Atasi Krisis Hakim ”Ad Hoc” Tipikor, KY Pastikan Seleksi Digelar Tahun Ini
Setelah 22 Juli lalu, tinggal tersisa tiga hakim ”ad hoc” tindak pidana korupsi di MA. Komisi Yudisial memastikan proses perekrutan hakim baru untuk mengatasi krisis hakim tipikor di MA akan digelar tahun ini.
Oleh
SUSANA RITA/DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Yudisial atau KY memastikan akan memulai seleksi hakim ad hoc tindak pidana korupsi di Mahkamah Agung, tahun ini. Seleksi untuk menjawab persoalan krisis hakim ad hoc tipikor tersebut akan dimulai setelah KY merampungkan seleksi calon hakim agung yang saat ini tengah berlangsung. Sementara itu, Mahkamah Agung mengoptimalkan tiga hakim ad hoc tersisa untuk menangani perkara korupsi.
Ketua KY Mukti Fajar Nur Dewata saat dihubungi, Selasa (27/7/2021), mengungkapkan, pihaknya telah memutuskan untuk segera menggelar seleksi calon hakim ad hoc tindak pidana korupsi (tipikor) di Mahkamah Agung (MA) begitu seleksi calon hakim agung yang saat ini tengah berlangsung selesai. Ia memastikan, seleksi hakim ad hoc tipikor akan dilakukan tahun ini.
”Proses seleksi tersebut akan dimulai setelah proses seleksi calon hakim agung yang sekarang sedang berlangsung diselesaikan dulu dan mempertimbangkan agenda program kerja prioritas terkait tugas dan fungsi KY lainnya,” ujar Mukti Fajar.
Saat ini, proses seleksi calon hakim agung tengah berada dalam tahap penelusuran rekam jejak para calon. Juru bicara KY, Miko Ginting, mengungkapkan, kemungkinan proses seleksi akan berakhir Agustus mendatang.
Mukti Fajar mengungkapkan, pihaknya tidak lagi mempersoalkan mengenai ada atau tidaknya anggaran. Bagi KY, mengingat seleksi calon hakim di MA merupakan tugas konstitusional KY, maka KY akan berusaha mempersiapkan segala sumber daya yang diperlukan untuk menyelenggarakan seleksi calon hakim ad hoc tipikor.
Proses seleksi untuk mencari hakim ad hoc tipikor di MA akan dilakukan seperti sebelumnya. Tidak ada revisi peraturan terkait dengan proses seleksi karena hal itu justru memakan waktu lebih banyak. Meskipun dilakukan sama seperti periode-periode sebelumnya, KY menjamin bahwa proses tersebut dilakukan secara independent dan akuntabel.
Sebelumnya, tepatnya pada 2020, DPR hanya memilih satu dari empat calon hakim ad hoc tipikor di MA yang diajukan KY. Pada 2019, DPR memilih dua dari dua calon hakim yang diajukan KY. Adapun pada 2016, DPR sama sekali tidak menyetujui enam calon hakim yang dikirimkan KY.
Mengenai banyaknya calon yang gugur dalam tes uji kelayakan dan kepatutan di DPR, anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, sebelumnya mengatakan, calon hakim ad hoc tipikor yang diajukan KY kerap tak memiliki kapasitas yang memadai dan integritasnya diragukan (Kompas, 18/7/2021).
Terkait dengan hal tersebut, Mukti Fajar mengungkapkan, metode seleksi yang digunakan KY, baik di seleksi calon hakim agung maupun calon hakim ad hoc di MA, sudah cukup ketat untuk memastikan kapasitas dan integritas para calon. ”Bahwa ada beberapa persoalan yang muncul di kemudian hari, maka menjadi tugas KY lainnya melalui fungsi pengawasan hakim,” ujarnya.
Pertemuan informal
Mantan komisioner KY, Sukotjo Suparto, menyarankan, KY, DPR, dan Mahkamah Agung menggelar pertemuan informal untuk membahas kriteria calon hakim agung atau hakim ad hoc yang dibutuhkan. Dengan adanya kriteria yang disetujui bersama, hal tersebut akan memudahkan KY mencari calon hakim agung dan hakim ad hoc di MA.
Hal itu, ujarnya, juga tidak akan membuat miliaran uang negara yang digunakan untuk proses seleksi menjadi sia-sia karena hasil seleksi tidak ada yang disetujui DPR. ”Jangan sampai ada orang yang kemudian mempersoalkan tugas konstitusional KY untuk menggelar seleksi calon hakim dan calon hakim ad hoc di MA karena kemudian tidak ada hasil yang disetujui DPR,” ujarnya.
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan, pascalima hakim ad hoc tipikor di MA pensiun 22 Juli lalu, kini tersisa tiga hakim ad hoc tipikor. Tiga hakim itu akan dioptimalkan untuk menangani perkara korupsi di tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Ketua MA Syarifuddin akan mengatur komposisi hakim agung dan hakim ad hoc tipikor untuk duduk sebagai majelis hakim sesuai dengan aturan UU Pengadilan Tipikor.
Kemungkinan, ketiga hakim ad hoc tipikor yang tersisa itu tidak akan duduk dalam satu majelis yang sama. Mereka akan dibagi di perkara berbeda. Ini juga untuk menyiasati aturan bahwa majelis di tingkat banding tidak boleh menangani perkara yang sama di tingkat kasasi. Majelis kasasi juga tidak boleh lagi menangani perkara yang sama di tingkat PK.
”Sementara tiga hakim ad hoc tipikor yang ada saat ini pernah bertugas di Pengadilan Tinggi Tipikor. Jadi, kalau ada perkara yang dulu mereka tangani di tingkat banding, tidak boleh lagi ditangani di tingkat kasasi,” kata Andi.
Pada 2020, rasio beban penanganan perkara di MA pada kamar pidana adalah 1:584. Dari total 7.005 perkara pidana yang masuk ke MA, hanya ditangani oleh 12 hakim agung yang ada.
Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Arsil, mengatakan, peluang terjadinya masalah hakim ad hoc tipikor menangani perkara yang sama di tingkat banding dan kasasi kemungkinan kecil. Sebab, kemungkinan perkara yang naik di tingkat kasasi adalah perkara baru setelah mereka menjabat sebagai hakim ad hoc. MA juga bisa mengatur komposisi majelis hakim agar hakim kasasi tidak lagi menangani perkara yang sama di tingkat PK.
”Menurut saya, ini masih bisa diatasi oleh MA dengan tiga hakim ad hoc yang ada. Hanya saja, hakim yang tersisa ini bebannya akan overload dalam penanganan perkara,” kata Arsil.
PK Novanto
Sementara itu, Krisna Harahap, hakim ad hoc tipikor di MA yang berakhir masa tugasnya pada 22 Juli 2021, menjelaskan perihal tertundanya pengucapan putusan terhadap perkara peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh bekas Ketua DPR Setya Novanto dalam perkara korupsi pengadaan KTP elektronik di Kementerian Dalam Negeri tahun anggaran 2011-2013.
”Saya merasa berkewajiban untuk menyampaikan informasi yang sebenarnya (terkait perkara PK Novanto). Sejak awal, sidang direncanakan bukan dengan tatap muka, melainkan dengan video call. Dengan video call, kesempatan para hakim mengemukakan pendapat tentu akan sangat terbatas dan musyawarah tidak akan berlangsung optimal,” ujarnya.
Menurut Krisna, sidang sebenarnya sudah ditetapkan akan dilakukan pada 22 Juli pukul 10.00. Namun, hingga pukul 18.00, walau dirinya terus menanti, sidang tidak dilangsungkan tanpa pemberitahuan sedikit pun kepadanya selaku anggota Majelis PK. Bahkan, hingga kini pun tak pernah ada pemberitahuan mengenai pembatalan atau penundaan sidang tersebut.
Ia pun menambahkan bahwa dirinya sebenarnya tidak pernah lockdown di Bandung. ”Kapan pun dibutuhkan, saya stand by di Jakarta untuk menghadiri sidang,” ujarnya.
Krisna Harahap mengklarifikasi pernyataan Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro yang mengungkapkan tentang perombakan majelis PK Setya Novanto. Perombakan itu dilakukan karena sidang pada 22 Juli tidak dapat dilaksanakan karena Ketua Majelis PK Surya Jaya tengah mendampingi istrinya yang sakit dan hakim Krisna Harahap sedang lockdown di Bandung (Kompas, 27/7/2021).