjara. Andi Irfan baru mulai dieksekusi ke lembaga pemasyarakatan sekitar 3-4 minggu setelah dipastikan tak ada pihak yang mengajukan banding. Andi Syafrani mengaku belum mengecek soal remisi yang didapatkan oleh kliennya pada peringatan HUT Ke-76 Kemerdekaan RI.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mempertanyakan pemberian remisi kepada Eni dan Andi, Kompas (21/8/2021). Pasalnya, keduanya tidak berstatus sebagai JC.
Beda keterangan
Sementara itu, Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Rika Aprianti mengatakan, ada dua kategori terkait pemberian remisi terhadap narapidana tipikor.
Kategori pertama, narapidana tipikor yang diberikan remisi umum berdasarkan Pasal 34 Ayat 3 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Di pasal itu disebutkan, remisi diberikan bagi narapidana tipikor dengan syarat berkelakuan baik dan telah menjalani satu pertiga masa pidana.
Adapun kategori kedua, narapidana tipikor yang diberikan remisi umum berdasarkan Pasal 34A Ayat 1 PP No 99/2012. Pasal itu memperberat syarat bagi narapidana tipikor memperoleh remisi daripada aturan di PP No 28/2006.
Syarat dimaksud, narapidana tipikor harus bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang telah dilakukannya, dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.
Rika menjelaskan, remisi diberikan kepada Andi Irfan dan Eni karena mereka telah memenuhi syarat, yaitu bekerja sama dengan penegak hukum terkait membongkar kasus dan sudah dibuktikan dengan surat keterangan dari penegak hukum yang bersangkutan. ”Oleh karena itu, keduanya bisa diusulkan mendapatkan remisi dan disetujui untuk mendapat remisi umum 2021,” ucapnya.
Rika mengklaim, Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham telah memberikan remisi sesuai peraturan perundang-undangan yang ada. Termasuk pemberian remisi terhadap para narapidana tipikor, itu juga telah dilakukan sesuai dengan PP 28/2006 maupun persyaratan khusus seperti yang diatur di PP 99/2012.
Baca juga: Pemberantasan Korupsi Kian Suram
Janggal
Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Hibnu Nugroho, mengatakan, syarat JC merupakan syarat mutlak yang patut dipatuhi dalam penerapan kebijakan PP No 99/2012. Jika remisi tetap diberikan ketika syarat itu tak dipenuhi, hal itu janggal dan bisa memantik kecurigaan publik.
”Ini, kan, ada penegakan hukum yang diskriminatif. Diskriminasi ini bisa saja ada jual beli atau faktor-faktor kepentingan pragmatis. Harusnya tidak seperti,” kata Hibnu.
Lebih dari itu, lanjut Hibnu, pemerintah akan dianggap inkosisten pada kebijakannya sendiri. Dampaknya, publik pun akan semakin tidak percaya pada komitmen pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi.
”Jadi, dampaknya ini panjang, bukan hanya soal pemberian remisi saja. Ini terkait sistem yang dijalankan secara tidak konsisten sehingga semakin menambah ketidakpercayaan publik. Harusnya taat dong. Itu, kan, dasarnya sudah ada, boleh dapat remisi atau tidak. Kalau memang tidak, ya tegas, tidak,” ujar Hibnu.
Jika pemerintah inkosisten dan tetap memberikan remisi pada narapidana koruptor itu, menurut Hibnu, artinya pemerintah sudah meletakan dasar bahwa korupsi bukan merupakan suatu kejahatan luar biasa. Padahal, sejak awal konsep PP No 99/2012 dibentuk agar ada pengecualian dalam pemberian remisi terhadap para narapidana koruptor.
”Waktu itu, kan, meletakkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa sehingga dikecualikan dan dibuat PP No 99/2012. Lah, sekarang kalau memang diberikan (remisi) seperti itu, berarti sudah bukan lagi kejahatan luar biasa. Ini yang dikhawatirkan berarti politik hukum pemberantasan korupsi dipertanyakan,” tutur Hibnu.
Kecenderungan melemahnya semangat pemberantasan korupsi, lanjut Hibnu, tak hanya terlihat dari obral remisi bagi koruptor. Vonis bagi koruptor belakangan yang cenderung ringan juga memperlihatkan hal itu. Begitu pula tuntutan ringan koruptor dan potongan hukuman bagi koruptor dari pengadilan.
Ditambah lagi kondisi KPK yang dilihatnya mengalami pelemahan. Yang terbaru, misalnya, 51 pegawai KPK di mana di antaranya terdapat penyidik dan penyelidik yang memiliki integritas dan semangat memberantas korupsi justru dipaksa meninggalkan KPK karena tak lolos tes wawasan kebangsaan sebagai syarat alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara. Padahal, tes tersebut sarat persoalan, seperti temuan Komisi Nasional HAM dan Ombudsman RI.
Jika semangat pemberantasan korupsi itu terus melemah, ia khawatir Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia akan terus menurun.
IPK Indonesia pada 2020 sudah mengalami penurunan hingga tiga poin dari 2019, yakni dari skor 40 menjadi 37. Dari rentang 0-100, semakin tinggi skor, semakin dipersepsikan sebuah negara bebas korupsi. Dengan skor 37, Indonesia kini berada di peringkat ke-102 dari 180 negara yang disurvei.
”Ini yang menjadikan ke depan semakin runyam, ke mana arah pemberantasan korupsi di Indonesia? Presiden harusnya mengawal, paling tidak mengingatkan bahwa ini ada yang keliru, ini PP sudah dibuat, tetapi bawahannya tidak menerapkan dengan tepat,” ucap Hibnu.
Imbas buruk
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menilai, remisi merupakan hak seorang narapidana. Namun, KPK mengingatkan, ada syarat-syarat pemberian remisi yang telah ditentukan.
”Ranah KPK dalam menangani perkara korupsi adalah menyelidik, menyidik, dan menuntutnya sesuai fakta, analisis, dan pertimbangan hukumnya,” kata Ali.
Baca juga: Remisi untuk Joko Tjandra Dipertanyakan
Ali menyampaikan, korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime) yang memberi imbas buruk pada multi-aspek sekaligus dapat merugikan keuangan maupun perekonomian negara. Karena itu, selain hukuman pidana pokok, KPK juga fokus pada optimalisasi pengembalian aset (asset recovery) sebagai upaya pemulihan aset hasil tindak pidana korupsi yang dinikmati para koruptor.
”KPK berharap agar setiap hukuman pokok dan tambahan kepada para pelaku korupsi ini bisa memberikan efek jera dengan tetap menjunjung asas keadilan hukum. Hal tersebut sekaligus menjadi pembelajaran bagi publik agar kejahatan serupa tak terulang,” tutur Ali.