Tim Advokasi Korban Korupsi Bansos Berharap MA Beri Solusi
Tim Advokasi Korban Korupsi Korban Bansos Kemensos datangi Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pengadilan Tipikor Jakarta. Mereka koreksi putusan penetapan Tipikor yang tolak perkara penggabungan ganti rugi korupsi bansos.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Tim advokasi korban korupsi berharap Mahkamah Agung mengoreksi putusan penetapan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menolak permohonan penggabungan perkara ganti rugi korban bansos Kemensos. MA diharapkan bisa memberikan solusi hukum atas penetapan majelis hakim yang dianggap bertentangan dengan Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana dan Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi atau UNCAC.
Tim Advokasi Korban Korupsi Korban Bansos Kemensos, Senin (9/8/2021), mendatangi Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PSTP) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat/Pengadilan Tipikor Jakarta. Mereka mendaftarkan gugatan kasasi atas penetapan majelis hakim Pengadilan Tipikor. Sebelumnya, majelis hakim menolak permohonan penggabungan ganti rugi korban korupsi bansos dalam perkara korupsi dengan terdakwa bekas Mensos Juliari Peter Batubara.
Dalam pertimbangannya, majelis berpendapat, gugatan itu salah alamat. Sesuai dengan aturan Kitab Hukum Acara Perdata atau Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR), gugatan ganti rugi diajukan sesuai dengan domisili terdakwa yaitu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Kuasa hukum tim advokasi korban bansos Kemensos Ahmad Fauzi mengatakan, terhadap penetapan majelis hakim tidak bisa diajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi. Terhadap penetapan itu, hanya bisa diajukan upaya hukum kasasi ke MA. Dalam memori kasasi yang didaftarkan secara resmi, Senin, ada sejumlah poin yang dijadikan dasar upaya kasasi.
Pertama, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dalam persidangan terdakwa Juliari Batubara dianggap salah menerapkan hukum. Majelis tidak memuat hukum yang cukup saat membuat pertimbangan. Akibatnya, hakim menolak permohonan kasasi dengan melihat perkara penggabungan gugatan ganti rugi sebagai perkara perdata murni. Hakim dianggap mengabaikan ketentuan dalam Pasal 98 KUHAP.
Baca Juga: Hakim Perkara Korupsi Bansos Diharap Lebih Progresif
Pasal 98 KUHAP mengatur tentang dasar dakwaan dalam perkara pidana yang menimbulkan kerugian bagi orang lain. Hakim ketua sidang atas permintaan pemohon dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian terhadap perkara pidana. Permintaan dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.
“Hakim menggunakan perspektif perdata murni, di mana gugatan tidak diterima karena tidak sesuai dengan domisili terdakwa. Padahal, di Pasal 101 KUHAP sudah jelas jika hukum acara yang berlaku adalah hukum acara pidana” (Kuasa hukum tim advokasi korban bansos Kemensos Ahmad Fauzi)
Selain itu, juga aturan di Pasal 35 Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Melawan Korupsi (UNCAC). Pasal 35 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Melawan Korupsi menegaskan bahwa negara wajib untuk menjamin adanya hak mengajukan tuntutan hukum terhadap pelaku kejahatan atas kerugian untuk memperoleh kompensasi.
“Hakim menggunakan perspektif perdata murni, di mana gugatan tidak diterima karena tidak sesuai dengan domisili terdakwa. Padahal, di Pasal 101 KUHAP sudah jelas jika hukum acara yang berlaku adalah hukum acara pidana,” kata Fauzi.
Fauzi menyayangkan salahnya penerapan hukum dalam perkara tersebut. Padahal, penggabungan ganti rugi dalam perkara pidana bukanlah hal baru bagi Indonesia. Sudah banyak putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan penggabungan gugatan ganti rugi dalam perkara pidana umum. Sedangkan untuk perkara pidana khusus, atau korupsi, permohonan penggabungan ganti rugi baru pertama kali dilakukan di Indonesia.
“Setidaknya, sudah ada tiga putusan pengadilan yang kami temui, di mana domisili tergugat atau domisi terdakwa berbeda dengan pengadilan yang sedang mengadili, tetapi semua perkara itu diterima permohonannya, bahkan dikabulkan gugatannya. Kami sayangkan hakim tidak cermat melihat UU,” terang Fauzi lagi.
MA diharapkan dapat memberikan terobosan hukum dalam perkara tersebut. Apabila permohonan dikabulkan oleh MA, perkara dapat dibuka dikembali. MA dapat memerintahkan pengadilan, atau majelis hakim yang mengadili untuk membuka kembali perkara permohonan penggabungan gugatan ganti rugi dengan perkara pidana korupsi. Namun, jika kemudian perkara sudah diputus, permohonan bisa diperiksa di tingkat banding. Sebab, majelis hakim banding masih berwenang memeriksa fakta.
Tonggak bersejarah
Charlie Albajili dari LBH Jakarta menambahkan, UU Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peraturan Peradilan Perulangan mengatur tentang kewenangan hakim untuk memeriksa kembali penggabungan perkara yang dimohonkan. MA dapat memerintahkan perkara diperiksa kembali di Pengadilan Tipikor, atau jika perkaranya sudah diperiksa di tingkat banding, bisa digabungkan di Pengadilan Tinggi.
“Harus ada solusi hukum yang diberikan MA untuk memberikan keadilan bagi para pencari keadilan. Jangan sampai, para pencari keadilan dirugikan dalam perkara ini,” kata Charlie.
“Jika dikabulkan, ini akan menjadi tonggak bersejarah negara untuk merealisasikan hak korban. Tinggal keberanian dari majelis hakim. Kapan lagi bisa melihat kerugian yang begitu nyata di kasus korupsi, dan menjadi sarana publik untuk menggugat koruptor” (Pengacara LBH Jakarta Charlie Albajili)
Charlie menjelaskan, upaya penggabungan perkara ganti rugi korban korupsi bansos Kemensos dilakukan karena mekanisme itu yang memudahkan korban. Jika menggunakan mekanisme gugatan perdata, dibutuhkan waktu 1-1,5 tahun untuk pemeriksaan perkara. Biaya yang dibutuhkan sangat besar dan membutuhkan waktu yang lama. Padahal, nominal kerugian yang diajukan korban dinilai sangat kecil yaitu Rp 16,2 juta per korban. Adapun, dugaan suap yang diterima Juliari Batubara senilai Rp 14,7 miliar.
“Harapan kami, MA bisa memperbaiki kesalahan penerapan hukum yang dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta,” kata Charlie.
Apabila permohonan penggabungan perkara ganti rugi dengan pidana korupsi tidak dikabulkan, menurut Charlie, dampaknya sangat besar bagi penegakan hukum dan pemulihan korban korupsi. Selama ini, belum ada korban korupsi yang bisa menggugat koruptor melalui mekanisme Pasal 98 KUHAP. Namun, untuk perkara ini, dianggap lebih mudah mencari hubungan kausalitas antara tindakan korup dengan dampak yang dirasakan langsung oleh korban.
“Jika dikabulkan, ini akan menjadi tonggak bersejarah negara untuk merealisasikan hak korban. Tinggal keberanian dari majelis hakim. Kapan lagi bisa melihat kerugian yang begitu nyata di kasus korupsi, dan menjadi sarana publik untuk menggugat koruptor,” kata Charlie.