Modal sosial berupa keyakinan dan solidaritas publik harus dimanfaatkan dalam mengatasi pandemi Covid-19. Komunikasi publik oleh pemerintah perlu dioptimalkan dan dibenahi untuk menjaga modal sosial tersebut.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Presiden Joko Widodo saat menyampaikan bahwa dua warga Indonesia positif terinfeksi virus korona jenis baru (Covid-19) di Veranda Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/3/2020). Dua orang ini tertular dari warga negara Jepang yang menemui mereka di Depok, Jawa Barat. Ini merupakan kasus pertama warga Indonesia positif korona di wilayah Indonesia. Kedua orang ini juga sudah dirawat di ruang isolasi Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso.
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai langkah yang diambil pemerintah untuk mengatasi pandemi Covid-19 selama satu setengah tahun belum sepenuhnya mampu membawa Indonesia keluar dari krisis yang diakibatkan penyakit itu. Namun, publik masih punya keyakinan pemerintah akan mampu mengatasi pandemi. Keyakinan itu merupakan modal sosial yang bisa dimanfaatkan untuk mengendalikan Covid-19.
Hasil survei Litbang Kompas pada Juli ini menunjukkan, sebanyak 60,7 persen responden meyakini pemerintah akan mampu mengatasi pandemi. Hanya 36,4 persen responden yang tak yakin pemerintah akan berhasil mengendalikan Covid-19. Dilihat dari perjalanan penilaian publik setahun terakhir, tren angka keyakinan tersebut cenderung landai-turun.
Namun, angka keyakinan itu masih positif dan masih lebih tinggi daripada penilaian pada Oktober 2020. Saat itu, tingkat keyakinan hanya 55,6 persen dengan angka ketidakyakinan responden yang sama dengan saat ini. Artinya, kondisi tingkat keyakinan publik saat ini masih lebih baik.
Keyakinan publik ini perlu dijaga karena turut menentukan keberhasilan kebijakan pemerintah dalam mengatasi pandemi. Untuk itu, salah satu hal mendesak dilakukan adalah mengoptimalkan pengelolaan komunikasi pada publik.
Pasalnya, menurut pengajar komunikasi politik di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Gun Gun Heryanto, Selasa (27/7/2021), adanya kecenderungan penurunan tingkat keyakinan masyarakat pada pemerintah dalam mengendalikan pandemi, salah satunya terjadi karena pengelolaan komunikasi publik yang belum optimal. Ada kecenderungan narasi yang disampaikan para pejabat justru memantik perdebatan yang tidak perlu. Padahal, semestinya mereka menyampaikan pesan yang ajek dan saling menguatkan.
Kalau distrust meningkat, pemerintah akan butuh waktu lebih lama untuk mengatasi pandemi ini.
Komunikasi, kata Gun Gun, juga bisa dioptimalkan dengan menyusun basis data yang akurat. Saat ini basis data terkait pandemi Covid-19 masih perlu diperbaiki. Bahkan, berdasarkan sejumlah analisis di media sosial, sebagian masyarakat cenderung tidak percaya pada data pemerintah.
Jika beberapa hal itu tak segera diperbaiki, ketidakyakinan terhadap pemerintah akan meningkat. ”Kalau distrust meningkat, pemerintah akan butuh waktu lebih lama untuk mengatasi pandemi ini,” ujar Gun Gun.
(Dari kiri) Wakil Komisaris Utama Pertamina Budi Gunadi Sadikin, Seskab Pramono Anung, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto berbincang saat menunggu kedatangan Presiden Joko Widodo yang akan meresmikan implementasi energi baru terbarukan biodiesel 30 persen (B30) di SPBU Pertamina, Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan, Senin (23/12/2019). Presiden menyampaikan bahwa pemanfaatan B30 menjadi jawaban atas penggunaan bahan bakar fosil yang akan habis. Pemanfaatan B30 juga bisa mengurangi impor minyak bumi yang saat ini jumlahnya masih cukup tinggi.
Ia menambahkan, ketidakyakinan itu juga akan menimbulkan efek bola salju di ranah sosial politik yang rawan dimanfaatkan oleh penumpang gelap yang memiliki tujuan tertentu.
Pembenahan organisasi
Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini menilai, koordinasi penanganan pandemi cenderung tidak jelas. Organisasi terlalu gemuk. Pimpinan lembaga pengendalian Covid-19 pun beberapa kali berganti.
Terkait hal itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Agus Pambagio, menambahkan, kini juga diperlukan pembenahan dari aspek dasar hukum dalam pembuatan kebijakan penanganan pandemi Covid-19. ”Nama kebijakannya pun berubah-ubah sehingga membingungkan masyarakat,” katanya.
Kebijakan pembatasan mobilitas untuk mengatasi Covid-19 antara lain pernah menggunakan nama pembatasan sosial berskala besar (PSBB), PSBB transisi, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), PPKM mikro, PPKM darurat, serta sekarang PPKM level 2, 3, dan 4.
Pelaksanaan PPKM darurat dan PPKM level 2, 3, serta 4 diatur melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri. Menurut Agus, kebijakan itu seharusnya didasarkan pada peraturan yang lebih memiliki kekuatan hukum, seperti peraturan pemerintah.
Optimistis
Dengan kerja keras bersama komponen bangsa lainnya dari pusat hingga daerah, pemerintah optimistis mampu mengatasinya. Memang butuh waktu untuk menanganinya dengan usaha ekstra dan kepatuhan serta kedisiplinan yang tinggi seluruh bangsa.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung menuturkan, tantangan yang dihadapi pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 tidaklah ringan. Namun, pemerintah tetap berupaya dan bekerja keras. ”Dengan kerja keras bersama komponen bangsa lainnya dari pusat hingga daerah, pemerintah optimistis mampu mengatasinya. Memang butuh waktu untuk menanganinya dengan usaha ekstra dan kepatuhan serta kedisiplinan yang tinggi seluruh bangsa,” ujar Pramono.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung
Ditegaskan, selama ini pemerintah pusat dan daerah sebenarnya tidak pernah berhenti menyiapkan dan melaksanakan strategi untuk mengendalikan pandemi. Vaksinasi untuk mencapai kekebalan komunal terus digalakkan, begitu pula pengetesan dan pelacakan. Hasilnya, kasus di DKI Jakarta dan Bali, yang vaksinasinya sudah mencapai 72 persen dan 81 persen, kini mulai menurun.
Pemerintah juga mengupayakan vaksin Merah-Putih dapat digunakan tahun ini. Kampanye protokol kesehatan, seperti menggunakan masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan rajin mencuci tangan, terus dilakukan. Pemerintah terus mendorong masyarakat mengubah pola hidup untuk menyesuaikan diri dengan Covid-19.
Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Juri Ardiantoro menyadari adanya ketidakpuasan terhadap langkah pemerintah mengatasi pandemi. ”Hal itu dimaklumi karena faktanya pandemi Covid-19 masih menunjukkan angka penularan tinggi. Dan, saat yang sama, kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat berdampak pada masalah ekonomi,” kata Juri.
Terkait hal itu, Juri mengatakan, ”Pemerintah terus bekerja keras mengendalikan situasi dan memperbaiki kebijakan serta eksekusi lapangan sesuai dengan dinamika dan perkembangan pandemi ini.” (SYA/NIA/CAS/WKM/HAR)