18 Korban Korupsi Bansos Berharap Hak Mereka Dipulihkan
Korban korupsi bansos sembako, berjumlah 18 orang, mengharapkan hakim Pengadilan Tipikor dapat memulihkan hak mereka. Gugatan perdata pun diajukan untuk digabung dengan perkara bekas Mensos Juliari Batubara.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 18 korban korupsi dana bantuan sosial Kementerian Sosial kini berharap pada palu hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta untuk memulihkan hak mereka. Saat ini, mereka sedang mengajukan gugatan ganti rugi terhadap bekas Menteri Sosial Juliari P Batubara.
Anggota Tim Advokasi Korban Korupsi dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur dalam webinar ”Mekanisme Hukum untuk Pemulihan Hak Korban Korupsi Bansos”, Minggu (11/7/2021), mengatakan, ada 18 penggugat dalam perkara ganti rugi korupsi dana bantuan sosial (bansos) yang diajukan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Mereka adalah warga DKI Jakarta dan Kepulauan Seribu yang terdampak korupsi dana bansos di Kemensos yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, dalam perkembangannya, satu penggugat meninggal dunia. Sekarang, tinggal 17 penggugat yang tersisa.
Ada 18 penggugat dalam perkara ganti rugi korupsi dana bansos yang diajukan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Saat ini, mereka sedang diminta untuk melengkapi persyaratan permohonan gugatan supaya bisa digabung dengan gugatan pokok perkara Juliari. Jika perkara diterima, para korban akan memberi kesaksian dan pembuktian, terkait kerugian yang mereka alami akibat korupsi bansos.
”Dari pernyataan para korban, mereka mengaku menerima beras yang sudah berkutu. Kemudian, ada sarden yang sudah kedaluwarsa hingga di dalamnya ada cacing. Itu semua akan kami bawa ke persidangan sebagai pembuktian perkara,” tutur Isnur.
Gugatan ganti rugi itu, lanjut Isnur, didasarkan pada pasal 35 Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCAC) yang menyebutkan bahwa setiap negara wajib mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum nasional yang berlaku di negaranya, untuk memastikan bahwa badan-badan atau orang yang menderita kerugian sebagai akibat dari suatu perbuatan korupsi memiliki hak untuk mengajukan tuntutan hukum terhadap pihak yang bertanggung jawab atas kerugian itu agar mendapat kompensasi.
Penggugat juga berpedoman pada Pasal 98 KUHAP yang mengatur tentang dasar dakwaan dalam perkara pidana yang menimbulkan kerugian bagi orang lain, hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.
Permintaan dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.
Isnur menceritakan, proses yang dialami penggugat dan tim advokasi sangat terjal. Pertama, mereka harus berkejaran dengan waktu untuk mengajukan gugatan sebelum perkara Juliari masuk ke tahap tuntutan. Sementara itu, mereka harus melengkapi persyaratan formil persidangan yang tidak mudah. Mereka terkadang harus mengikuti persidangan yang sedang berlangsung agar dapat mengajukan berkas gugatan.
Namun, semua itu tak menghalangi semangat korban untuk mencari keadilan. Sesuai Pasal 55 UU No 6/2018 tentang Karantina Kesehatan, saat darurat kesehatan masyarakat dan dilakukan karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Selain itu, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2008 juga menyebutkan bahwa penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi, di antaranya, pemenuhan kebutuhan dasar.
Pemerintah memang telah memenuhi kebutuhan itu melalui regulasi Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 54/HUK/2020 tentang Pelaksanaan Bantuan Sosial Sembako dan Bantuan Sosial Tunai dalam Penanganan Dampak Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Alokasi paket bansos saat itu Rp 300.000 per penerima. Namun, dalam persidangan kasus korupsi bansos ditemukan alokasi tak wajar dalam pengadaan paket bansos. Ketidakwajaran itu terlihat pada harga bahan yang hanya Rp 270.000, goodie bag atau tas bantuan Rp 15.000 per paket, dan ongkos kirim Rp 15.000 per paket.
”Dengan alokasi Rp 270.000 itu pun, kualitas bansos yang diterima warga termasuk penggugat jauh di bawah harga tersebut. Sehingga kami menuntut ganti ruginya selama enam bulan penerimaan bansos Covid-19,” kata Isnur.
Isnur optimistis gugatan 18 warga korban bansos akan diterima oleh majelis hakim. Sebab, penggugat adalah orang yang terdampak langsung pada korupsi bansos Kemensos. Selain itu, sudah banyak preseden putusan lain yang mengabulkan permintaan ganti rugi korban.
Isnur optimistis gugatan 18 warga korban bansos akan diterima oleh majelis hakim. Sebab, penggugat adalah orang yang terdampak langsung pada korupsi bansos Kemensos. Selain itu, sudah banyak preseden putusan lain yang mengabulkan permintaan ganti rugi korban.
Misalnya, putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 120/Pid.Sus/2019/PN.Pbr tanggal 20 Mei 2019 yang menghukum Herdina Malatio br Hutagaol sebagai terdakwa atau tergugat dan mengabulkan gugatan Sri Sumiyarsi sebagai tergugat.
Selain itu, ada pula Putusan Mahkamah Agung Nomor 193 PK/Pid.Sus/2011 tanggal 20 Januari 2012 yang menguatkan Putusan Nomor 1926 K/Pid.Sus/2009 yang menetapkan gugatan ganti kerugian yang diajukan penggugat sesuai dengan ketentuan Pasal 98 KUHAP dan digabungkan pemeriksaan dengan pemeriksaan perkara pidana No 1075/Pid.B/PN.Smg.
Kurnia Ramadhana dari Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) menambahkan, model advokasi dengan menggugat ganti rugi bagi warga terdampak langsung korupsi diharapkan bisa diterapkan untuk kasus korupsi lain.
Pada tahun 2019, jaksa penuntut umum KPK pernah menuntut Bupati Lampung Selatan untuk membayar denda uang pengganti senilai Rp 66 miliar. Dalam tuntutannya, JPU secara spesifik menyebut agar denda uang pengganti itu tidak masuk ke kas negara di Kementerian Keuangan, tetapi ke kabupaten/kota yang terdampak kasus korupsi tersebut. Langkah ini, menurut Kurnia, bagus dipertimbangkan agar warga dapat dipulihkan kerugiannya karena tindak pidana korupsi.
Namun, advokasi dalam perkara bansos ini juga tidak mudah. Untuk memastikan kedudukan hukum para penggugat saja, tim advokasi harus berjuang di persidangan. Mereka harus beberapa kali mengajukan hingga akhirnya diminta untuk memperbaiki persyaratan gugatan.
Saat mencari data sasaran dan penerima bansos, tim advokasi kesulitan karena tidak ada data yang mudah diakses. Bahkan, Kurnia menyebut bahwa ada upaya dari jaksa penuntut umum KPK yang seolah menghalangi advokasi tersebut.
”Kami percaya bahwa korupsi bansos tidak hanya terjadi di Jabodetabek, tetapi di semua provinsi di Indonesia. Ke depan, advokasi ini bisa dicontoh agar para korban bansos di masa sulit ini mendapatkan pemulihan atas kerugiannya dan agar dana bansos tidak menjadi bancakan lagi,” papar Kurnia.
Kurnia secara tegas juga menyebutkan bahwa perilaku koruptif di masa pandemi Covid-19 adalah tindakan yang biadab, keji, dan tidak berperikemanusiaan. Saat korupsi dana bansos dilakukan oleh Juliari Batubara dan orang-orang Kemensos lainnya, saat itu jumlah pasien positif yang tertular Covid-19 ada 543.975 orang. Sementara, yang meninggal dunia 17.801 orang.
Pengajar Hukum Pidana Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Sri Bayuningsih Praptadina, menambahkan, gugatan ganti rugi juga dilakukan di negara lain seperti dalam perkara suap Wali Kota Cannes Italia dengan warga kota Cannes.
Selain itu, juga ada perkara Kansai Electric Power Co yang mengajukan gugatan ganti rugi kepada lima mantan pejabat eksekutif perusahaannya yang menerima suap dari Wakil Wali Kota Takahama di Fukui, Jepang.
Dalam perkara suap bansos Kemensos, lanjutnya, majelis hakim harus memastikan bahwa jika semua pidana pokok dan tambahan sudah dijatuhkan termasuk pidana finansial berupa uang pengganti atau denda, penggantian ganti kerugian harus tetap diberikan kepada korban.