PPATK: Korupsi dan Narkotika Masih Jadi Risiko Utama Pencucian Uang
”Korupsi dan narkotika merupakan jenis tindak pidana asal yang berkategori tinggi tindak pidana pencucian uang domestik, juga merupakan ancaman tinggi TPPU ke luar negeri,” kata Kepala PPATK Dian Ediana Rae.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama enam tahun terakhir, ancaman terjadinya tindak pidana pencucian uang baik di lingkup domestik maupun ke luar negeri masih disebabkan oleh pidana asal yang sama, yakni korupsi dan perdagangan narkotika. Konsolidasi antara penegak hukum dan pemangku kepentingan semakin penting untuk memperkuat integritas sistem guna memberantas dan mencegah penyalahgunaan teknologi untuk pencucian uang.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae menjelaskan, berdasarkan Penilaian Risiko Nasional (National Risk Assesment/NRA) Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Indonesia tahun 2021, terdapat 28 jenis tindak pidana asal yang menjadi faktor pembentuk risiko terjadinya pencucian uang. Sejumlah tindak pidana asal yang dimaksud terbagi dalam tiga kelompok risiko, yakni tinggi, menengah, dan rendah.
”Korupsi dan narkotika merupakan jenis tindak pidana asal yang berkategori tinggi, TPPU domestik juga merupakan ancaman tinggi TPPU ke luar negeri (outward risk),” kata Dian saat meluncurkan naskah NRA tahun 2021 yang digelar secara hibrida, Kamis (19/8/2021).
Dalam peluncuran NRA, hadir pula Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Fadil Zumhana, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri, dan mantan Ketua PPATK Yunus Husein. Selain itu, acara juga dihadiri sejumlah pengamat dari mitra kerja sama luar negeri PPATK.
Dian melanjutkan, tidak hanya menjadi ancaman di dalam negeri dan menuju ke luar negeri, korupsi dan narkotika juga menjadi bagian dari ancaman tinggi pencucian uang dari luar negeri ke dalam negeri, bersama dengan penipuan, transfer dana, dan informasi transaksi elektronik (ITE).
Korupsi dan narkotika merupakan jenis tindak pidana asal yang berkategori tinggi, TPPU domestik juga merupakan ancaman tinggi TPPU ke luar negeri.
Bahkan, sejumlah tindak pidana tersebut juga menjadi ancaman yang tinggi sepanjang pandemi Covid-19 berlangsung. ”Secara riil telah terjadi beberapa kasus selama pandemi Covid-19, di antaranya terkait kejahatan pengalihan transfer dana atas transaksi bisnis atau business email compromise (BEC) dan korupsi terkait penyalahgunaan bantuan sosial,” ujarnya.
Dari aspek hasil kejahatan, dalam kurun waktu 2016-2020 terdapat 336 putusan perkara pencucian uang yang berkekuatan hukum tetap dengan akumulasi nilai hasil kejahatan Rp 44,2 triliun. Dari total nilai itu, paling besar terakumulasi pada pidana narkotika, yakni Rp 21,5 triliun (48,67 persen), disusul penipuan Rp 14,2 triliun (32,08 persen) dan korupsi Rp 5,05 triliun (11,4 persen). Selebihnya merupakan hasil dari tindak pidana penggelapan (2,94 persen), perbankan (1,36 persen), transfer dana (1,07 persen), dan perpajakan (1,05 persen).
”Kondisi ini tentunya dapat merusak integritas sistem keuangan dan perekonomian nasional,” kata Dian.
Berdasarkan catatan Kompas, kondisi ini belum berubah setidaknya sejak enam tahun yang lalu. Dalam NRA 2015 dan 2019, korupsi ataupun narkotika merupakan ancaman tinggi pencucian uang, baik di lingkup domestik, ke luar negeri, maupun menuju ke dalam negeri.
NRA 2021 juga mengungkap pemetaan ancaman negara terkait tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT) dan pidana proliferasi senjata pemusnah massal (PPSPM) yang mengancam keamanan negara. Dian mengatakan, ancaman keamanan dari aktivitas terorisme masih sangat signifikan. Namun, karakteristik gerakan terorisme yang berbasis ideologi bersifat multidimensi sehingga mempersulit pengelompokan aliran dana terorisme.
Sejauh ini, PPATK menemukan risiko utama pendanaan terorisme berasal dari sponsor pribadi, penyimpangan pengumpulan donasi melalui organisasi kemasyarakatan, dan usaha bisnis yang sah. Gerakan terorisme memindahkan sejumlah dana itu melalui penyedia jasa keuangan, pembawaan uang tunai lintas batas, dan menggunakan metode pembayaran baru.
Sejumlah kasus besar yang terkait TPPU menunjukkan bahwa konsolidasi antara penegak hukum dan seluruh pemangku kepentingan dalam rezim anti-pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme kian penting.
Mayoritas dana digunakan untuk membeli senjata dan bahan peledak. Selain itu, juga untuk mengadakan pelatihan guna membuat dan menggunakan senjata dan bahan peledak serta biaya perjalanan.
Menurut Dian, terjadinya sejumlah kasus besar yang terkait TPPU menunjukkan bahwa konsolidasi antara penegak hukum dan seluruh pemangku kepentingan dalam rezim anti-pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme kian penting. Diperlukan pula penguatan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan melalui pendekatan sistemik dengan menegakkan peraturan perundang-undangan, tata kelola, dan etika yang konsisten. Seiring dengan perkembangan teknologi, dibutuhkan juga penguatan mitigasi risiko penyalahgunaan teknologi baru sebagai sarana TPPU, TPPT, dan PPSPM.
Menko Polhukam sekaligus Ketua Komite TPPU, Mahfud MD, mengapresiasi peluncuran NRA 2021. Menurut dia, hal ini merupakan upaya riil untuk melaksanakan rekomendasi Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF). Komitmen untuk memenuhi rekomendasi itu penting agar Indonesia dapat segera diterima menjadi anggota FATF. Keanggotaan dalam organisasi itu dapat berkontribusi strategis, yakni ikut menentukan berbagai standar global terkait pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Selain itu, kata Mahfud, keberadaan NRA 2021 ini juga telah memenuhi kebutuhan negara atas pemetaan risiko tinggi TPPU, TPPT, dan PPSPM terkini. ”Kepada seluruh pimpinan kementerian, lembaga, yang tergabung dalam Komite TPPU untuk mencermati hasil penilaian risiko TPPU, TPPT, PPSPM ini dalam pelaksanaan tugas masing-masing serta meningkatkan koordinasi dan sinergi yang intensif untuk mereduksi risiko TPPU, TPPT, dan PPSPM yang akan terus berkembang ke depan,” katanya.
Sosialisasi
Mantan Ketua PPATK Yunus Husein membenarkan, korupsi dan narkotika merupakan ancaman tinggi TPPU dari tahun ke tahun. Selain terungkap dalam NRA, hal tersebut juga diungkap PPATK dalam penilaian risiko sektoral (SRA). Pemetaan dalam kedua jenis penilaian itu semestinya bisa menjadi referensi oleh semua pihak terkait untuk memantau risiko tindak pidana dan pelaku yang berpotensi melakukan pencucian uang.
Namun, menurut Yunus, selama ini sosialisasi NRA dan SRA belum optimal. Sejauh ini, sosialisasi baru dilakukan terhadap penegak hukum. Padahal, masyarakat juga penting untuk mengetahuinya agar bisa berkontribusi dalam pemberantasan TPPU. ”NRA dan SRA perlu disebarluaskan, bukan saja kepada penegak hukum dan instansi terkait, melainkan juga kepada industri dan masyarakat, sehingga kerja sama pentaheliks dapat dilakukan,” ujarnya.
Yunus menambahkan, hasil pemetaan NRA semestinya juga tecermin dalam berbagai laporan lain, misalnya laporan transaksi mencurigakan. Di luar PPATK, semestinya ini juga menjadi cerminan dalam penyidikan kasus, putusan pengadilan, serta pemulihan aset negara. Menurut dia, minimnya sosialisasi juga berakibat pada tidak dikenalnya produk PPATK. Selain NRA dan SRA, PPATK memiliki informasi, hasil analisis, hasil pemeriksaan, dan rekomendasi.
”Empat produk ini sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh penegak hukum untuk penyidikan, pemerintah dalam melakukan seleksi pejabat publik, bahkan oleh DPR untuk memeriksa rekam jejak anggotanya yang bermasalah,” kata Yunus.