Penanganan Pandemi Pengaruhi Kepuasan Publik pada Pemerintah
Survei oleh Charta Politika Indonesia menemukan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin berada pada angka 62,4 persen. Ada kecenderungan penurunan dibandingkan survei sebelumnya.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Survei oleh Charta Politika Indonesia pada 12-20 Juli 2021 menemukan bahwa tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin berada pada angka 62,4 persen. Meskipun masih di atas 60 persen, ada kecenderungan penurunan dibandingkan survei sebelumnya. Publik menilai persoalan paling pokok yang tengah dihadapi saat ini menyangkut penanganan pandemi Covid-19.
Survei tersebut dilakukan melalui wawancara tatap muka secara langsung dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Jumlah sampel 1.200 responden yang tersebar di 34 provinsi. Metodologi survei menggunakan metode acak bertingkat dengan margin of error plus minus 2,83 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
”Ada 62,4 persen mengatakan puas, 34,1 persen tidak puas, dan 3,5 persen menyatakan tidak tahu atau tidak jawab,” kata Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya saat memaparkan hasil survei bertajuk ”Evaluasi Kebijakan dan Peta Politik Masa Pandemi”, yang digelar secara daring, Kamis (12/8/2021).
Tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintah tertinggi berada di wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta; Jawa Timur; serta Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Adapun tingkat kepuasan terendah berada di wilayah Maluku dan Papua, Kalimantan, serta Sumatera.
Apabila dibandingkan dengan periode survei sebelumnya, Yunarto menuturkan, tingkat kepuasan cenderung stabil walaupun agak turun. Namun, hal yang perlu jadi perhatian adalah tren ketidakpuasan naik cukup tinggi dibandingkan dengan tiga survei terakhir.
Masih mengacu pada hasil survei, persoalan paling pokok yang dilihat publik saat ini adalah penanganan pandemi Covid-19, yakni 31,5 persen. Disusul kemudian dengan harga kebutuhan pokok yang mahal (22,1 persen), dan susahnya mencari pekerjaan (11,9 persen).
”Dulu, pada masa situasi normal, survei itu sering dikatakan bias ekonomi. Bias perutlah, (kalau) menggunakan bahasa normal. Kenapa? (Hal ini) karena kecenderungan biasanya variabel sektor yang berkorelasi linier dengan kepuasan publik secara umum, itu biasanya terkait bidang ekonomi,” katanya.
Variabel harga kebutuhan pokok dan susah mencari pekerjaan biasanya selalu nomor satu dan nomor dua. Terkait hal itu, Yunarto membuat sebuah hipotesis bahwa angka ketidakpuasan yang naik cukup tinggi pada survei kali ini dimungkinkan disebabkan angka ketidakpuasan dari penanganan pandemi Covid-19.
Penanganan pandemi
Sebanyak 51,4 persen responden menilai penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia sangat baik dan baik atau lebih tinggi dari yang menyatakan buruk dan sangat buruk (45,6 persen). Sebanyak 53,1 persen responden menyatakan percaya dengan data terkait Covid-19 yang dirilis pemerintah dan 43,3 persen lainnya menyatakan tidak memercayainya.
”(Hal) paling utama, trust itu terbangun ketika publik percaya terlebih dahulu terhadap data. Data ini jantung pertahanan. Dari data; baik itu data terkait angka positif setiap harinya, kasus aktif, angka kematian. Ketika publik sudah percaya, trust-nya akan terbangun,” kata Yunarto.
Dan, ketika kepercayaan sudah terbangun, variabel terkait pelacakan dan tindakan pun akan lebih mudah dilakukan. Variabel terkait perilaku masyarakat dalam menangani pandemi juga akan mudah dilakukan.
Sebaliknya, tanpa ada kepercayaan di hal paling hulu, yakni terkait data yang dirilis pemerintah, pemerintah akan memiliki tugas lebih berat dalam bersinergi dan berkolaborasi dengan masyarakat dalam menghadapi situasi pandemi.
Survei menemukan pula dampak pandemi yang paling dirasakan adalah pengurangan penghasilan. Masyarakat menolak pemberlakuan denda terhadap yang menolak vaksinasi. Kendala vaksinasi Covid-19 dikarenakan ketidakjelasan informasi mengenai vaksinasi.
Mayoritas masyarakat, yakni 92,3 persen, mengetahui pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang diterapkan untuk menurunkan angka kasus Covid-19. Masyarakat masih sering melihat pelanggaran protokol kesehatan selama satu bulan terakhir.
Survei juga menunjukkan bahwa 52,7 persen responden menyatakan PPKM di wilayahnya akan berjalan baik. Mayoritas responden, yakni 54,7 persen, meminta PPKM disudahi dan kembali ke masa new normal dengan pengetatan protokol kesehatan di setiap sektor.
Ekonomi dan hukum
Survei Charta Politika Indonesia menunjukkan pula adanya 65,9 persen responden menyatakan kondisi ekonomi saat ini buruk dan sangat buruk. Akan tetapi, 60,5 persen responden menyatakan optimistis terhadap kondisi ekonomi satu tahun yang akan datang.
”Ini good news dari satu sisi karena trust-nya berarti masih ada; baik terhadap kondisi, baik terhadap pemerintah,” ujar Yunarto.
Namun, lanjut Yunarto, hal ini juga menjadi tantangan kalau kemudian optimisme besar atau ekspektasi publik ini tidak dijawab dengan adanya perbaikan kondisi. Gap antara ekspektasi dan realitas yang besar akan menimbulkan potensi ketidakpercayaan. Dengan demikian, optimisme tinggi publik menjadi pekerjaan rumah pemerintah agar tidak terjadi gap besar antara ekspektasi dan realita di bidang ekonomi.
Survei pun menunjukkan responden terbelah dalam menyikapi kondisi penegakan hukum di Indonesia. Sebanyak 49,5 persen responden menyatakan menilai sangat baik dan baik. Adapun 47,3 persen responden menilai penegakan hukum di Indonesia saat ini buruk dan sangat buruk.
Apabila dilihat dari tren, penilaian buruk mengenai kondisi penegakan hukum mengalami kenaikan cukup tajam dibandingkan survei-survei sebelumnya. Sebanyak 44 persen responden menilai pemberantasan korupsi saat ini sangat baik dan baik. Sementara itu 53 persen responden menyatakannya buruk dan sangat buruk.
Peta politik
Terkait elektabilitas partai politik, Yunarto menuturkan bahwa survei menemukan bahwa PDI-P masih menempati urutan teratas apabila pemilihan anggota DPR dilaksanakan hari ini. Apabila dilihat dari tren, partai politik yang mengalami kenaikan keterpilihan yakni PDI-P, Gerindra, dan Demokrat.
Terkait elektabilitas tokoh pada banyak nama jika pemilihan presiden dilakukan sekarang, elektabilitas tertinggi adalah Ganjar Pranowo dengan 16,2 persen, Prabowo Subianto (14,8 persen), dan Anies Baswedan (14,6 persen).
Sementara itu, elektabilitas nama-nama lainnya berada di bawah 10 persen. Ini termasuk politisi senior PDI-P, Puan Maharani dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto sekalipun keduanya sudah gencar mempromosikan diri melalui baliho-baliho di jalanan.
Pada simulasi 10 nama, nama Ganjar Pranowo mendapatkan elektabilitas tertinggi, yakni 20,6 persen. Diikuti berikutnya adalah Anies Baswedan 17,8 persen dan Prabowo Subianto 17,5 persen.
Sementara itu, pada simulasi lima nama, Ganjar Pranowo mendapat elektabilitas tertinggi, yakni 23,3 persen. Disusul kemudian Anies Baswedan (19,8 persen) dan Prabowo Subianto (19,6 persen) yang berada pada posisi cukup berimbang. ”Kuda hitam, Sandiaga Uno dan Ridwan Kamil, bisa dikatakan juga memiliki angka yang cukup berimbang,” kata Yunarto.
Sebelumnya, pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta yang juga pendiri Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, dalam rilisnya, Rabu (11/8/2021), menuturkan, antara lain, permasalahan Covid-19 tidak dapat diselesaikan sendirian oleh pemerintah.
Penyelesaian permasalahan Covid-19 memerlukan pelibatan aktif aktor nonpemerintahan seperti ilmuwan, akademisi, masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat, serta berbagai komunitas dan sukarelawan.
Menurut Achmad Nur, dalam memaknai kemerdekaan di tengah tekanan varian Delta ini, cara pandang pendekatan kebijakan mesti berubah. Pendekatan sentralistis diubah menjadi pelibatan aktif sosial dengan harapan muncul solidaritas dan kohesi sosial yang tinggi. ”Dengan begitu, penanganan Covid-19 menjadi orkestrasi indah dengan serangkaian pelibatan luas masyarakat dalam berbagai dimensi kehidupan,” katanya.