Kemenkumham Jelaskan Alasan Obral Remisi bagi Koruptor
Obral remisi peringatan Hari Kemerdekaan RI bagi 214 koruptor menunjukkan korupsi tak lagi dipandang sebagai kejahatan luar biasa oleh negara. Komitmen Presiden Joko Widodo pada agenda pemberantasan korupsi ditagih.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah persoalan remisi peringatan Hari Kemerdekaan RI tahun 2021 bagi 214 koruptor dikritisi publik, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Kemenkumham menjelaskan alasan pemberian remisi berikut dasar hukumnya. Tak hanya itu, Kemenkumham juga merilis nama-nama koruptor yang memperoleh pengurangan hukuman tersebut.
Melalui rilis tertulis yang diterima Kompas, Sabtu (21/8/2021), Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Rika Aprianti mengatakan, total ada 134.430 narapidana dan anak mendapatkan remisi dalam rangka Hari Kemerdekaaan RI tahun 2021.
Di antaranya terdapat 214 orang dari total 3.496 narapidana tindak pidana korupsi (tipikor) atau sekitar 6 persen yang mendapatkan remisi umum. Besaran pengurangan hukuman melalui remisi bagi setiap koruptor berkisar satu bulan hingga enam bulan, bergantung pada masa pidana.
Pemberian remisi disebutkan mengacu pada Pasal 14 Ayat 1 Huruf (i) Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menyatakan narapidana berhak mendapatkan remisi.
Terkait narapidana tipikor, ada dua kategori. Kategori pertama, narapidana tipikor yang diberikan remisi umum berdasarkan Pasal 34 Ayat 3 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Di pasal itu disebutkan, remisi diberikan bagi narapidana tipikor dengan syarat berkelakuan baik dan telah menjalani satu pertiga masa pidana.
Adapun kategori kedua, narapidana tipikor yang diberikan remisi umum berdasarkan Pasal 34A Ayat 1 PP No 99/2012. Pasal itu memperberat syarat bagi narapidana tipikor memperoleh remisi daripada aturan di PP No 28/2006.
Syarat dimaksud, narapidana tipikor harus bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang telah dilakukannya, dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.
Dalam rilis tertulis itu disebutkan pula 214 koruptor yang memperoleh remisi umum, baik yang termasuk dalam kategori pertama maupun kedua.
Di antaranya, narapidana tipikor kasus proyek PLTU Riau-1, Eni Maulani Saragih; narapidana kasus pengalihan hak tagih utang Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra; kemudian dua narapidana kasus fatwa bebas Mahkamah Agung Joko Tjandra, Tommy Sumardi dan Andi Irfan Jaya. Selain itu, ada pula narapidana kasus korupsi proyek KTP elektronik, yakni Andi Agustinus, Sugiharto, dan Irman. Ada juga Yaya Purnomo, bekas pegawai di Kementerian Keuangan yang jadi narapidana kasus suap dan gratifikasi.
Remisi bagi Joko Tjandra
Masih dari rilis tersebut, Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham juga menjelaskan terkait pemberian remisi selama dua bulan bagi Joko Tjandra.
Rika menjelaskan, Joko yang saat ini sedang menjalani pidana dua tahun penjara kasus Bank Bali sesuai putusan MA pada 11 Juni 2009, di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba, DKI Jakarta, memperoleh remisi setelah memenuhi syarat yang diatur di PP No 28/2006. Syarat remisi seperti diatur di PP No 99/2012 tak diberlakukan pada Joko karena putusan MA atas Joko yang telah berkekuatan hukum tetap dikeluarkan MA pada 2009 atau sebelum PP No 99/2012 diterbitkan.
”Oleh karena itu, terhadap yang bersangkutan tidak diberlakukan ketentuan PP Nomor 99 Tahun 2012, tetapi pemberian hak remisi sesuai ketentuan yang diatur dalam PP No 28/2006,” ujarnya.
Joko, lanjut Rika, sudah menjalani satu pertiga masa pidana seperti salah satu syarat yang diatur di PP No 28/2006. Satu pertiga masa pidana Joko jatuh pada 28 Maret 2021 karena ia baru dieksekusi ke lapas pada 31 Juli 2020. Sebelumnya atau sejak putusan MA dijatuhkan pada 2009, ia kabur ke luar negeri. ”Joko Tjandra sudah menjalani satu pertiga masa pidana dan memenuhi syarat lain untuk mendapatkan remisi umum pertama pada 17 Agustus 2021,” ujarnya.
Adapun terkait putusan dua perkara lain yang melibatkan Joko, ditegaskan Rika, belum dilaksanakan atau dikeluarkan berita acara pelaksanaan putusan eksekusi oleh jaksa penuntut umum selaku eksekutor. Kedua perkara dimaksud, pemalsuan surat jalan di mana Joko divonis 2,5 tahun penjara dan kasus suap fatwa bebas MA bagi Joko di mana Joko divonis 3,5 tahun penjara.
Tak lagi kejahatan luar biasa
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Hibnu Nugroho kecewa dengan obral remisi pada ratusan koruptor. Mudahnya remisi diberikan menunjukkan korupsi tak lagi dipandang sebagai kejahatan luar biasa oleh negara. Selain itu, obral remisi pada koruptor tak menciptakan efek jera yang akhirnya bisa berimbas pada maraknya korupsi di Tanah Air.
”Jadi, kita perlu menagih janji komitmen Presiden pada pemberantasan korupsi. Politik hukum pemberantasan korupsi dipertanyakan. Tidak konsisten,” ujarnya.
Kecenderungan melemahnya semangat pemberantasan korupsi, lanjut Hibnu, tak hanya terlihat dari obral remisi bagi koruptor. Vonis bagi koruptor belakangan yang cenderung ringan juga memperlihatkan hal itu. Begitu pula tuntutan ringan koruptor dan potongan hukuman bagi koruptor dari pengadilan.
Ditambah lagi kondisi KPK yang dilihatnya mengalami pelemahan. Yang terbaru, misalnya, 51 pegawai KPK di mana di antaranya terdapat penyidik dan penyelidik yang memiliki integritas dan semangat memberantas korupsi justru dipaksa meninggalkan KPK karena tak lolos tes wawasan kebangsaan sebagai syarat alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara. Padahal, tes tersebut sarat persoalan, seperti temuan Komnas HAM dan Ombudsman RI.
Jika semangat pemberantasan korupsi itu terus melemah, ia khawatir Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia akan terus menurun.
IPK Indonesia pada 2020 sudah mengalami penurunan hingga tiga poin dari 2019, yakni dari skor 40 menjadi 37. Dari rentang 0-100, semakin tinggi skor, semakin dipersepsikan sebuah negara bebas korupsi. Dengan skor 37, Indonesia kini berada di peringkat ke-102 dari 180 negara yang disurvei.