Terbukti Terima Suap Rp 25,7 Miliar, Edhy Prabowo Divonis Lima Tahun Penjara
Bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dicabut hak politiknya selama tiga tahun. Selain itu, terdakwa kasus korupsi ekspor benur ini juga diminta membayar uang pengganti miliaran rupiah.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo terbukti menerima suap Rp 25,7 miliar untuk memuluskan ekspor benih bening lobster atau benur. Atas perbuatannya, Edhy dijatuhi hukuman 5 tahun penjara dan pencabutan hak politik selama 3 tahun. Putusan hakim atas Edhy tersebut diwarnai pendapat berbeda dengan salah satu hakim yang menilai Edhy tak terbukti memerintahkan untuk menerima uang.
Vonis atas Edhy Prabowo dibacakan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang dipimpin oleh Albertus Usada dengan dua hakim anggota, Suparman Nyompa dan Ali Muhtarom, Kamis (15/7/2021). Edhy mengikuti persidangan secara daring dari Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta.
Selain vonis untuk Edhy, majelis hakim juga membacakan vonis terhadap lima terdakwa lain yang terbagi dalam dua berkas putusan. Berkas pertama mencakup Staf Khusus Menteri, Andreau Misanta Pribadi dan Safri. Adapun berkas kedua atas terdakwa sekretaris pribadi bekas Menteri Kelautan dan Perikanan, Amiril Mukminin, Ainul Faqih, dan pemilik PT Aero Citra Kargo (ACK) Siswadi Pranoto Loe.
Dalam perkara ini, hakim menilai Edhy terbukti menerima suap senilai 77.000 dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 1,1 miliar dari pemilik PT Duta Putra Perkasa Pratama Suharjito agar bersama-sama dengan Andreu dan Safri mempercepat persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor benur.
Edhy juga terbukti menerima suap Rp 24,6 miliar melalui Amiril, Ainul, Andreu, dan Siswadi yang merupakan bagian keuntungan tidak sah dari PT ACK terkait biaya pengiriman jasa kargo benur dari PT Dua Putera Perkasa Pratama dan sejumlah eksportir benur lainnya.
”Pada akhirnya, uang tersebut dipergunakan untuk kepentingan pribadi terdakwa. Maka, menurut majelis hakim, uang sejumlah Rp 24,6 miliar tersebut merupakan bagian dari memberi atau menjanjikan sesuatu yang diberikan secara tidak langsung kepada terdakwa,” ujar Albertus.
Hakim juga berpendapat, Edhy tidak memiliki kewenangan untuk menandatangani surat penetapan pembudidayaan lobster dan surat penetapan calon eksportir benih bening lobster karena sudah didelegasikan ke masing-masing direktur jenderal di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Namun, faktanya Edhy masih menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya dengan memerintahkan Safri, Andreu, dan Dirjen Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar untuk membantu perusahaan-perusahaan yang ingin mendapat izin ekspor.
Menurut hakim, seharusnya sebagai pejabat publik, apalagi pernah terpilih menjadi anggota DPR, Edhy dapat memberikan teladan yang baik dengan tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Namun, sebaliknya, Edhy justru telah mencederai amanat yang diembannya dengan melakukan korupsi.
Sementara itu, dalam vonis ini, Suparman Nyompa menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Ia menilai, Edhy tak terbukti menerima suap sebagaimana didakwakan jaksa dengan Pasal 12 Huruf a UU Tipikor, melainkan melanggar Pasal 11 UU Tipikor.
”Terdakwa dalam persidangan menyatakan tidak mengetahui kalau ada uang dari Suharjito. Terdakwa juga tidak pernah mengurus dan tidak memerhatikan mengenai uang yang keluar-masuk pada Amiril selaku sekretaris terdakwa. Terdakwa hanya mau tahu, apakah masih ada uang atau tidak,” ucap Suparman.
Suparman juga menilai Edhy tidak perlu membayar uang pengganti karena uang yang diterima itu bukan merugikan keuangan negara. Pencabutan hak politik pun dinilai tidak tepat.
Dalam putusan atas Edhy, majelis hakim juga menghukumnya agar membayar uang pengganti sejumlah Rp 9,6 miliar dan 77.000 dollar AS dengan memperhitungkan uang yang telah dikembalikan oleh terdakwa. Ia juga diminta membayar denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan. Selain itu, hak politik Edhy dicabut selama 3 tahun terhitung setelah Edhy menyelesaikan masa pidana pokoknya.
Vonis hakim atas Edhy sebagian besar sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum pada KPK. Hanya satu yang berbeda, yakni soal pencabutan hak politik. Sebelumnya, jaksa menuntut agar hakim mencabut hak politik Edhy untuk dipilih dalam jabatan publik selama empat tahun sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok.
Putusan terdakwa lain
Selain terhadap Edhy, majelis hakim menjatuhi Andreau dan Safri dengan pidana penjara 4,5 tahun dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan. Hakim menilai keduanya terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama sehingga melanggar Pasal 12 Huruf a UU Tipikor.
Terdakwa lainnya, Amiril, Ainul, dan Siswadi, juga terbukti melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama yang diatur Pasal 12 Huruf a UU Tipikor. Atas perbuatannya, Amiril dijatuhi hukuman penjara selama 4,5 tahun dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan. Adapun Siswadi dan Ainul selama 4 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider empat bulan kurungan.
Dalam kesempatan itu, hakim juga mengabulkan permohonan Siswadi sebagai justice collaborator.
Atas seluruh putusan itu, jaksa penuntut umum pada KPK belum menyatakan sikap akan banding atau tidak. Edhy, Andreu, Safri, Amiril, dan Ainul juga menyatakan akan pikir-pikir terlebih dahulu. Namun, Siswadi menyatakan menerima putusan hakim.