Jatuh Bangun Jurnalis Melawan Beban Ganda Pandemi
Jurnalis menghadapi ancaman ganda. Satu virus korona baru yang tidak kelihatan dan lainnya adalah virus hoaks dan disinformasi. Bukan hal mudah menyintas di antara keduanya.
Pekan ini seharusnya menjadi hari-hari bahagia bagi Jerry Komara (41), jurnalis, dan istri menanti calon anak pertama mereka. Namun, Covid-19 membuat mereka terpisah untuk sementara. Serupa meski tak sama, kecemasan pun menghantui banyak jurnalis lainnya.
Sabtu (10/7/2021) ini, merupakan hari ke-10 Jerry mengisolasi diri dalam rumahnya di Ciperna, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Jurnalis Trans/CNN ini terkonfirmasi positif Covid-19. Beruntung, istrinya tidak terpapar sehingga harus mengungsi ke rumah keluarga lainnya.
Jerry tidak tahu pasti dari mana dirinya terinfeksi virus itu. Apalagi, ia telah menjalankan protokol kesehatan, seperti mengenakan masker dan mencuci tangan. Namun, seorang teman jurnalis yang sempat ia temui ternyata tertular virus korona baru.
”Sehari sebelum swab (tes usap), saya sudah merasa enggak enak badan. Jadi, pisah kamar dengan istri,” katanya. Saat itu, ia demam, pilek, dan indra penciumannya melemah. Berbagai gejala itu mirip Covid-19, isu yang selama ini ia liput di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan (Ciayumajakuning).
Dugaannya benar, Jerry positif Covid-19, Kamis (1/7/2021). Meski berusaha tenang dengan melempar candaan, ia tetap tak mampu menyembunyikan kecemasannya. Keringat dingin membasahi bajunya.
Sejak saat itu, kegalauan menghampirinya. Isolasi mandiri (isoman) berarti tidak ke lapangan. Tidak liputan sama saja tanpa penghasilan. Maklum, seperti kontributor televisi lainnya, ia masih dibayar per berita yang tayang.
”Selama isoman hampir enggak ada berita. Untungnya, kantor ngerti dan minta saya istirahat dulu,” lanjut Jerry yang belasan tahun aktif sebagai jurnalis.
Baca juga : Tetap Berdaya di Tengah Kondisi Tidak Biasa
Kekhawatiran terbesarnya soal kesehatan istri dan calon bayinya yang hari perkiraan lahirnya pada pekan ketiga Juli. Rumah sakit di Kota Cirebon kini dipadati pasien Covid-19. Okupansi ruang isolasinya bahkan lebih dari 90 persen, jauh dari batas ideal 60 persen.
Tak bisa dimungkiri, meliput korban pandemi turut memengaruhi perasaannya. Kabar duka datang silih berganti. ”Kemarin malam istri teman meninggal karena Covid-19. Ini yang bikin beban pikiran,” kata Jerry yang kepalanya masih terasa pusing.
Kegelisahannya mereda kala melakukan telepon video dengan istri, keluarga, dan rekan-rekannya. Istrinya juga rutin mengirimkan makanan. Akan tetapi, kesunyian dan kejenuhan tetap memeluknya. Sebagai makhluk sosial, sendiri memang jadi salah satu musuh terberat manusia.
Untuk membunuh sepi, ia mencoba mengedit beberapa video di galeri telepon pintarnya. Salah satunya membuat video edukasi soal pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat di kanal Youtube-nya.
”Misalnya, pemadaman lampu jalan di Cirebon selama PPKM ini untuk mencegah mobilitas warga sehingga Covid-19 terkendali. Masyarakat harus patuh. Kena Covid-19 itu enggak enak, saya merasakannya,” papar pemilik akun Youtube dengan 60.400-an pengikut ini.
Panji Prayitno (34), jurnalis Liputan6.com untuk Ciayumajakuning, lainnya, sempat mengambil jarak dengan gawainya yang selama ini menjadi alat kerjanya. Ia mengaku kalut ketika membaca berita kasus positif Covid-19 dan kematian melonjak.
Akan tetapi, naluri jurnalistiknya tidak bisa padam selama isoman. Pertama kali terkonfirmasi positif 10 hari lalu, ia dihujani berbagai info dari keluarga dan temannya terkait obat Covid-19. Salah satunya, pesan berantai terkait minyak kayu putih yang menyembuhkan jika diminum.
”Padahal, setelah saya cek di akun media sosial beberapa dokter, minyak kayu putih itu berbahaya kalau diminum. Itu hanya cocok sebagai terapi aromanya,” katanya. Ia pun mengirim tautan untuk menangkal pesan hoaks itu.
Ia tetap meliput meski tidak ke lapangan. Selain karena penghasilannya masih dihitung per berita, ia ingin mengedukasi publik. Misalnya, ia ikut menyosialisasi aturan PPKM darurat. ”Saya enggak boleh kelihatan sedih,” ucap Panji yang sementara berpisah dengan istri dan anaknya.
Solidaritas jurnalis
Jerry dan Panji merasa tidak bisa sendirian melawan virus korona. Untuk itu, rekan-rekannya turut mendukung. Sejumlah jurnalis di Cirebon langsung membuat gerakan yang dinamakan Sedulur Sepenanggungan.
”Dalam dua hari saja sudah terkumpul Rp 4 juta. Kami lalu membagikan sembako dan buah untuk yang isoman. Setidaknya ada lima jurnalis yang masih isoman,” kata Faisal Nurathman, wartawan Metro TV untuk Kota dan Kabupaten Cirebon, salah satu inisiator gerakan itu. Doa bersama dan diskusi dengan psikolog juga digelar.
Solidaritas jurnalis juga muncul di Kota Tegal, Jawa Tengah. Di tengah kesibukan mewartakan peristiwa, para wartawan menyisihkan waktu dan tenaga mereka untuk membantu sejawatnya yang sedang isoman.
Wartawan TVRI, Fikri Hidayatullah (22), misalnya, hampir setiap hari menyempatkan diri membelikan makanan untuk Kuncoro Wijayanto (47), jurnalis Indosiar, yang sedang isoman. PPKM darurat menyulitkannya mencari warung.
Ia juga dituntut lihai mencari ”jalan tikus” setelah sejumlah ruas jalan ditutup. ”Ini bentuk solidaritas saya terhadap rekan seprofesi yang sedang tertimpa musibah,” ucap Fikri.
Kuncoro merasa terbantu dengan upaya rekan-rekannya. ”Isoman ini membuat saya dan keluarga tidak bisa ke mana-mana. Kalau butuh sesuatu, saya biasanya meminta tolong rekan-rekan wartawan. Saya merasa tidak berjuang sendiri dalam menghadapi virus ini,” tuturnya.
Kuncoro yang sudah 10 hari menjalani isoman bersama keluarganya juga kerap ditelepon rekannya. Candaan dari teman-temannya itu membuat Kuncoro bahagia dan tidak kesepian selama menjalani isolasi.
Hal serupa juga dirasakan oleh Rosvitarini (46), wartawan Vimanews Tegal. Sudah tiga hari ia isoman di tempat isolasi terpusat Rumah Susun Sewa Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat. Ia sempat tidak bisa tidur nyenyak lantaran tak ada kipas angin di kamarnya. Ia kemudian mengadu di grup percakapaan wartawan Tegal.
Teman-temannya merespons cepat. Pada Sabtu, Farid Firdaus (33), wartawan Gatra.com, langsung membawakan sebuah kipas angin. ”Saat sakit, seseorang perlu banyak istirahat. Kalau tempatnya kurang nyaman, istirahatnya jadi terganggu. Kami khawatir akan memengaruhi proses penyembuhan,” ucap Farid.
Hingga kini, terdapat enam wartawan di Kota Tegal yang sedang isoman setelah terpapar Covid-19. Farid, Fikri, dan jurnalis lainnya pun tetap membantu rekannya yang isoman.
Banyaknya wartawan yang terpapar Covid-19 menunjukkan besarnya risiko pewarta. ”Situasi jurnalis ini mirip dengan nakes (tenaga kesehatan). Tidak hanya fisik, mereka juga perlu memperhatikan psikologisnya saat pandemi,” kata Rini S Minarso, psikolog di Cirebon.
Ia menyarankan jurnalis untuk mempersiapkan fisik dan mental saat meliput di tengah pandemi. Apalagi, ketika harus ke tempat yang rentan penularannya. Tidak hanya alat pelindung diri, jurnalis juga harus memantapkan psikisnya. Jika tidak, sebaiknya jangan meliput.
Demi mengurangi kecemasan, jurnalis dapat bercerita dengan temannya atau mengambil jeda di antara kesibukan liputan. ”Bisa juga meliput hal yang positif. Misalnya, solidaritas saat pandemi. Jadi, tidak melulu berita kematian,” ungkapnya.
Perang jurnalis kali ini seperti melawan dua virus. Satu virus korona baru yang tidak kelihatan dan lainnya adalah virus hoaks dan disinformasi. Beban ganda ini, sekali lagi, tidak mudah jika dipikul oleh jurnalis semata.
Baca juga : Karena Hidup Saat Pandemi Lebih dari Sekadar ”Cuan”