Rumah Dinas dan Kediaman Bupati Banjarnegara Digeledah KPK
Petugas berompi KPK menggeledah sejumlah lokasi di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, pada Senin-Selasa ini. Selain kantor pemkab, penggeledahan juga dilakukan di rumah dinas dan kediaman Bupati Budhi Sarwono.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menggeledah sejumlah tempat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, selama Senin hingga Selasa (9-10/8/2021). Tim penyidik menemukan sejumlah barang bukti yang diduga terkait dengan penerimaan gratifikasi dan korupsi pada pekerjaan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Banjarnegara tahun 2017-2018.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri, dihubungi dari Jakarta, Selasa (10/8/2021), mengatakan, KPK tengah menyidik dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Banjarnegara. Tindak pidana korupsi yang dimaksud terkait dengan pengadaan atau penyewaan serta pelaksanaan proyek infrastruktur pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Banjarnegara tahun 2017-2018. Dalam kegiatan tersebut, diduga pula terjadi penerimaan gratifikasi.
Untuk itu, tim penyidik KPK sejak Senin (9/8/2021) menggeledah sejumlah tempat, yakni kantor Dinas PUPR dan PT Bumi Rejo. Keduanya beralamat di Jalan DI Panjaitan, Banjarnegara. Diketahui, PT Bumi Rejo berada di kompleks kediaman pribadi Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono.
Penggeledahan dilanjutkan ke rumah dinas Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono di Jalan Dipayuda, Kelurahan Kutabanjarnegara, Kecamatan Banjarnegara. Penggeledahan juga dilakukan di kediaman bupati di Kelurahan Krandegan, Kecamatan Banjarnegara.
”Ditemukan antara lain berbagai dokumen dan barang elektronik yang diduga terkait dengan perkara. Bukti-bukti tersebut akan dianalisis lebih lanjut dan dilakukan penyitaan untuk melengkapi pembuktian berkas perkara dimaksud,” kata Ali.
Hari ini, tambah Ali, penggeledahan dilanjutkan ke rumah dinas Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono di Jalan Dipayuda, Kelurahan Kutabanjarnegara, Kecamatan Banjarnegara. Penggeledahan juga dilakukan di kediaman Budhi di Kelurahan Krandegan, Kecamatan Banjarnegara.
Namun, Ali tidak menjelaskan hasil penggeledahan. Ia juga belum mendapatkan informasi penangkapan dan penetapan tersangka dari proses penyidikan tersebut.
Menurut dia, hingga saat ini KPK masih mengumpulkan bukti-bukti terkait. Masyarakat diminta untuk memahami proses hukum dan memberikan waktu agar para penyidik menuntaskan tugasnya. Detail konstruksi perkara, alat bukti, dan pihak yang ditetapkan sebagai tersangka akan diumumkan kepada publik.
Sebelumnya, Budhi, yang berada di rumah dinasnya saat kantor Dinas PUPR dan PT Bumi Rejo digeledah, menyatakan dengan tegas enggan berkomentar atas peristiwa yang terjadi pada dua tempat tersebut. Ia akan berkomentar jika waktunya sudah tepat (Kompas.id, 9/8/2021).
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zaenur Rohman, mengatakan, kasus korupsi di daerah semakin menggurita setelah adanya pemilihan kepala daerah secara langsung. Pilkada langsung salah satunya berdampak memunculkan politik berbiaya tinggi, karena para kandidat harus meyakinkan para pemilih baik dengan cara yang sah maupun melanggar hukum dalam bentuk politik uang.
Selain menggunakan modal pribadi, sering kali kandidat kepala daerah dibiayai pihak yang berkepentingan untuk mengembangkan bisnis di daerah. Sejumlah kajian menunjukkan, calon kepala daerah harus mengeluarkan dana miliaran rupiah untuk membiayai kampanye.
”Politik berbiaya tinggi itu memicu upaya untuk mengembalikan dana tersebut. Pengembalian modal awal para kepala daerah tidak cukup dengan penghasilan yang sah ketika menjabat. Oleh karena itu, mereka cenderung menggunakan segala cara untuk mengembalikan modalnya, termasuk dengan korupsi,” kata Zaenur.
Berdasarkan sejumlah kasus yang pernah terjadi, setidaknya terdapat tiga modus yang kerap dilakukan kepala daerah. Pertama, korupsi pengadaan barang dan jasa dengan mengambil porsi tertentu untuk keuntungan pribadi. Selain itu, kepala daerah bisa mengintervensi unit layanan pengadaan untuk memilih perusahaan terkait dengan dirinya untuk mengerjakan proyek tertentu.
Modus lain, dengan memperjualbelikan perizinan di daerah. Selain itu, kepala daerah juga beberapa kali berusaha untuk mengembalikan modal politiknya dengan memperjualbelikan jabatan di lingkungan pemerintah daerah.
Politik berbiaya tinggi itu memicu upaya untuk mengembalikan dana tersebut. Pengembalian modal awal para kepala daerah tidak cukup dengan penghasilan yang sah ketika menjabat. Oleh karena itu, mereka cenderung menggunakan segala cara untuk mengembalikan modalnya, termasuk dengan korupsi.
Zaenur menilai, sejumlah kasus dengan tiga modus itu terus berulang karena sistem politik di Indonesia masih menyebabkan terjadinya politik biaya tinggi. Oleh karena itu, dibutuhkan pengawasan dari aparat pengawas internal pemerintah, Badan Pemeriksa Keuangan, KPK, dan penegak hukum lain secara intens. Sejumlah lembaga itu harus konsisten bergerak mulai dari mencegah hingga menindak setiap tindak pidana korupsi.
Selain itu, Zaenur juga menekankan pentingnya peran masyarakat untuk menolak politik uang. Selama suara masyarakat masih bisa dibeli, potensi kepala daerah untuk melakukan tindak pidana korupsi masih akan terbuka.
”Dalam konteks Banjarnegara, kita masih akan menunggu penjelasan KPK. Sepertinya KPK melihat ada kemungkinan konflik kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi,” ujarnya.