Bintang Mahaputera Adipradana dan Warisan Nilai-nilai Hakim Artidjo
Sebagai hakim agung, publik mengenang bagaimana almarhum Artidjo Alkostar memvonis berat sejumlah koruptor. Pemerintah berniat menganugerahi almarhum dengan bintang Mahaputera Adipradana, 12 Agustus mendatang.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
Pemerintah berencana menganugerahi Bintang Mahaputera Adipradana kepada mantan hakim agung Artidjo Alkostar yang berpulang pada 28 Februari 2021, pada 12 Agustus mendatang. Anugerah ini menunjukkan apresiasi pemerintah terhadap sosok pegiat hukum yang kerap dijuluki ”algojo koruptor”. Namun, di sisi lain rencana pemberian anugerah tersebut masih menyisakan pertanyaan mengenai komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD dalam diskusi peluncuran buku berjudul Negara Bangsa di Simpang Jalan, karya Budiman Tanuredjo, Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas, Sabtu (7/8/2021), mengatakan, dirinya mencatat ada 10 kali nama Artidjo disebut di dalam buku tersebut. Hal itu menunjukkan apresiasi terhadap mantan hakim agung tersebut begitu besar.
”Mungkin saya ingin menjadi orang pertama yang mengumumkan melalui forum ini. Artidjo Alkostar itu nanti pada 12 Agustus akan dianugerahi Bintang Mahaputera Adipradana oleh negara karena pujian seperti yang ditulis Mas Budiman ini,” ucapnya.
Bintang Mahaputera Adipradana merupakan Bintang Mahaputera kelas dua. Adapun, Bintang Mahaputera hanya setingkat di bawah Bintang Republik Indonesia. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Bintang Mahaputera diberikan kepada orang yang berjasa luar biasa di berbagai bidang yang bermanfaat bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa dan negara.
Selain itu, juga pengabdian dan pengorbanannya di bidang sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan beberapa bidang lain yang besar manfaatnya bagi bangsa dan negara, dan atau darma bakti dan jasanya diakui secara luas di tingkat nasional dan internasional.
Rencana pemberian Bintang Mahaputera Adipradana itu mendapat respons positif dari orang-orang yang pernah mengenal Artidjo. Namun, pemberian itu diharapkan tidak menjadi simbol dan gimik politik semata. Sosok Artidjo yang berkomitmen tegas terhadap pemberantasan korupsi dan memberikan rasa keadilan publik melalui putusan-putusannya yang zero tolerance terhadap korupsi juga merupakan pesan tersendiri yang maknanya diharapkan tidak luruh selepas Bintang Mahaputera Adipradana itu dianugerahkan.
Selama kiprahnya sebagai hakim agung, publik mengenang bagaimana Artidjo memperberat vonis sejumlah koruptor di tingkat kasasi. Sebut saja, antara lain, politikus Partai Demokrat Angelina Sondakh, bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, bekas Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq, bekas Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, bekas Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, bekas Kakorlantas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo, bekas Gubernur Riau Annas Maamun, pengacara OC Kaligis, hingga bekas bintara Polri di Papua Labora Sitorus. Sensitivitas Artidjo pada rasa keadilan publik tidak diragukan lagi.
Artidjo Alkostar meninggal dunia pada 28 Februari 2021. Ia telah lama mengidap penyakit jantung dan paru-paru. Dua hari sebelum meninggal, Artidjo diketahui masih ”ngantor” di Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jabatan terakhir yang dia emban setelah pensiun dari hakim agung.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), yang juga mantan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki, saat dihubungi, Minggu (8/8/2021), mengatakan, dirinya telah lama mengenal Artidjo, saat almarhum menjadi seniornya di FH UII, hingga ia menjadi dosen, aktivis hukum, dan akhirnya Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA). Sepanjang pergaulannya dengan Artidjo, ia mengenal lelaki kelahiran Situbondo, Jawa Timur, 22 Mei 1948, itu sebagai sosok yang sangat jauh dari kesan formalistik dan simbol semata.
Rencana pemberian Bintang Mahaputera Adipradana kepada Artidjo itu pun dipandang sebagai suatu hal yang positif. Sebagai pribadi dan alumnus FH UII, ia melihat anugerah itu memang layak disematkan kepada Artidjo. Namun, sejauh pengalamannya dengan Artidjo, seandainya Artidjo masih hidup, seniornya itu kemungkinan akan menolak penghargaan itu.
”Pernah suatu ketika, UII akan memberikan beliau penghargaan. Itu ditolaknya. Padahal, itu penghargaan dari almamaternya sendiri. Ketika itu, UII ingin memberikan penghargaan kepada alumninya yang menonjol peranannya di bidang hukum. Pak Artidjo waktu itu hakim agung. Tetapi, itu dia menolaknya. Jadi, seandainya beliau masih hidup, saya menduga keras penghargaan itu juga akan dia tolak. Karena karakter kepribadiannya yang subtansial, bukan formalistik,” kata Ketua KY periode 2013-2015 ini.
Senada dengan karakter Artidjo yang tidak suka formalitas, Suparman berharap pemberian anugerah Bintang Mahaputera Adipradana itu pun diikuti dengan tindakan-tindakan yang lebih substansial oleh negara, termasuk di dalamnya pemegang kekuasaan di eksekutif, legislastif, dan yudikatif. Banyak teladan dari Artidjo yang patut dilembagakan, terutama di MA.
Tidak perlu waktu 10 tahun, legacy (warisan) Artidjo dalam penegakan hukum yang tegas pada koruptor itu luntur. Ini kan menunjukkan jejak baiknya di MA tidak membekas bagi koleganya sendiri. Ini fatal dan malapetaka di dunia hukum kita.
Sudah banyak diketahui bagaimana Artidjo naik angkutan umum untuk pergi ke kantor dan tidak menikmati rumah dinas saat ia menjadi hakim agung. Publik juga mengetahui konsistensinya dalam pemberantasan korupsi tidak dapat ditawar, termasuk sikap teguhnya menegakkan kode etik hakim. Teladan dan nilai-nilai itu, menurut Suparman, jauh lebih substansial dan penting terus ditumbuhkan di lingkungan pemerintah, khususnya penegak hukum dan peradilan.
”Korting” hukuman kepada koruptor yang belakangan kerap terjadi, sayangnya menunjukkan semangat dan nilai-nilai Artidjo itu bahkan tidak membekas, atau tidak dilanjutkan penerusnya. ”Tidak perlu waktu 10 tahun, legacy (warisan) Artidjo dalam penegakan hukum yang tegas pada koruptor itu luntur. Ini kan menunjukkan jejak baiknya di MA tidak membekas bagi koleganya sendiri. Ini fatal dan malapetaka di dunia hukum kita,” kata Suparman.
Apa yang terjadi malah bertolak belakang dengan semangat yang ditunjukkan oleh Artidjo. Setelah penganugerahan Bintang Mahaputera Adipradana, dikhawatirkan, Artidjo hanya menjadi orang yang dikenang, tetapi nilai-nilainya tidak dilembagakan.
”Kerap kali bangsa kita hanya cukup mengenang seseorang. Orang mengenang Baharuddin Lopa, Yap Thiam Hien, dan Hoegeng. Hanya sebatas mengenang, tetapi tidak diidentifikasi nilai-nilai baik itu oleh penerusnya, dan malah menunjukkan kemunduran atau kebalikan dari apa yang dilakukan oleh mereka,” kata Suparman.
Sebagai kolega dan yunior Artidjo, Suparman sangat senang dengan rencana pemberian Bintang Mahaputera Adiprana kepada Artidjo. Lebih dari itu, ia pun berharap ada teladan kebijakan dan sikap, baik dari eksekutif, legisaltif, maupun yudikatif, yang mencerminkan pula nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Artidjo.
Pelembagaan sistematis
Rencana pemberian Bintang Mahaputera Adipradana kepada Artidjo, menurut Deputi Program Transparency International Indonesia (TII) Wawan Heru Suyatmiko, sudah selayaknya dilakukan pemerintah. Dari kacamata luas, rencana itu sangat positif dan dapat menjadi penyemangat bagi aparat penegak hukum dan insan peradilan untuk terus menggelorakan semangat pemberantasan korupsi.
Warisan Artidjo itu juga idealnya menjadi contoh bagi hakim-hakim lainnya. Di dalam situasi saat ini, di mana banyak hukuman koruptor diringankan, pengadilan mesti mengingat kembali contoh Artidjo. Sebagai hakim yang merupakan profesi mulia, dan menjadi ”wakil Tuhan” di muka bumi, para hakim hendaknya kembali pada tujuan memberikan rasa keadilan di masyarakat.
”Memberikan rasa keadilan di masyarakat prinsipnya jelas, yakni kalau hakim memberikan putusan sesuai UU yang berlaku, bukan memberikan diskon atau korting hukuman,” katanya.
Rencana anugerah Bintang Mahaputera Adipradana kepada Artidjo dipandang sebagai momentum untuk mengingatkan kembali nilai-nilai dan warisan aktivis hukum itu kepada aparat penegak hukum. Pemerintah juga diharapkan membangun sistem yang memungkinkan lahirnya orang-orang dengan komitmen penegakan hukum dan pemberantasan korupsi kuat seperti Artidjo.
”Idealnya dibangun sistem integritas yang serius, terukur, yang berhubungan juga dengan pemberantasan korupsi yang konsisten. Hal ini dapat dimulai dari mekanisme rekrutmen penegak hukum kita. Sistem rekrutmen harus diperbaiki, sehingga tidak ada lagi pungutan liar (pungli) untuk menjadi polisi, jaksa, dan hakim. Reformasi birokrasi, serta seruan Indonesia Maju, sumber daya manusia unggul jangan hanya menjadi jargon,” katanya.