Antisipasi Penyebaran Paham Radikal lewat Lembaga Informal
Kelompok teroris membangun gerakan kebudayaan di tengah masyarakat untuk merekrut lebih banyak anggota. Karena itu, pencegahan oleh Densus 88 Polri melalui penegakan hukum perlu diperkuat dengan pendekatan kultural.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok teroris diduga memanfaatkan rumah tahfiz untuk menyamarkan penyebaran paham radikal dan konsolidasi gerakan terorisme. Masyarakat perlu kian waspada terhadap kegiatan kelompok teror yang sulit dibedakan dengan aktivitas masyarakat umum.
Dugaan keterkaitan antara rumah tahfiz dan aktivitas kelompok teror salah satunya terungkap dari rangkaian penangkapan tersangka teroris selama sepekan terakhir. Pekan lalu, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menangkap 48 tersangka teroris, di antaranya RW dan SU yang ditangkap di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Keduanya merupakan pemilik salah satu rumah tahfiz di Balikpapan. Rumah tahfiz yang dimaksud merupakan tempat mengajar tersangka teroris lain, yakni SP, yang ditangkap Densus 88 pada Mei lalu (Kompas, 16/8/2021).
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Ahmad Ramadhan mengatakan, penangkapan di Balikpapan adalah bagian dari rangkaian penegakan hukum yang dilakukan Densus 88 dalam kurun waktu Kamis-Minggu, 12-15 Agustus 2021. Total ada tiga tersangka yang ditangkap di Balikpapan, yakni WS, RW, dan SU.
”Tiga tersangka itu merupakan jaringan media sosial Jamaah Ansharut Daulah (JAD),” kata Ramadhan, dihubungi dari Jakarta, Selasa (17/8/2021).
Selain dari Kalimantan Timur, Densus 88 juga menangkap 45 tersangka dari kelompok Jamaah Islamiyah (JI) di 10 provinsi. Daerah penangkapan yang dimaksud antara lain Sumatera Utara, Jambi, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Selain itu, penangkapan juga dilakukan di Sulawesi Selatan, Maluku, dan Kalimantan Barat. Meski demikian, masih ada lima buron yang berasal dari Sumatera Utara (1 orang), Jawa Barat (1 orang), Jawa Timur (2 orang), dan Maluku (1 orang).
Dihubungi secara terpisah, peneliti terorisme sekaligus Visiting Fellow S Rajaratnam School of International Studies Nanyang Technological University, Singapura, Noor Huda Ismail, mengatakan, pemanfaatan rumah tahfiz oleh kelompok teror sudah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir.
Pasca-serangan bom Bali 2002, pemerintah memperketat perizinan pembukaan pesantren untuk mengantisipasi penyebaran paham radikal di lembaga formal. Oleh karena itu, anggota kelompok teror bersiasat dengan membangun lembaga informal di tengah masyarakat, salah satunya rumah tahfiz.
Berdasarkan penelitiannya, lembaga informal itu tersebar di beberapa daerah, antara lain Jawa Timur, Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Sejumlah rumah tahfiz digunakan untuk tempat tinggal anak-anak yang orangtuanya pergi ke Suriah.
Keberadaan sejumlah rumah tahfiz cenderung tidak mencurigakan lantaran narasi dan aktivitas yang dilaksanakan tidak asing dari kegiatan sehari-hari warga. Secara fisik, mereka juga menggunakan rumah-rumah yang berada di tengah permukiman masyarakat. ”Mereka menggunakan rumah tahfiz sebagai cover yang bisa diterima di masyarakat umum, (tempat) konsolidasi antarpimpinan, dan juga untuk pendanaan,” kata Noor Huda.
Menurut dia, pendirian lembaga itu dilakukan karena kelompok teror tidak hanya menggencarkan kekerasan. Mereka juga membangun gerakan kebudayaan di tengah masyarakat untuk merekrut lebih banyak anggota sejak dini.
Oleh karena itu, pencegahan yang dilakukan Densus 88 melalui penegakan hukum perlu diperkuat dengan pendekatan kultural. Masyarakat juga harus lebih waspada dan kritis karena gerakan terorisme tidak hanya berkembang dalam bentuk pengeboman, tetapi juga didukung berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Pendanaan
Selain terkait rumah tahfiz, penangkapan tersangka teroris dalam sepekan terakhir juga mengungkap perihal penggalangan dana yang dilakukan kelompok JI. Ramadhan mengatakan, Densus 88 menggeledah kantor Syam Organizer yang berada di Kota Bandung dan DI Yogyakarta. Dari penggeledahan tersebut, ditemukan beberapa buku tabungan, buku catatan, dan 1.540 kotak amal.
”Syam Organizer merupakan yayasan amal milik organisasi JI yang berkantor pusat di Yogyakarta. Tujuan pembentukannya adalah untuk menggalang dana. Mereka menarik simpati masyarakat melalui program kemanusiaan, menghindari kecurigaan aparat sehingga dapat menggalang dana secara maksimal,” kata Ramadhan.
Ia mencontohkan, Syam Organizer membuat program sumbangan air bersih untuk warga Suriah, sumbangan untuk anak di Suriah dan Palestina, serta bantuan musim dingin untuk memberikan kayu bakar, jaket, dan membangun rumah untuk warga Suriah. Lembaga ini juga menggalang dana dengan mengedarkan kotak amal ke masyarakat, mengadakan tabungan kurban, dan menyelenggarakan sejumlah tablig akbar. Dalam setiap tablig akbar, mereka meminta dana kepada para jemaah, baik secara langsung maupun transfer ke rekening Syam Organizer.
Selain itu, lembaga ini juga memotong gaji setiap anggota dan pimpinan untuk dikumpulkan. Dana yang terkumpul dikelompokkan menjadi dua, yakni dana organisasi yang disimpan dalam brankas di kantor pusat. Adapun dana operasional disimpan di rekening Syam Organizer.
”Aliran dana Syam Organizer ke JI pada 2013-2017 di antaranya digunakan untuk memberangkatkan anggota ke Suriah,” kata Ramadhan.