Alih-alih mempercepat terbentuknya kekebalan kelompok, vaksinasi orang per orang atau berbayar justru berpotensi menimbulkan kesenjangan akses vaksin bagi masyarakat.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah memberlakukan vaksinasi Covid-19 berbayar dipertanyakan kalangan Dewan Perwakilan Rakyat. Selain belum dibicarakan dengan Komisi IX DPR, vaksinasi berbayar itu juga dikhawatirkan menyebabkan ketimpangan karena hanya warga mampu yang bisa mendapatkan vaksin Covid-19.
Vaksinasi individu diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 19 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Permemkes Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19. Melalui Permenkes baru itu definisi vaksinasi gotong royong diubah menjadi pelaksanaan vaksinasi Covid-19 kepada individu/orang per orang yang pendanaannya dibebankan pada yang bersangkutan, atau pelaksanaan vaksinasi kepada karyawan/karyawati, keluarga atau individu lain terkait dalam keluarga yang pendanaannya ditanggung atau dibebankan pada badan hukum/badan usaha (Pasal 1 Angka 5). Padahal sebelumnya hanya diatur, vaksinasi gotong royong adalah vaksinasi yang pendaannya ditanggung badan hukum/badan usaha.
Pemerintah juga menambahkan dua ayat pada Pasal 3 Permenkes No 19/2021 untuk mengatur vaksinasi individu. Pada Ayat 4a diatur, vaksinasi gotong royong dilakukan oleh badan hukum/badan usaha untuk karyawan/karyawati serta oleh individu atau orang per orang. Kemudian pada Ayat 4b disebutkan bahwa badan hukum/badan usaha dapat pula melaksanaan vaksinasi gotong royong untuk individu, selain karyawan/karyawati. Kemudian terkait pendanaan, vaksinasi orang per orang dibebankan pada individu yang bersangkutan (Pasal 43).
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor HK.01.07/Menkes/4643/2021 tentang Penetapan Besaran Harga Pembelian Vaksin Produksi Sinopharm melalui Penunjukan PT Bio Farma (Persero) dalam Pelaksanaan Pengadaan Vaksin Covid-19 dan Tarif Maksimal Pelayanan Vaksinasi Gotong Royong, pemerintah memperbolehkan vaksin Covid-19 dijual dengan harga Rp 879.140 lewat klinik Kimia Farma dan fasilitas kesehatan swasta lainnya. (Kompas, 12 Juli 2021)
Kepmenkes itu semula dibuat untuk mengatur tarif vaksinasi gotong royong oleh perusahaan untuk para karyawannya. Kini, ketentuan tarif yang sama akan diberlakukan untuk pelaksanaan vaksinasi individu yang berbayar.
Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Netty Prasetiyani menilai kebijakan tersebut sebagai cara mencari untung dari rakyat. ”Vaksinasi untuk mengatasi bencana non-alam seperti pandemi adalah tanggung jawab negara terhadap keselamatan rakyatnya. Setiap individu harus mendapat akses yang sama dan merata melalui vaksinasi gratis. Jadi, opsi vaksin berbayar seperti upaya mencari keuntungan dengan memeras rakyat,” ungkap Netty dalam keterangan tertulis, Senin (12/7/2021) di Jakarta.
Anggota Komisi IX DPR ini juga menegaskan bahwa kebijakan tersebut belum didiskusikan dengan DPR, ”Tidak ada diskusi dengan Komisi IX terkait vaksinasi gotong royong bagi individu atau perseorangan. Kebijakan yang sudah disetujui adalah vaksinasi gotong royong yang dibiayai perusahaan. Itu pun diizinkan dengan banyak catatan. Sekarang tiba-tiba muncul kebijakan vaksin berbayar untuk individu,” ujarnya.
Menurut Netty, Permenkes RI Nomor 19 Tahun 2021 dijadikan landasan hukum bagi vaksinasi berbayar untuk individu setelah ada perubahan redaksi atas definisi vaksin gotong royong. ”Awalnya hanya ditujukan untuk karyawan perusahaan atau badan usaha, kemudian ditambahkan juga untuk individu atau perseorangan yang dibebankan pembiayaannya pada yang bersangkutan,” katanya.
Pemerintah, lanjut Netty, tidak bisa berdalih bahwa vaksinasi berbayar menjadi alternatif bagi rakyat yang tidak bersedia antre dalam pelaksanaan vaksinasi. ”Akses gratis vaksin Covid-19 bukan persoalan warga kaya ataupun miskin, bukan pula soal mau antre atau tidak. Ini soal tanggung jawab negara melindungi rakyatnya. Jangan sampai publik berpikir hanya orang kaya yang mampu membeli vaksin yang dapat melindungi diri dari bahaya pandemi,” paparnya.
Anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Amanat Nasional Saleh Partaonan Daulay, secara terpisah, mengatakan, pihaknya belum pernah mendengar secara langsung soal rencana penjualan vaksin melalui Kimia Farma. Hal yang ia tahu, selama ini, vaksin gotong royong hanya diperuntukkan bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki banyak pekerja. Karena itu, vaksin gotong royong tidak dijual kepada individu. Biaya vaksin gotong royong dibebankan pada perusahaan sebagai perwujudan dari tanggung jawab sosial.
”Kami baru mendengar hal ini dari media. Makanya, kami juga heran. Di grup anggota Komisi IX, hal ini sempat diperbincangkan dan dipertanyakan.”
Dalam konteks ini, Saleh mendesak agar pemerintah memberi penjelasan terkait kebijakan itu. Pasalnya, dasar dari pelaksanaan vaksinasi adalah gratis. Artinya, setiap orang tidak dipungut biaya untuk mendapatkan vaksin.
”Kalau dijual bebas seperti itu, apa nanti malah tidak akan terjadi komersialisasi? Bukankah vaksinasi itu semestinya gratis? Ini yang saya kira perlu diperjelas.” Selain itu, perlu juga dijelaskan soal pelaksanaan vaksinasi dengan mekanisme ini.
Tidak etis
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abdi mengatakan, vaksin berbayar menjadi tidak etis di tengah pandemi yang sedang mengganas. Oleh karena itu, ia menilai kebijakan ini kurang tepat.
”Kebijakan ini bisa jadi hanya akan makin membuat masyarakat malas untuk melakukan vaksinasi. Yang digratiskan saja masih banyak yang malas, apalagi vaksin berbayar,” kata Tulus.
Dari sisi komunikasi publik, hal ini pun membingungkan masyarakat karena ada vaksin berbayar dan ada vaksin gratis. ”Vaksin berbayar juga bisa menimbulkan distrust dalam masyarakat, yakni yang berbayar dianggap kualitasnya lebih baik dan yang gratis lebih buruk kualitasnya,” katanya.
Di banyak negara, menurut Tulus, justru masyarakat yang mau divaksinasi Covid-19 diberikan hadiah oleh pemerintahnya. Ini dengan maksud agar makin banyak warga negara yang mau divaksin. Bukan malah disuruh membayar.
Oleh karena itu, YLKI mendesak agar vaksin berbayar untuk kategori individu dibatalkan. ”Kembalikan pada kebijakan semula, yang membayar adalah pihak perusahaan, bukan individual,” katanya.