Perlu Langkah Konkret Jalankan Sistem Wadah Tunggal
Alih-alih memperdebatkan sistem wadah organisasi advokat, yang mendesak dilakukan adalah langkah nyata menjalankan amanat Undang-Undang Advokat yang dapat dimulai oleh Perhimpunan Advokat Indonesia atau Peradi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain dinilai telah teruji dan digunakan banyak negara, penerapan sistem wadah tunggal dinilai sesuai dengan tujuannya, yaitu melindungi pencari keadilan dan meningkatkan kualitas advokat. Alih-alih memperdebatkan sistem wadah organisasi advokat, yang mendesak dilakukan adalah langkah nyata menjalankan amanat Undang-Undang Advokat yang dapat dimulai oleh Perhimpunan Advokat Indonesia atau Peradi.
Hal itu terungkap di dalam Webinar Nasional ”Single Bar System” Solusi Organisasi Advokat Indonesia, ”Suatu Telaah Yuridis Akademis” yang diselenggarakan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia dengan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia.
Para pembicara dalam webinar tersebut adalah Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, Ketua Umum DPN Peradi Otto Hasibuan, Rektor Universitas Kristen Indonesia Dhaniswara K Harjono, mantan Hakim Agung Mahkamah Agung Gayus Lumbuun, anggota Komisi III dari Fraksi Partai PDI Perjuangan, Arteria Dahlan, serta anggota Komisi III dari Fraksi Partai PPP, Arsul Sani.
Menurut Anwar, wacana sistem organisasi yang mewadahi profesi advokat, sistem organisasi tunggal atau banyak wadah terus-menerus dibicarakan. Adanya dua pandangan yang berseberangan tersebut telah diupayakan penyelesaiannya, salah satunya melalui pengujian UU No 18/2003 tentang Advokat ke MK.
Sampa saat ini, lanjut Anwar, tidak kurang dari 22 kali UU Advokat diuji di MK. Sementara terdapat enam putusan MK yang terkait langsung dengan konstitusionalitas frasa organisasi advokat. Terkait dengan wadah advokat, hal itu telah ditegaskan di dalam Putusan MK Nomor 112 Tahun 2014 dan Putusan MK Nomor 36 Tahun 2015. Anwar juga mengingatkan, putusan tersebut merupakan produk hukum yang bersifat final dan mengikat.
Tidak kurang dari 22 kali UU Advokat diuji di MK. Sementara terdapat enam putusan MK yang terkait langsung dengan konstitusionalitas frasa organisasi advokat.
”Melalui kedua putusan tersebut, MK berpendirian bahwa mengenai single bar atau multy bar system pada prinsipnya merupakan bagian dari kebijakan hukum yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk menentukan sesuai kebutuhan organisasi advokat di Indonesia,” kata Anwar.
Otto mengatakan, diskursus antara sistem wadah tunggal dan sistem yang mengakui banyak organisasi juga terjadi di negara lain. Namun, untuk mencapai tujuan UU No 18/2003 tentang Advokat, sistem wadah tunggal lebih teruji, yakni untuk tercapainya penegakan hukum yang adil dan dapat melindungi pencari keadilan serta meningkatkan kualitas advokat Indonesia.
Kebanyakan negara, lanjut Otto, menganut sistem wadah tunggal. Demikian pula ketika DPR mengesahkan UU Advokat pada 2003, saat itu tidak ada yang mempersoalkan sistem wadah tunggal. Sebab, sistem tersebut dinilai sebagai yang terbaik dari sistem yang sudah ada.
”Yang utama adalah bagaimana melindungi pencari keadilan. Oleh karena itu, hampir seluruh dunia menggunakan single bar system. Kita menggunakan sistem itu juga demi kepentingan pencari keadilan,” kata Otto.
Dengan sistem tersebut, menurut Otto, hanya satu organisasi advokat yang mempunyai kewenangan mengatur advokat. Selain itu, standardisasi profesi advokat akan terjadi karena hanya ada satu standar yang berlaku. Demikian pula pengawasan terhadap advokat akan lebih terpusat sehingga pencari keadilan akan lebih terlindungi.
Dalam kesempatan itu, Otto juga mengutarakan gagasan untuk mengakhiri perpecahan di tubuh Peradi. Menurut Otto, satu-satunya cara adalah dengan mengadakan musyawarah nasional Peradi. Kemudian dilakukan pemilihan suara dengan metode dilakukan secara virtual, tetapi dilaksanakan secara langsung. Sosok yang terpilih sebagai ketua umum Peradi diharuskan menerima semua advokat dari organisasi mana pun.
”Jadi, Peradi-nya bersatu dulu. Lalu, Peradi menghimpun semua advokat yang ada di Indonesia masuk menjadi Peradi. Lalu, mereka berembuk kembali untuk menentukan langkah selanjutnya. Kalau ini sudah terjadi, pemerintah dan Mahkamah Agung harus konsisten. Kalau sudah terpilih, jangan malah tidak diakui,” kata Otto.
Dhaniswara berpandangan, wadah organisasi advokat yang masih belum jelas memang memprihatinkan. Padahal, organisasi advokat berfungsi untuk meningkatkan kualitas advokat sekaligus memberi perlindungan bagi pencari keadilan.
Menurut Dhaniswara, semestinya advokat tinggal mematuhi UU Advokat yang mengamanatkan sistem wadah tunggal. Sebagai hukum positif, semestinya hal itu tidak lagi dipermasalahkan di kemudian hari.
Semestinya advokat tinggal mematuhi UU No 18/2003 tentang Advokat yang mengamanatkan sistem wadah tunggal.
”Dan, kalau yang mempermasalahkan adalah orang-orang yang dulu ikut serta meng-endorse dan mendirikan organisasi Peradi, saya semakin tidak habis pikir, kenapa sampai itu terjadi,” kata Dhaniswara.
Menurut Gayus, mengutip Putusan MK yang terakhir, yakni Nomor 35 Tahun 2018, MK menegaskan bahwa secara konstitusional Peradi sebagai satu-satunya wadah profesi advokat sesuai dengan UU Advokat. Dengan demikian, putusan tersebut mesti dipatuhi dan dilaksanakan semua pihak.
”Tidak usah membuang energi. Lebih baik kita berangkat dari undang-undang yang sudah ada. Publik akan mendukung kalau kita sudah membenahi seluruh internal kita sebagai single bar yang diwakili oleh Peradi,” kata Gayus.
Arteria mengatakan, revisi UU Advokat telah masuk ke program legislasi nasional (prolegnas) meski bukan prioritas. Namun, Arteria mempertanyakan tujuan revisi tersebut. Sebab, selama ini UU tentang Advokat secara kasatmata tidak bisa dieksekusi atau dilaksanakan oleh para advokat.
Yang dirindukan dari advokat muda terhadap wadah tunggal atau Peradi selama ini adalah pembelaan atas hak-hak advokat.
Menurut Arteria, yang dirindukan dari advokat muda terhadap wadah tunggal atau Peradi selama ini adalah pembelaan atas hak-hak advokat. Hak-hak tersebut, antara lain, ialah memperjuangkan advokat agar bebas mengeluarkan pendapat dalam membela klien, membela advokat agar tidak bisa dituntut baik secara perdata dan pidana dalam menjalankan tugas, serta memastikan hak advokat untuk memperoleh informasi atau data, baik dari instansi pemerintah maupun pihak lain, ketika membela klien.
”Ini yang seharusnya dipermasalahkan organisasi advokat, bukan soal single bar atau multy bar. Ini kan jelas. Atribusi UU Advokat, kan, sudah single bar, jalankanlah UU kalau memang taat hukum,” kata Arteria.
Isu mengenai bentuk wadah advokat, menurut Arteria, adalah isu bagi elite advokat. Sementara di depan mata terdapat tantangan berupa adanya advokat asing. Peradi diharapkan dapat membentengi advokat Indonesia dari kepentingan asing, bahkan mengirim advokat-advokat Indonesia ke luar negeri.
Arteria pun mendukung adanya usulan musyawarah nasional bersama. Jika perlu, setiap ketua umum Peradi saat ini tidak boleh mencalonkan diri lagi di munas tersebut.
”Kita harus sudah jujur sejak dalam pemikiran, sama antara pemikiran, tindakan, dan ucapan. Kalau belum ada niat bersatu, sia-sia munas dilakukan,” ujar Arteria.
Menurut Arsul, kurang dari 8 tahun setelah UU tentang Advokat diundangkan, revisi UU tersebut sudah diajukan ke DPR. Kemudian, meski revisi UU tersebut masuk Prolegnas 2014-2019, ternyata tidak ada organisasi advokat yang memberikan masukan.
Kemudian, Arsul kembali menerima aspirasi dari sejumlah advokat untuk revisi UU tentang Advokat. Namun, kini pihaknya menunggu masukan dari advokat terkait dengan aspirasi tersebut.
”Kalau memang teman-teman advokat tidak berniat untuk mengubah, tentu ini tidak akan didorong untuk masuk ke dalam Prolegnas prioritas. Perubahan itu dipandang perlu atau tidak, kembali kepada teman-teman advokat,” kata Arsul.