HUT Ke-76 Mahkamah Agung dirayakan di Jakarta, Kamis. Di usianya yang sama dengan kemerdekaan RI, MA ingin memantapkan program modernisasi peradilan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari dan Susana Rita Kumala Santi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di usianya yang sama dengan kemerdekaan RI, Mahkamah Agung ingin memantapkan program modernisasi peradilan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi. Masyarakat sipil mengapresiasi inovasi tersebut. Namun, diperlukan evaluasi mendalam, terutama mekanisme persidangan daring, agar tidak mengurangi esensi peradilan yang adil.
HUT Ke-76 MA dirayakan secara hibrida, daring dan luring, di Jakarta, Kamis (19/8/2021). Perayaan dilakukan dengan upacara bendera, pemberian Anugerah MA 2021 untuk peradilan di bawah MA yang telah mendukung program kerja MA, dan menonton film Pesan Bermakna bersama.
Ketua MA M Syarifuddin mengatakan, tema ulang tahun MA kali ini adalah ”Memantapkan Kemandirian Badan Peradilan Melalui Pelayanan Hukum Berbasis Teknologi Informasi pada Masa Pandemi”. Menurut dia, aspek kemandirian adalah hal yang terpenting dalam peradilan. Aspek kemandirian harus dijaga sebagai marwah dan jantung peradilan. Tanpa dibekali peradilan, hakim sulit memutus perkara secara adil. Prinsip kemandirian hakim, tambahnya, juga harus dibekali dengan integritas dan profesionalitas agar tidak menimbulkan kesewenang-wenangan.
Kemandirian adalah jantung dan nadi peradilan. Peradilan bahkan bisa terjerumus menjadi alat pemuas pihak-pihak yang memiliki kepentingan jika tidak dibekali prinsip kemandirian. (M Syarifuddin)
”Kemandirian adalah jantung dan nadi peradilan. Peradilan bahkan bisa terjerumus menjadi alat pemuas pihak-pihak yang memiliki kepentingan jika tidak dibekali prinsip kemandirian,” kata Syarifuddin.
Selain itu, Syarifuddin juga mengatakan, pada masa pandemi, MA dan peradilan di bawahnya harus beradaptasi dengan memanfaatkan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi diwujudkan dalam pelayanan persidangan, yaitu e-court dan e-litigasi. Awalnya, persidangan daring hanya digunakan untuk perkara perdata, perdata agama, tata usaha negara, dan tata usaha militer.
Kemudian, karena situasi pandemi memburuk, sidang daring juga diadaptasi untuk perkara pidana. Dalam sidang perkara pidana, sidang tidak sepenuhnya dilakukan secara daring. Sidang daring untuk perkara pidana diatur dalam Peraturan MA Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan secara Elektronik. Majelis hakim, jaksa, dan kuasa hukum tetap beracara dari ruang sidang pengadilan. Adapun terdakwa mengikuti sidang secara daring melalui sambungan telekonferensi seperti aplikasi Zoom.
”Pemanfaatan teknologi bagi pencari keadilan memberikan kecepatan, kemudahan, dan biaya murah. Sementara bagi aparatur peradilan, dapat meringankan dan mempercepat penyelesaian perkara. Teknologi juga bisa memutus mata rantai birokrasi yang berpotensi menimbulkan korupsi,” tutur Syarifuddin.
Setelah ini, MA juga akan kembali menggodok berbagai aturan untuk berlakunya persidangan secara elektronik. Sejumlah aturan yang sedang digodok itu adalah administrasi pengajuan upaya hukum serta persidangan kasasi dan peninjauan kembali di MA secara elektronik, mediasi di pengadilan secara elektronik, tata cara pengajuan dan pemeriksaan keberatan terhadap putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha di pengadilan niaga, penyempurnaan terhadap administrasi perkara dan persidangan di pengadilan secara elektronik, serta administrasi pengelolaan hibah di lingkungan MA dan badan peradilan yang ada di bawahnya.
Evaluasi menyeluruh
Kepala Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nelson Simamora mengatakan, MA harus terlebih dahulu mengevaluasi mekanisme persidangan daring, terutama untuk perkara pidana. Sebagai pengacara publik, LBH Jakarta menilai sidang daring perkara pidana banyak merugikan terdakwa. Sebagai pihak yang buta hukum, terdakwa kehilangan hak konsultasi hukum karena pengacara tidak bisa mendampingi mereka saat bersidang melalui lapas/rutan. Pengacara memang diperbolehkan mendampingi terdakwa saat persidangan daring. Namun, karena situasi pandemi, akses rutan/lapas ditutup. Orang dari luar tidak boleh masuk, sementara penghuni rutan/lapas juga tidak boleh keluar. Situasi ini dinilai sangat merugikan hak terdakwa.
”Terdakwa, terutama perkara yang melibatkan rakyat kecil kelas ekonomi bawah, menghilangkan hak terdakwa untuk menikmati hak atas peradilan yang adil,” tegas Nelson.
Nelson berharap, sebelum MA membuat regulasi persidangan elektronik yang lainnya, mekanisme ini dievaluasi dan diperbaiki dahulu. Hal teknis kesiapan sarana prasarana mikrofon, koneksi internet, ponsel, ataupun laptop di rutan/lapas, misalnya, harus diperbaiki. Jangan sampai sidang daring hanya menambah masalah baru.
Menurut peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Liza Farihah, modernisasi peradilan memiliki sisi positif dan negatif. Untuk persidangan daring perkara pidana, ini merupakan respons pengadilan untuk menghindari penularan Covid-19. Namun, memang, hak terdakwa untuk mendapatkan peradilan yang adil bisa tercederai. Ini akibat tidak sinkronnya aturan yang dibuat oleh MA dengan Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham, kejaksaan, dan kepolisian. MA memperbolehkan terdakwa didampingi pengacara saat bersidang secara daring di rutan/lapas. Namun, akses rutan/lapas ditutup selama pandemi.
”LeIP mengapresiasi modernisasi peradilan yang dilakukan MA sejak 2018, yang akhirnya dipercepat karena adanya pandemi. Namun, MA juga harus mengevaluasi pelaksanaan persidangan daring, terutama perkara pidana, agar tidak melupakan esensi peradilan yang adil bagi semua,” kata Liza.
Pengawasan perilaku hakim
Kolaborasi terutama dilakukan KY dan MA untuk memperjelas area teknis yudisial dan substansi putusan dengan dugaan pelanggaran KEPPH (Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim) sehingga ke depan rekomendasi KY dapat ditindaklanjuti secara optimal.
Ketua Komisi Yudisial Mukti Fajar Nur Dewata berharap MA kian memantapkan diri dalam berinovasi untuk mewujudkan pelayanan hukum berbasis teknologi informasi, khususnya di masa pandemi. Ia pun berharap adanya peningkatan sinergisitas kelembagaan yang kuat, harmonis, dan profesional untuk menuju tegaknya hukum dan keadilan di masyarakat.
Lebih jauh, juru bicara KY, Miko Ginting, mengungkapkan, dalam rangka menjaga kepercayaan terhadap integritas pengadilan, penguatan terhadap pengawasan dan dorongan akan kepatuhan hakim terhadap kode etik dan pedoman perilaku menjadi sangat penting. Hal tersebut salah satunya dapat dicapai melalui penguatan kesepahaman akan tindak lanjut rekomendasi-rekomendasi KY atas dugaan pelanggaran kode etik.
”Kolaborasi terutama dilakukan KY dan MA untuk memperjelas area teknis yudisial dan substansi putusan dengan dugaan pelanggaran KEPPH (Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim) sehingga ke depan rekomendasi KY dapat ditindaklanjuti secara optimal,” ujar Miko.
Sepanjang Januari hingga Mei 2021, KY menerima 601 pengaduan. Sebanyak 124 pengaduan di antaranya disampaikan melalui penghubung KY di daerah ataupun situs resmi KY. Badan peradilan umum menjadi institusi terbanyak yang dilaporkan ke KY (452 laporan), diikuti peradilan agama (42 laporan) dan MA (38 laporan).
Dari jumlah tersebut, KY telah menangani dan memutus 116 laporan pengaduan, dengan rincian 35 di antaranya terbukti ada pelanggaran etik dan 81 lainnya tak terbukti. KY pun mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap 64 hakim, 3 di antaranya perlu dijatuhi sanksi berat, 14 hakim sanksi sedang, dan 47 hakim sanksi ringan.
Namun, selama ini usulan penjatuhan sanksi tersebut sering kali tidak ditindaklanjuti MA. MA menilai pemeriksaan yang dilakukan KY sering kali masuk ke ranah teknis yudisial. Padahal, KY bertugas untuk mengawasi perilaku hakim.