Hoaks Covid-19 yang Mematikan...
Mengatasi pandemi kini dihadapkan pula pada hoaks seputar Covid-19. Tak hanya mengaburkan informasi yang semestinya, hoaks ini pun rawan menyebabkan dampak yang fatal, salah satunya kematian.
Selama pandemi ini, media sosial telah dibanjiri hoaks seputar Covid-19. Ironisnya, peredaran berita bohong atau informasi palsu seputar virus korona itu tak hanya mengaburkan informasi yang semestinya, tetapi juga ikut andil menyebabkan kematian.
Duka masih menyelimuti keluarga Ismawati (36), warga Jakarta Timur. Pada awal Juli lalu, ayah mertuanya, Hasanudin (63), meninggal setelah terinfeksi Covid-19. Meski sempat dirawat beberapa jam di rumah sakit, Hasanudin tidak bisa diselamatkan.
Kepergian Hasanudin sangat ia sesalkan. Bukan karena penanganan rumah sakit yang lamban, tetapi karena informasi palsu seputar virus korona yang telah memengaruhi ayah mertuanya itu sehingga ia menolak tes usap metode reaksi berantai polimerase (PCR). Padahal, saat itu Hasanudin telah mengalami demam selama dua pekan, salah satu gejala pada orang yang terinfeksi Covid-19.
Sikap ayah mertuanya menolak tes usap, menurut Ismawati, lantaran ia tak percaya terhadap pandemi Covid-19.
Sikap ayah mertuanya menolak tes usap, menurut Ismawati, lantaran ia tak percaya terhadap pandemi Covid-19. ”Walaupun pandemi sudah lebih dari satu tahun, Bapak masih menyangkal keberadaan Covid-19 karena lebih percaya terhadap berbagai informasi yang menyangkal adanya pandemi ini,” ucapnya, Jumat (16/7/2021).
Berdasarkan catatan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), dalam periode 1 Januari 2020-16 Juli 2021 ada 1.064 hoaks Covid-19 yang beredar. Temuan Kementerian Komunikasi dan Informatika jauh lebih banyak lagi, dalam rentang waktu 23 Januari 2020-17 Juli 2021, ada 1.760 hoaks Covid-19 yang ditemukan.
Baca juga : Termakan Kabar Hoaks, Pemuda di Bantul Rusak Ambulans
Hoaks Covid-19 yang telah menguasai pikiran Hasanudin itu pun membuat pertolongan terhadap dirinya terlambat. Ketika bersedia dites usap PCR dan diketahui positif Covid-19, ia sudah mengalami sesak napas parah karena saturasi oksigennya ada di angka 36 persen. Saat dilarikan ke rumah sakit, pihak rumah sakit pun tak mampu lagi menolongnya karena kondisinya sudah kritis.
Ismawati pun menyesali dirinya sendiri karena tak bisa mendampingi ayah mertuanya selama pandemi ini. Ia menyadari, mereka yang tidak terbiasa menerima dan memverifikasi informasi secara digital semestinya didampingi. Namun, ia mengaku, jarak dan pembatasan kegiatan masyarakat membuatnya tak bisa ”cerewet” kepada orangtua yang tinggal di Tangerang Selatan, Banten, itu.
Hal yang lebih memprihatinkan lagi, lanjutnya, peristiwa yang dialami ayah mertuanya tak juga mengikis pengaruh hoaks di keluarganya. ”Setelah Bapak meninggal, anggota keluarga lain masih menyangkal (adanya pandemi Covid-19). Mereka tidak mau tes walaupun bergejala Covid-19,” ungkap Ismawati.
Pergulatan melawan berita bohong seputar Covid-19 ini juga dialami Helmi Indra (34), warga Depok, Jawa Barat. Ayahnya, Nuryaman (60), yang bermukim di Kota Tegal, Jawa Tengah, meninggal setelah delapan hari mengalami sejumlah gejala Covid-19, mulai dari pusing hingga kehilangan indera perasa. Saturasi oksigennya pun kurang dari 90 persen, di bawah batas normal 95-100 persen.
”Papa kalah melawan Covid-19. Apa yang menyebabkan? Hoaks berperan besar di samping komorbid (diabetes),” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta.
Baca juga: Polisi Tangkap Penyebar Hoaks Terkait Pandemi di Kota Malang
Helmi mengungkapkan, ayahnya meninggal pada Rabu (14/7/2021). Sebelumnya sang ayah telah menjalani tes usap antigen dan menunjukkan hasil reaktif. Namun, Nuryaman menolak tes usap PCR dan bahkan menolak mengonsumsi obat-obatan dan vitamin.
Menurut Helmi, ayahnya lebih percaya terhadap informasi yang dibagikan seorang dokter di media sosial yang salah satunya menyatakan bahwa kematian pasien Covid-19 bukan disebabkan virus, melainkan oleh reaksi berbagai jenis obat yang dikonsumsi. Pada Senin (11/7/2021), Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Polri pun menetapkan sang dokter sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyebaran kabar bohong sehingga membuat keonaran menyangkut Covid-19.
Yang saya sesalkan, Papa percaya pada teori dokter itu tentang interaksi obat. Ia khawatir terlalu banyak obat akan menyebabkan hilang napas.
”Yang saya sesalkan, Papa percaya pada teori dokter itu tentang interaksi obat. Ia khawatir terlalu banyak obat akan menyebabkan hilang napas,” ucap Helmi sambil menahan tangis.
Lewat utas di Twitter, ia membagikan dampak hoaks terhadap ayahnya. Ia menceritakan pengalaman ini agar orang-orang terdekat tak ada lagi yang terpengaruh hoaks Covid-19. Utas yang melambungkan tagar #lawanhoakscovid19 itu pun viral. ”Saya berkaca-kaca membaca (komentar) warganet, ternyata kejadian serupa terjadi pada banyak orang. Kita tidak hanya berperang melawan virus, tetapi juga dengan hoaks,” katanya dengan suara bergetar.
Baca juga : Hoaks Terkait Vaksin Covid-19 Turunkan Kepercayaan terhadap Program Imunisasi
Penyangkalan Covid-19 karena pengaruh hoaks juga ditemukan pada sebagian warga di Cakung, Jakarta Timur. Widhi Maulana (36), warga setempat, mengaku banyak warga di tempat tinggalnya meyakini hoaks terkait dengan bahaya interaksi aneka obat. Akibat hoaks itu, dua tetangga yang berjarak satu rumah dengan Widhi menolak memeriksakan diri ke dokter meski mengalami demam hingga sesak napas, sebagian dari gejala terinfeksi Covid-19. Kedua orang itu pun akhirnya meninggal setelah sepekan menderita sakit.
”Mereka meninggal tanpa diketahui terinfeksi Covid-19 atau tidak, dikuburkan secara biasa,” ujar Widhi.
Lonjakan hoaks
Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho mengatakan, hoaks Covid-19 mengisi bagian terbanyak dalam total proporsi hoaks secara keseluruhan. Pada 2020, misalnya, persentase hoaks Covid-19 mencapai 37 persen dari total 2.298 hoaks yang beredar. Padahal, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, persentase hoaks menyangkut isu kesehatan tidak pernah lebih dari 10 persen.
Selain itu, keberadaan hoaks Covid-19 juga menjadi penyumbang besar peningkatan jumlah hoaks secara umum. Pada 2020, jumlah total hoaks mencapai 2.298 atau naik hampir dua kali lipat ketimbang tahun 2019, yaitu 1.200 hoaks. ”Ini tidak bisa dilihat hanya dari angka, tetapi juga dampaknya. Dampaknya (hoaks Covid-19) kami lihat jauh lebih masif daripada hoaks yang menyerang legitimasi penyelenggara Pemilu 2019,” kata Septiaji.
Penanganan hoaks Covid-19 harus dilakukan dengan melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama sebagai agen edukasi antihoaks. Penegakan hukum juga perlu dilakukan terhadap auktor intelektualis atau pihak yang mengambil keuntungan dari penyebaran hoaks.
Septiaji mengatakan, masyarakat pun jadi terbelah ke dalam begitu banyak kelompok sesuai dengan isu hoaks Covid-19 yang mereka percaya. Dari beragam isu yang ada, mayoritas mendelegitimasi tenaga kesehatan. Akibatnya, terjadi konflik antara masyarakat dan tenaga kesehatan, keengganan mematuhi protokol kesehatan, dan penolakan terhadap vaksinasi.
Menurut Septiaji, penanganan hoaks Covid-19 harus dilakukan dengan melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama sebagai agen edukasi antihoaks. Penegakan hukum juga perlu dilakukan terhadap auktor intelektualis atau pihak yang mengambil keuntungan dari penyebaran hoaks. Adapun penyebar hoaks yang disebabkan ketidaktahuan cukup diberikan sanksi sosial.
Sementara Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) Nenden Sekar Arum menilai, penangkapan penyebar hoaks tidak akan berpengaruh signifikan dalam menangani persebaran hoaks. Sebab, informasi yang telanjur beredar tidak bisa ditarik kembali. ”Hoaks hanya bisa ditangkal dengan meningkatkan literasi digital dan membuka akses masyarakat terhadap informasi yang valid,” katanya.
Baca juga : Sering Unggah Kabar Kibul, 150.000 Akun Terkait QAnon Dihapus Twitter
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengatakan, untuk membendung peredaran hoaks Covid-19, pihaknya telah bekerja sama dengan platform digital untuk memutus akses konten yang mengandung hoaks dan disinformasi, juga dengan kepolisian untuk menegakkan hukum di ruang digital. Kerja sama juga dijalin dengan tim pemeriksa fakta dari berbagai pihak untuk membongkar hoaks dan menerbitkan klarifikasinya.
”Jika dibutuhkan, kami akan melakukan penyesuaian terhadap kanal-kanal komunikasi serta sumber klarifikasi hoaks sesuai dengan isunya. Misalnya, jika isu kesehatan, tentu kami akan berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, serta stakeholder terkait lainnya untuk meminta klarifikasi serta membantu penyebaran informasi yang tepat untuk menangkis hoaks dan disinformasi yang ada,” tutur Johnny.
Kini, saatnya pemerintah dan masyarakat bahu-membahu menangani hoaks yang bergerak lebih cepat dan sama membahayakannya dengan virus korona. Jangan sampai berita bohong semakin memperkuat pemahaman keliru yang membuat kita semua menyesal kemudian.