Pertimbangan Hakim Kurangi Hukuman Joko Tjandra Tak Tepat
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengurangi satu tahun putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta untuk terdakwa Joko Tjandra. Majelis bandingnya sama dengan majelis yang mengurangi hukuman jaksa Pinangki sebelumnya.
Oleh
Susana Rita
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertimbangan majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengurangi hukuman Joko S Tjandra dari 4,5 tahun menjadi 3,5 tahun penjara dinilai tidak tepat. Pertimbangan meringankan yang digunakan majelis hakim justru lebih tepat dijadikan pertimbangan memperberat hukuman Joko Tjandra.
Sebelumnya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Majelis banding yang terdiri dari hakim M Yusuf selaku ketua majelis dengan hakim anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Rusydi, dan Reny Halida Ilham Malik. Susunan majelis hakim ini sama dengan majelis hakim yang menangani perkara banding jaksa Pinangki Sirna Malasari. Sebelumnya, vonis Pinangki juga dikorting dari 10 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara.
Dalam putusannya, majelis banding perkara Joko Tjandra menilai bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama, yaitu menyuap Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo dan Irjen Napoleon Bonaparte untuk mengurus penghapusan status DPO atas namanya. Ia juga terbukti melakukan permufakatan jahat untuk mengurus fatwa bebas ke Mahkamah Agung bersama dengan Pinangki Sirna Malasari. Ia terbukti melanggar Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor dan Pasal 15 UU yang sama.
Adapun pertimbangan majelis hakim meringankan hukuman Joko Tjandra, antara lain, yang bersangkutan saat ini telah menjalani pidana penjara berdasarkan putusan MA dalam kasus korupsi hak tagih piutang atau cessie Bank Bali dan telah menyerahkan dana yang ada dalam Escrow Account atas nama rekening Bank Bali qq PT Era Giat Prima milik Joko Tjandra senilai Rp 546,47 miliar.
Ini tidak tepat jadi keadaan yang meringankan. Justru seharusnya, keadaan tersebut menjadi keadaan yang memberatkan. Kenapa? Karena dia sudah dijatuhi pidana meski belum dijalani (karena melarikan diri dan baru ditangkap tahun lalu), tapi melakukan tindak pidana lagi yang serupa, yaitu korupsi. Jadi, Joko Tjandra ini melakukan korupsi dua kali. Dulu korupsi BLBI, sekarang melakukan suap dan permufakatan jahat. Ini justru menjadi keadaan yang memberatkan.
”Ini tidak tepat jadi keadaan yang meringankan. Justru seharusnya, keadaan tersebut menjadi keadaan yang memberatkan. Kenapa? Karena dia sudah dijatuhi pidana meski belum dijalani (karena melarikan diri dan baru ditangkap tahun lalu), tapi melakukan tindak pidana lagi yang serupa, yaitu korupsi. Jadi, Joko Tjandra ini melakukan korupsi dua kali. Dulu korupsi BLBI, sekarang melakukan suap dan permufakatan jahat. Ini justru menjadi keadaan yang memberatkan,” ujar peneliti Pusat Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, saat dihubungi Rabu (28/7/2021).
Menurut dia, dampak dari perbuatan Joko Tjandra telah mengakibatkan sistem penegakan hukum menjadi rusak. Demikian pula dengan wibawa aparat penegak hukum dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum ikut terpuruk.
”Saya hormati putusan ini. Tapi alasan yang dicantumkan di dalam pertimbangan itu, menurut saya, tidak logis. Keliru. Tidak tepat,” kata Zaenur.
Ia pun menyarankan agar jaksa mengajukan kasasi terhadap putusan Joko Tjandra tersebut. ”Masalahnya, saya sendiri tidak terlalu percaya dengan kejaksaan untuk serius di kasus Joko Tjandra. Kejaksaan sebelumnya telah menolak kasasi di perkara Pinangki. Apakah mau jaksa kasasi di kasus Joko Tjandra?” ujarnya.
Dalam perkara terkait dengan Joko Tjandra itu, Pinangki akhirnya dihukum 4 tahun penjara oleh majelis tingkat banding. Mantan Kepala Divisi Internasional Polri Napoleon Bonaparte pun oleh majelis tingkat banding dihukum 4 tahun. PT DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta dalam perkara Napoleon. Sementara Brigjen Prasetijo dihukum 3,5 tahun penjara di Pengadilan Tipikor.
KY akan mengkaji putusan tersebut. Anotasi terhadap putusan ini juga dapat diperkuat melalui kajian dari berbagai elemen masyarakat, baik akademisi, peneliti, maupun organisasi masyarakat sipil.
Komisi Yudisial pun menaruh perhatian terhadap putusan Joko Tjandra dan beberapa putusan lainnya. Juru Bicara KY Miko Ginting mengungkapkan, hal itu terutama dari pertimbangan terkait dengan pentingnya sensitivitas keadilan bagi masyarakat. Ditambah lagi, hal itu juga erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat terhadap kehormatan hakim dan integritas pengadilan.
Untuk itu, menurut Miko, KY akan mengkaji putusan tersebut. Anotasi terhadap putusan ini juga dapat diperkuat melalui kajian dari berbagai elemen masyarakat, baik akademisi, peneliti, maupun organisasi masyarakat sipil.