Kejaksaan Akhirnya Eksekusi Pinangki ke Lembaga Pemasyarakatan
Setelah menuai kritik publik, Kejaksaan akhirnya mengeksekusi hukuman penjara untuk jaksa Pinangki Sirna Malasari, terpidana kasus suap pengurusan fatwa bebas Joko Tjandra. Ia dijebloskan ke Lapas Kelas II A Tangerang.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah menuai kritik dari berbagai kalangan, Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat akhirnya mengeksekusi hukuman penjara untuk jaksa Pinangki Sirna Malasari, terpidana kasus suap pengurusan fatwa bebas untuk Joko Tjandra. Ia dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Tangerang, Senin (2/8/2021).
Eksekusi atas Pinangki ini dibenarkan oleh Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jakarta Pusat Riono Budisantoso. Ia mengatakan, jaksa eksekutor pada Kejari Jakarta Pusat telah melaksanakan eksekusi pidana badan terhadap Pinangki pada Senin siang.
”Ia dimasukkan ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Tangerang yang semula bernama Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) Wanita dan Anak Kelas II B Tangerang,” kata Riono. Pinangki akan mendekam di lapas tersebut untuk menjalani hukuman 4 tahun penjara yang diputuskan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Seperti diketahui, sebelum kejaksaan akhirnya mengeksekusi Pinangki, kecaman terhadap kejaksaan muncul dari berbagai kalangan. Ini setelah terungkap Pinangki belum juga dieksekusi ke lapas dan masih ditahan di Rumah Tahanan Kejaksaan Agung sekalipun putusan atas Pinangki telah berkekuatan hukum tetap, awal Juli lalu. Menjawab kritik publik tersebut, Riono sebelumnya menyampaikan, ada problem teknis dan administrasi yang membuat eksekusi tak segera dilakukan. Problem dimaksud, jaksa penuntut umum menanti kepastian langkah hukum Pinangki terhadap putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, apakah akan kasasi atau tidak.
Salah satu kritik itu muncul dari Komisi Kejaksaan. ”Kasus ini (Pinangki) sedari awal telah mendapat perhatian publik dan sudah menimbulkan persepsi negatif. Jadi, kasus ini jangan dipermainkan karena rasa keadilan publik sudah tercederai. Rasa kepercayaan publik terhadap kejaksaan turun. Lantas, mau manuver apa lagi?” kata anggota Komisi Kejaksaan, Bhatara Ibnu Reza.
Menurut dia, jaksa seharusnya bisa mempercepat proses eksekusi hukuman Pinangki. Apalagi, perkara tersebut disidangkan di Jakarta. Dengan demikian, prosedur formal, seperti surat-menyurat, seharusnya tidak memakan waktu lama. Selain itu, kasus Pinangki yang menarik perhatian publik juga menjadi dasar kejaksaan untuk segera mengeksekusi Pinangki.
Bhatara mengingatkan, pihaknya sejak awal telah mengawasi kasus terkait pelarian Joko Tjandra, termasuk mempertanyakan rendahnya tuntutan yang diajukan jaksa, khususnya terhadap Pinangki yang merupakan seorang jaksa dan Joko Tjandra yang pernah menjadi buron. Kondisi-kondisi itu seharusnya menjadi pemberat tuntutan. ”Kasus ini tidak bisa dianggap kecil. Ini dampaknya besar bagi penegakan hukum ke depan. Bayangkan saja kalau ini dipermainkan, publik mau percaya kepada siapa lagi?” ujar Bhatara.
Ia pun memastikan bahwa Komisi Kejaksaan akan terus mengawasi kejaksaan dan terbuka terhadap pengaduan bagi masyarakat.
Adapun peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, berpandangan, lambatnya proses eksekusi terhadap putusan atas Pinangki menggambarkan ketidakseriusan kejaksaan dalam menangani perkara tersebut. Hal itu seolah melengkapi rentetan kejanggalan yang terjadi sejak awal, mulai dari penyelidikan dan penyidikan yang penuh masalah, tuntutan yang rendah, vonis banding yang dikorting, hingga eksekusi yang lambat.
Di sisi lain, kejaksaan dinilai tidak peka. Padahal, kasus tersebut sedari awal telah disorot oleh publik. Jika ada sedikit kejanggalan atau keanehan, publik pun akan bersuara atau mengkritisi.
Putusan Joko Tjandra
Selain mengkritisi penanganan eksekusi terhadap Pinangki, Bhatara juga meminta agar jaksa penuntut umum dalam perkara dengan terdakwa Joko Tjandra menempuh upaya hukum kasasi. Seperti diketahui, majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengurangi hukuman penjara Joko Tjandra dari semula 4,5 tahun menjadi 3,5 tahun.
Upaya hukum kasasi mestinya dilakukan karena putusan majelis hakim di tingkat banding lebih rendah daripada tuntutan jaksa. Sebelumnya, jaksa menuntut Joko Tjandra dengan pidana 4 tahun penjara.
Hal senada diungkapkan Kurnia. Menurut Kurnia, secara normatif, jaksa sudah sepatutnya menempuh upaya hukum kasasi. Meski demikian, beberapa peristiwa yang terjadi memperlihatkan kejaksaan tampak tidak berupaya maksimal untuk menjerat para terdakwa. ”Jadi, kami tidak yakin kejaksaan akan mengajukan kasasi,” ujar Kurnia.
Kuasa hukum Joko Tjandra, Soesilo Aribowo, ketika dikonfirmasi mengatakan, terhadap putusan di tingkat banding tersebut, Joko Tjandra belum memutuskan langkah selanjutnya. ”Masih pikir-pikir,” kata Soesilo.