Habis Edhy, Pinangki, Lalu Juliari Memohon Dibebaskan dengan Alasan Anak
Bekas Menteri Sosial Juliari Peter Batubara meminta majelis hakim Pengadilan Tipikor membebaskannya dari segala dakwaan. Permintaan itu disebut juga merupakan permohonan istri dan anaknya yang masih kecil.
Sebuah video viral di media sosial seusai bekas Menteri Sosial Juliari Peter Batubara membacakan nota pembelaan atau pleidoi dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (9/8/2021) kemarin. Di dalam video tersebut, Juliari pada intinya menegaskan komitmennya mencegah korupsi di lingkungan Kementerian Sosial. Bahkan, ia menyebut, korupsi bisa berdampak pada keluarga, terutama anak.
”Kamu jangan lupa lho, kalau kamu kena kasus korupsi, kasihan anak-istrimu, anak-suamimu. Mereka pasti keluar (rumah), malu. Anak-anak apalagi kalau masih kecil ke sekolah, di-bully sama teman-teman, pasti nangis,” ujar Juliari, seperti dalam video yang direkam pada 17 Desember 2019.
Namun, pernyataan Juliari itu paradoks dengan tindakannya. Ia malah tersandung dugaan kasus korupsi pengadaan paket sembako untuk bantuan sosial (bansos) warga terdampak Covid-19 di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Ia didakwa menerima suap Rp 32,48 miliar dari para mitra pengadaan bansos. Juliari seperti menelan ludahnya sendiri.
Jaksa pun menuntut Juliari dengan pidana 11 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan, serta hukuman tambahan berupa uang pengganti Rp 14,5 miliar.
Baca juga : Korupsi Saat Pandemi Covid-19, Bekas Mensos Juliari Dituntut 11 Tahun Penjara
Juliari juga menyampaikan bahwa permintaan agar majelis hakim membebaskan dari segala dakwaan juga menjadi permohonan istri dan kedua anaknya yang masih kecil.
Atas tuntutan jaksa tersebut, Juliari meminta kepada majelis hakim agar dibebaskan dari segala dakwaan. Alasannya, ia tak pernah memerintahkan jajarannya untuk mengutip fee dari pengadaan bansos sembako. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu malah menuding, permintaan fee merupakan inisiatif eks Pejabat Pembuat Komitmen Kemensos Matheus Joko Santoso dan eks Kuasa Pengguna Anggaran Kemensos Adi Wahyono.
Dalam pleidoinya, Juliari juga menyampaikan bahwa permintaan agar majelis hakim membebaskan dari segala dakwaan juga menjadi permohonan istri dan kedua anaknya yang masih kecil. ”Akhirilah penderitaan kami ini dengan membebaskan saya dari segala dakwaan,” katanya. (Kompas, 11/8/2021).
Vonis hakim, menurut Juliari, akan sangat berdampak pada anak-anaknya yang masih di kecil. Apalagi, perannya sangat dibutuhkan sebagai seorang ayah.
Alasan masih punya anak kecil juga pernah diungkapkan bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, terdakwa kasus korupsi ekspor benih lobster (benur), dalam pembacaan pleidoinya. Edhy merasa masih mempunyai tanggungan anak yang masih dalam proses pendidikan.
Bahkan, dalam perkara Pinangki Sirna Malasari, terpidana kasus suap pengurusan fatwa bebas Mahkamah Agung terhadap Joko S Tjandra, anak menjadi salah satu pertimbangan majelis hakim banding memangkas hukuman bekas jaksa itu. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memotong hukuman Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara, salah satunya karena pertimbangan masih memiliki anak berusia di bawah lima tahun yang masih membutuhkan perhatian ibunya.
Putusan terhadap Pinangki bertolak belakang dengan vonis yang harus dijalani Angelina Sondakh, bekas anggota Fraksi Partai Demokrat Dewan Perwakilan Rakyat. Angelina yang kala itu masih memiliki anak berusia lima tahun, dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor pada November 2013. Ia diputus bersalah karena terbukti menerima suap proyek pembangunan Wisma Atlet di Palembang, Sumatera Selatan.
Hukuman itu pun dikuatkan oleh majelis hakim banding. Bahkan, di tingkat kasasi, hukuman untuk Angelina diperberat menjadi 12 tahun penjara. Padahal kala itu, anak Angelina tidak ada yang mengasuh, karena suaminya, Adjie Massaid, sudah meninggal dunia.
Argumentasi tak logis
Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, berpendapat alasan anak ini bersifat sangat subyektif dan tidak relevan menjadi pertimbangan hukum. Sebab, tindakan pelaku berkaitan dengan tanggung jawab jabatannya sebagai pejabat publik bukan sebagai kepala keluarga.
”Ini, kan, konsekuensi jabatan publik, maka alasan pelaku semestinya berupa pernyataan atau alasan meringankan yang sifatnya kegiatan publik bukan pula berlindung keringanan ke ranah privat dalam hal ini membawa anak,” kata Azmi.
Seperti Juliari, menurut Azmi, argumentasi di pleidoinya seperti menyangkal kalimat yang pernah disampaikan sebelumnya (contradictio in terminis). Juliari sadar bahwa korupsi dapat membebani anaknya, tetapi nyatanya dilakukan juga.
”Dia menipu dirinya sendiri. Itu kejahatan yang paling jahat,” ucap Azmi.
Untuk itu, Azmi berharap, hakim mengesampingkan alasan yang bersifat subyektif itu. Dalam penjatuhan pemidanaan pada Juliari nanti, hakim mesti berpegang pada empat kategori. Pertama, nilai kerugian dalam kasus korupsi bansos merupakan kategori kerugian besar. Kedua, perbuatan pelaku berdampak luas terhadap masyarakat. Ketiga, kualitas peran terdakwa sangat strategis dalam kasus ini.
”Hakim harus tegas sebagai benteng keadilan untuk menjaga wibawa hukum,” ujar Azmi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana pun menyebut, faktor anak yang kerap menjadi dalih para koruptor untuk mendapat keringanan vonis hakim sangatlah mengada-ada. Pertimbangan meringankan yang aneh ini muncul karena tidak ada standar pertimbangan meringankan dari majelis hakim ketika menyidangkan terdakwa kasus korupsi.
Selain itu, kata Kurnia, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebenarnya sudah jelas menyebutkan bahwa hakim harus menggali nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat sebelum menjatuhkan putusan. Kemudian, di produk hukum, salah satunya putusan, itu juga harus mencerminkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.
”Jadi, kalau nanti hukuman Juliari diringankan dengan argumen yang sama dengan Pinangki, maka keadilan itu sudah mati di pengadilan,” ujar Kurnia.
Karena itu, ICW mendesak agar majelis hakim mengabaikan pleidoi Juliari maupun tuntutan jaksa penuntut umum KPK terhadap Juliari. Hakim sepatutnya menghukum Juliari dengan hukuman penjara seumur hidup.
Mereka lebih merasa menderita dibanding penderitaan Juliari dan keluarganya. Ada jutaan anak yang lebih menderita karena orangtuanya tak lagi bisa bekerja dan seharusnya mendapatkan bansos, tetapi justru dikorupsi.
”Putusan berat Juliari ini jadi satu hal yang penting karena saat ini Indonesia masih dilanda wabah Covid-19. Di waktu yang sama, ada anggaran yang cukup besar digelontorkan pemerintah. Kalau tidak ada punishment yang tegas kepada Juliari, bukan tidak mungkin ke depan akan berulang praktik korupsi bansos ini,” ucap Kurnia.
Jutaan anak menderita
Anggota tim advokasi korban bansos dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Ahmad Fauzi, sependapat dengan Kurnia soal vonis hukuman seumur hidup penjara bagi Juliari. Selain korupsi di tengah pandemi, tindakan Juliari juga telah merugikan jutaan masyarakat Indonesia.
Baca juga : Perberat Hukuman Koruptor Saat Pandemi Covid-19
”Mereka lebih merasa menderita dibanding penderitaan Juliari dan keluarganya. Ada jutaan anak yang lebih menderita karena orangtuanya tak lagi bisa bekerja dan seharusnya mendapatkan bansos, tetapi justru dikorupsi,” kata Fauzi.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menyampaikan, KPK optimistis surat tuntutan yang sudah disampaikan akan terbukti. Majelis hakim pun, disebutnya, akan mengabulkan amar tuntutan jaksa.
”Pembuktian sebagaimana uraian analisis yuridis jaksa sudah sesuai hasil fakta-fakta persidangan sehingga kami meyakini majelis hakim dalam pertimbangannya akan mengambil alih fakta hukum dimaksud,” ucap Ali.
Bantah terima uang
Pengacara Juliari, Maqdir Ismail, mengatakan, dasar pembelaan yang disampaikan oleh Juliari merupakan kebenaran yang didasari pada fakta persidangan. Selain itu, dasar pembelaan juga merupakan fakta persidangan sesuai bukti-bukti tertulis dan keterangan saksi.
Berdasarkan fakta persidangan, lanjut Maqdir, tidak ada bukti penerimaan uang sebagai suap atau gratifikasi oleh Juliari. Saksi yang dikatakan oleh saksi lain sebagai penerima untuk kepentingan Juliari pun membantah pernah menerima uang.
Publik tidak sepatutnya menghujat atau memberikan respons yang berlebihan. Seharusnya masyarakat memercayai penegakan hukum yang dilakukan dalam proses peradilan. Masyarakat sudah diwakili kepentingannya oleh penuntut umum sebagai aparatur negara.
”Para saksi yang hadir di persidangan menerangkan bahwa mereka tidak pernah memberikan uang untuk Pak Juliari,” ujar Maqdir.
Bahkan, dalam pikiran saksi-saksi tersebut, uang yang diserahkan kepada mantan pejabat pembuat komitmen (PPK) di Kemensos Matheus Joko Santoso adalah untuk Matheus sendiri dan tim pengadaan bansos, bukan untuk Juliari.
”Selain itu, tidak ada uang suap atau hasil uang suap yang disita dari Pak Juliari. Ini adalah fakta bahwa tidak ada uang yang diterima oleh Pak Juliari,” kata Maqdir.
Menurut Maqdir, seseorang yang tidak mengakui menerima uang dan didukung oleh saksi lain, harus dihormati haknya serta harus dianggap benar. Apalagi, saksi yang memberi keterangan tersebut adalah saksi yang tidak mempunyai kepentingan dengan parkara.
Selanjutnya, seseorang yang tak mengakui menerima uang dan dibenarkan oleh saksi, tidak boleh dianggap berbelit-belit. Sebab, jika Juliari dipaksa untuk mengakui sesuatu yang tidak ia lakukan dan dibenarkan oleh saksi, paksaan itu adalah bentuk kezaliman atas nama penegakan hukum. Begitu pula jika Juliari mengakui sesuatu yang tidak dia lakukan, itu sama artinya ia menzalimi dirinya sendiri.
Publik, kata Maqdir, tidak sepatutnya menghujat atau memberikan respons yang berlebihan. Seharusnya masyarakat memercayai penegakan hukum yang dilakukan dalam proses peradilan. Masyarakat sudah diwakili kepentingannya oleh penuntut umum sebagai aparatur negara. Adapun, bagi para pengamat yang tidak mengetahui detail dan fakta di persidangan, sebaiknya tidak memberi komentar berlebihan. Sebab, hal ini akan menyesatkan pendapat umum.
”Dalam negara hukum dan sebagai warga negara yang taat hukum, seharusnya proses hukum dihormati bukan dilecehkan. Jangan publik dipengaruhi untuk berpendapat bahwa proses hukum ini tidak benar, untuk kepentingan tertentu,” ucap Maqdir.