Khawatir Audit BPK, Serapan Anggaran Daerah Masih Rendah
Pemerintah pusat telah berkali-kali meminta pemerintah daerah mempercepat serapan anggaran, terutama untuk penanganan pandemi Covid-19. Kepala daerah diharap tak khawatir karena sudah ada jaminan dari penegak hukum.
JAKARTA, KOMPAS — Kekhawatiran terhadap hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan membuat serapan anggaran daerah masih rendah hingga paruh pertama 2021. Komisi II DPR mendesak Kementerian Dalam Negeri mengatasi persoalan itu dengan membuat semacam jaminan bagi kepala daerah agar dapat menyalurkan anggaran tanpa khawatir pada audit BPK. Jaminan itu terutama dibutuhkan untuk penyaluran anggaran jaring pengaman sosial dan penanganan pandemi Covid-19.
Data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menunjukkan, hingga 15 Juli 2021, realisasi belanja anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) pemerintah provinsi baru 35,18 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan serapan anggaran pada 31 Juli 2020 yang mencapai 37,90 persen. Sementara itu, untuk kabupaten dan kota, realisasi belanja APBD per 15 Juli 2021 baru di angka 32,11 persen. Jumlah tersebut lebih rendah dibandingkan pada 31 Juli 2020 yang mencapai 37,50 persen.
Ketua Bidang Pemerintahan dan Pendayagunaan Aparatur Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia Nikson Nababan, yang juga Bupati Tapanuli Utara, Jumat (6/8/2021), saat dihubungi dari Jakarta, mengakui, ada kekhawatiran dari pemerintah daerah (pemda), jika nanti ada temuan dari BPK terkait penggunaan anggaran daerah.
Ia menegaskan, yang terpenting penggunaan anggaran adalah tepat untuk penanganan pandemi Covid-19, bukan untuk dikorupsi. Karena itu, harus ada pengecekan dari inspektorat.
”Kalau anggaran di luar Covid-19 untuk hal lain, memang juga ada keraguan itu (temuan BPK). Namun, kita juga harus berani membuat kebijakan (diskresi). Itu diatur regulasi. Yang penting, tidak keluar penggunaan dan hasilnya salah dari perencanaan,” kata Nikson.
Nikson mengungkapkan, realokasi anggaran untuk penanganan Covid-19 di antaranya digunakan untuk perbaikan fasilitas rumah sakit umum daerah (RSUD), pengadaan barang dan jasa pendukung penanganan Covid-19, dan penegakan disiplin protokol kesehatan. Ia meyakini, dana refocusing untuk penanganan Covid-19 bisa terserap dengan cepat.
Pantauan Komisi II DPR, pemda takut mencairkan anggaran karena trauma dengan hasil audit BPK. Kekhawatiran itu mengakibatkan upaya refocusing dan realokasi anggaran untuk penanganan pandemi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luqman Hakim mengatakan, pemerintah sebenarnya sudah berkali-kali melakukan refocusing anggaran untuk merespons lonjakan kasus Covid-19. Pemerintah pusat juga telah meminta pemda untuk secepatnya melakukan refocusing anggaran, terutama untuk pengadaan anggaran bantuan sosial (bansos) bagi masyarakat terdampak Covid-19.
”Namun, refocusing dan belanja bansos di daerah-daerah berjalan lamban. Kenapa? Karena banyak daerah trauma atas realisasi anggaran bansos 2020 yang mendatangkan masalah pada saat BPK melakukan audit,” sebutnya.
Luqman meminta pemda agar tidak ragu melakukan refocusing anggaran sehingga tidak ada lagi program penanganan pandemi yang terhambat. Kemendagri juga diminta mencari terobosan agar pemda tidak terbebani kekhawatiran akut yang mengganggu refocucing dan realisasi anggaran bansos.
”Ingat, tracing dan testing untuk pengendalian Covid-19 juga membutuhkan dana tidak sedikit di setiap daerah. Tanpa jaminan rasa aman kepada kepala daerah, sulit berharap daerah-daerah bisa bergerak cepat dalam situasi saat ini,” kata Luqman.
Koridor utamanya jangan memanfaatkan anggaran untuk kepentingan pribadi dan kelompok sehingga berujung pada tindakan korupsi.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus mengatakan, kekhawatiran kepala daerah dalam mencairkan anggaran merupakan suatu hal yang dilematis. Di satu sisi, anggaran itu perlu segera digunakan untuk menangani dampak pandemi yang dirasakan masyarakat, tetapi di sisi lain berpotensi menjadi temuan BPK sehingga mengakibatkan masalah hukum bagi kepala daerah.
Oleh sebab itu, ia meminta agar Kemendagri memberikan petunjuk teknis yang jelas dalam menggunakan anggaran-anggaran itu. Arahan dan pendampingan perlu diberikan kepada kepala daerah secara rutin agar mampu memenuhi target-target realisasi anggaran yang telah ditetapkan. Aparat penegak hukum dan lembaga audit perlu dilibatkan untuk memastikan kepala daerah menggunakan anggaran sesuai ketentuan yang berlaku. ”Koridor utamanya jangan memanfaatkan anggaran untuk kepentingan pribadi dan kelompok sehingga berujung pada tindakan korupsi,” kata Guspardi.
Audit BPK
Merujuk pada ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2020 yang diterbitkan oleh BPK, memang ditemui sejumlah permasalahan. Berdasarkan hasil pemeriksaan di 107 pemerintah daerah terkait aktivitas rasionalisasi dan penggunaan anggaran, terdapat 32 pemda melaksanakan rasionalisasi pendapatan daerah dengan tidak mempertimbangkan ketentuan penyesuaian target pendapatan daerah.
Kemudian, 59 pemda tidak melaksanakan rasionalisasi belanja daerah sesuai dengan ketentuan. Sebanyak 18 pemda belum mengalokasikan seluruh hasil rasionalisasi pendapatan dan belanja untuk kegiatan refocusing dan realokasi, 26 pemda menganggarkan kegiatan yang tidak berkaitan dengan penanganan pandemi Covid-19, serta 25 pemda belum memiliki strategi dan kebijakan penanganan dampak ekonomi daerah yang tepat.
Dari segi kepatuhan terhadap ketentuan pengadaan barang dan jasa, permasalahan perencanaan dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa terjadi pada 43 pemda. Masalah yang ditemukan antara tidak sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan dan terdapat pengadaan barang yang tidak terkait langsung dengan kegiatan penanganan pandemi Covid-19.
Selanjutnya permasalahan atas pelaksanaan pengadaan barang dan jasa terjadi pada 91 pemda. Sementara permasalahan atas pembayaran pengadaan barang dan jasa terjadi pada 61 pemda, serta permasalahan penatausahaan, distribusi, serta pemanfaatan aset terjadi pada 52 pemda.
Permasalahan itu mengakibatkan, antara lain pengadaan barang dan jasa tidak sesuai dengan kebutuhan barang untuk penanganan Covid-19, berindikasi dan berpotensi merugikan keuangan daerah, dan aset tetap dan persediaan barang berpotensi hilang dan tidak disajikan dalam laporan keuangan.
Kekhawatiran pemda untuk mencairkan anggaran karena trauma atas hasil audit dan temuan BPK itu memang menjadi persoalan besar. Namun, bukan berarti hal itu tidak dapat diatasi.
Oleh sebab itu, BPK merekomendasikan memerintahkan kepala organisasi perangkat daerah (OPD) terkait menyusun identifikasi kebutuhan barang dan jasa dalam penanganan pandemi Covid-19. Selanjutnya, kepala OPD dan Pejabat Pembuat Komitmen untuk lebih optimal dalam mengendalikan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dalam keadaan darurat sesuai dengan ketentuan.
Penyederhanaan pengadaan
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Fitra Misbah Hasan mengatakan, kekhawatiran pemda untuk mencairkan anggaran karena trauma atas hasil audit dan temuan BPK itu memang menjadi persoalan besar. Namun, bukan berarti hal itu tidak dapat diatasi.
”Hal itu bisa diatasi dengan semacam konsultasi ke BPK atau Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP), atau perwakilan BPK di daerah,” katanya.
Apalagi, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa (LKPP) sudah menyederhanakan pengadaan barang dan jasa di masa pandemi. Menurut Misbah, dengan penyederhanaan ketentuan itu, seharusnya pemda tidak perlu khawatir jika regulasinya jelas.
”Jangan pula ketakutan pada audit BPK itu menjadi alibi bagi pemda untuk berkerja lebih optimal. Sebab, pada masa pandemi seperti ini tidak bisa disikapi dengan kerja biasa-biasa saja, melainkan harus kerja cepat,” ujarnya.
Di satu sisi, birokrasi di daerah dinilai masih banyak yang lamban. Belajar dari pengalaman terdahulu, banyak pemda baru mencairkan anggaran di akhir tahun. Jika kebiasaan itu masih dilakukan, pemda berarti belum memanfaatkan mekanisme pengadaan barang/jasa yang disederhanakan saat kondisi krisis.
Kalau sudah ada jaminan, kepala daerah tidak perlu khawatir.
Sementara dihubungi secara terpisah, Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Mochamad Ardian Noervianto mengakui, beberapa daerah khawatir dalam menggunakan anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19. Karena itu, dalam kondisi mendesak, perlu persamaan persepsi dari auditor, tidak hanya BPK. Dalam kondisi luar biasa, perlu dilakukan penanganan secara khusus.
Ardian menegaskan, aparat penegak hukum sudah memantau dan memiliki persepsi yang sama dalam penanganan pandemi Covid-19. Setiap pemimpin aparat penegak hukum sudah memberikan jaminan tidak ada kriminalisasi, asalkan tidak ada niat jahat untuk korupsi. ”Kalau sudah ada jaminan, kepala daerah tidak perlu khawatir,” kata Ardian.