Wapres Amin: Jurnalis Ujung Tombak Penyampai Informasi Covid-19
Wapres Ma'ruf Amin menyayangkan adanya media yang mengabaikan kode etik jurnalistik dan mengamplifikasi informasi yang tidak benar demi meraih ”clickbait”. Semesstinya media berperan mengecek fakta untuk menangkal hoaks.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wakil Presiden Ma’ruf Amin menuturkan bahwa dalam kondisi pandemi ini, para jurnalis menjadi ujung tombak penyampaian beragam informasi tentang Covid-19. Hal ini menyangkut edukasi arti penting protokol kesehatan, perkembangan Covid-19, pelaksanaan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat, vaksinasi, pelayanan kesehatan, serta pemberitaan peristiwa lainnya.
Apresiasi diberikan kepada para jurnalis yang selalu menerapkan kode etik jurnalistik dalam memberitakan dengan baik, obyektif, berimbang, benar, dan bertanggung jawab. ”Saya juga berharap agar cara-cara yang demikian dapat terus dipertahankan dan dikembangkan demi persatuan bangsa, kecerdasan masyarakat, dan kemajuan bersama,” kata Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat memberikan sambutan pada acara Persatuan Wartawan Indonesia Bermunajat bertajuk ”Mengetuk Pintu Langit” yang digelar secara daring, Sabtu (24/7/2021).
Pandemi Covid-19 telah banyak mengubah cara manusia beraktivitas dan berinteraksi. Semua orang dituntut terus beradaptasi dan bertransformasi dengan kondisi baru ini, termasuk dalam beribadah yang biasanya dilakukan di rumah ibadah menjadi ibadah di rumah. Cara bekerja dan belajar pun berubah dengan bermigrasi, bertransformasi, dan bergerak di ruang-ruang digital.
Hal-hal ini perlu dilakukan untuk menjaga diri, menjaga keluarga, dan menjaga satu sama lain dari penyebaran Covid-19. ”Meski demikian, beberapa aktivitas dan pekerjaan esensial belum dapat sepenuhnya dilakukan dari jarak jauh, termasuk pekerjaan pers, jurnalistik, dan media yang dilakukan oleh rekan-rekan semua,” kata Wapres Amin.
Wapres Amin menuturkan keberadaan pers dalam keberlangsungan negara sangatlah krusial mengingat peranannya sebagai salah satu pilar demokrasi bangsa. Pekerjaan pers harus terus berjalan agar akses masyarakat terhadap informasi yang aktual, faktual, dan kredibel dapat terus terbuka.
Pemerintah, dalam hal ini, turut hadir memberikan perlindungan kesehatan melalui vaksinasi Covid-19 bagi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk jurnalis atau wartawan. Hingga 16 Juli 2021 sebanyak 40 juta lebih orang telah melakukan vaksinasi dan hampir 16 juta orang di antaranya telah menerima dosis vaksin yang kedua.
Pemerintah, lanjut Wapres Amin, senantiasa mendorong insan pers dan media untuk meningkatkan partisipasinya dalam program vaksinasi ini. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, hingga 16 Juli 2021, terdapat 22.700 insan pers dan media yang telah mendapatkan dosis vaksin pertama dan 14.385 orang sudah memperoleh dosis kedua.
”Tentu kita berharap agar program vaksinasi nasional dapat segera mencapai target untuk membentuk kekebalan kelompok dan sukses memberikan vaksinasi bagi setidaknya 70 persen dari total populasi masyarakat Indonesia,” kata Wapres Amin.
Kritik
Peran media juga dinilai sangat krusial dalam menyampaikan kritik yang membangun terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah. Media sekaligus juga berperan mengecek fakta di lapangan atas hoaks maupun disinformasi yang ada.
”Namun, patut kita sayangkan masih adanya media yang mengabaikan kode etik jurnalistik, bahkan mengamplifikasi informasi yang tidak benar demi meraih clickbait atau umpan klik, misalnya dengan judul berita yang membuat orang tertarik padahal kontennya berbeda sehingga ramai beredar tanpa didukung verifikasi dan fakta yang mumpuni,” kata Wapres.
Kementerian Komunikasi dan Informatika hingga 16 Juli 2021 melaporkan temuan 2.027 isu hoaks Covid-19, vaksin Covid-19, dan PPKM darurat dengan total keseluruhan persebaran berjumlah 5.835 konten hoaks dan disinformasi. Data tersebut juga meliputi penyebaran berita dengan konteks yang tidak tepat atau clickbait oleh masyarakat.
Menurut Wapres Amin, situasi demikian tidak hanya akan memancing kesalahpahaman dan menciptakan keresahan, tetapi juga dapat memicu perpecahan dan melemahkan eksistensi pers Indonesia sebagai pers pemersatu. Selain terus memegang teguh prinsip-prinsip dan kode etik jurnalistik, jurnalisme juga perlu untuk terus berempati.
Jurnalisme mesti terus berempati pada tenaga kesehatan yang berjibaku di garda terdepan melawan Covid-19, berempati terhadap para penderita Covid-19, berempati terhadap aparat yang tak kenal lelah mengedukasi masyarakat tentang bahaya Covid-19 dan mengamankan PPKM, serta berempati terhadap masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19.
“Kini merupakan waktu bagi kita semua untuk menyatukan langkah dan bahu-membahu satu sama lain. Dimulai dari diri sendiri dan lingkungan sekitar, mari kita bergerak untuk terus meningkatkan kepatuhan terhadap protokol kesehatan, mengubah kondisi Indonesia agar segera terlepas dari jerat pandemi Covid-19,” kata Wapres Amin.
Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh menuturkan, pada saat menghadapi turbulensi, persoalannya bukan pada turbulensi itu sendiri melainkan cara meresponsnya yang masih menggunakan logika-logika usang atau logika masa lalu. Terkait hal tersebut, semua pihak mesti bersama-sama mencari solusi-solusi baru dalam persoalan-persoalan baru.
”Covid-19 ini (sebelumnya) tidak pernah ada. (Oleh) karena merupakan persoalan baru maka harus ada approach (pendekatan) baru. Tentu, approach lama yang masih bisa dipakai, ya, tetap kita pakai,” kata Nuh.
Covid-19 adalah permasalahan kompleks. Pendekatan kompleks dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan kompleks tersebut. Salah satu kekhasan dari pendekatan kompleks adalah kebersamaan lintas komponen bangsa, lintas sektor, dan lainnya. Partisipasi dari masyarakat secara keseluruhan menjadi kata kunci. ”Pada saat menyelesaikan persoalan kompleks ini tidak ada ’saya’, yang ada adalah ’kita’,” kata Mohammad Nuh.
Partisipasi dari masyarakat secara keseluruhan menjadi kata kunci. Pada saat menyelesaikan persoalan kompleks, tidak ada ’saya’, yang ada adalah ’kita’. (Mohammad Nuh)
Mobilisasi sumber daya
Begitu suatu persoalan itu menjadi persoalan semua komponen bangsa, maka semua komponen bangsa pula yang menjadi aktor untuk menyelesaikannya. ”(Hal ini) karena apa yang saya ketahui tidak ada apa-apanya dibanding yang tidak saya ketahui. Apa yang saya miliki tidak ada apa-apanya dibanding apa yang saya tidak miliki. Oleh karena itu, kami ingin betul kawan-kawan pers untuk terus memobilisir (memobilisasi) sumber daya yang ada di masyarakat untuk bersama-sama, menjahit, menjadi bagian dari kekitaan tadi itu,” kata Nuh.
Nuh menuturkan, kompleksitas sosial berkembang jauh lebih cepat dibanding kapasitas kognitif. Ada kesenjangan antara tingkatan persoalan sosial dengan pemahaman. ”Ada gap, ada misteri, ada wilayah gelap yang masih misteri. Di wilayah misteri inilah kita semua diminta untuk berpikir, mencari alternatif-alternatif jawab atau makna dari (persoalan) ini semua, (dan) termasuk memanfaatkan data atau scientific approach (pendekatan ilmiah) untuk menyelesaikan (masalah) itu,” katanya.
Partisipasi dan empati saat ini amat dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah pandemi Covid-19. ”Tidak cukup hanya simpati, kita ikut sedih, iya. (Hal) yang kita butuhkan adalah empati, ada suasana emosi, tetapi (juga) ada suasana riil yang bisa kita berikan dukungan,” kata Nuh.
Nuh senang dengan pemakaian istilah perang melawan Covid-19. ”(Hal ini karena) begitu kita declare (nyatakan) bahwa kita sedang perang melawan Covid-19, maka suatu penyakit yang kita harus berlindung kepada Allah, yaitu jangan menjadi desersi, desersi sosial maupun desersi spiritual,” katanya.
Alih-alih desersi, menurut Nuh, sebisa mungkin semua pihak ikut berpartisipasi untuk menyelesaikan masalah akibat Covid-19, baik di sisi hulu maupun hilir. Salah satu permasalahan hilir dari Covid-19 tersebut adalah yatim baru yang jumlahnya luar biasa.
”Saya menghitung, jumlah yatim baru akibat Covid-19 per tanggal 2 Juli (2021) hampir 50.000. Kalau ditambah dengan yang sekarang sudah 1.500-an setiap hari yang meninggal, maka bisa bisa jadi sekarang sudah 70.000 yatim baru. Dan, bisa jadi yang menjadi yatim baru tadi adalah keluarga insan pers,” katanya.
Ketua Umum PWI Pusat Atal S Depari menuturkan acara PWI Bermunajat ”Mengetuk Pintu Langit” ini terselenggara karena menyadari pandemi Covid-19 yang telah berlangsung 19 bulan di 223 negara menyebabkan 191 juta orang terinfeksi dan 4,1 juta lebih orang meninggal. PWI juga menyadari perang melawan Covid-19 tidak bisa dilakukan hanya oleh satu atau dua elemen bangsa.
”Tidak bisa pemerintah semata, tenaga kesehatan, atau aparat penegak hukum saja. Semua komponen bangsa harus hadir, bahu membahu, saling mendukung, dan saling mengingatkan agar perang melawan Covid-19 bisa segera kita menangkan. Sekali lagi saya mengajak para wartawan agar bersama seluruh komponen bangsa, bersama-sama melawan Covid-19. Mari kita terus memohon kepada Allah SWT agar pandemi ini segera berakhir dari Bumi Nusantara,” kata Atal.
Acara PWI Bermunajat tersebut juga diisi dengan pemutaran video testimoni wartawan penyintas Covid-19. Berikutnya adalah tausiah dan doa bersama yang disampaikan dai nasional Ustaz Das’ad Latief.