Kemampuan Lemah, Alih Teknologi Pengembangan Industri Pertahanan Masih Sulit Diwujudkan
Alih teknologi dalam pengembangan industri pertahanan dinilai masih sulit dilakukan. Salah satunya karena penelitian dan pengembangan industri pertahanan ini lemah meskipun di dalam negeri ada 147 industri pertahanan.
Oleh
Edna C Pattisina
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Walaupun sudah ada berbagai aturan, pelaksanaan ofset atau alih teknologi dalam pengembangan industri pertahanan sulit dilakukan. Salah satu hal mendasar adalah kurangnya kemampuan dari industri pertahanan dalam negeri.
”Tingkatkan kemampuan industri pertahanan yang ada saat ini untuk bisa menyerap ofset,” kata Alman Helvas Ali, ahli pertahanan, dalam diskusi dengan tema ”Offset, Transfer of Technology Programs, dan Rencana Modernisasi Tentara Nasional Indonesia” yang diadakan Semar Sentinel, Kamis (8/7/2021).
Alman mengatakan, secara umum Indonesia mengalami deindustrialisasi dalam 20 tahun terakhir. Data yang ia sampaikan, kontribusi manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2002 mencapai 32 persen. Namun, kontribusi pada tahun 2018 hanya 20 persen.
Situasi ini secara langsung memengaruhi program alih teknologi yang menjadi salah satu tujuan dari pengembangan industri pertahanan. Mengutip data Janes Military, Alman mengatakan, pihak luar negeri melihat kapasitas industri pertahanan masih rendah.
Teknologi yang dikuasai juga belum canggih mengingat bahwa alat-alat yang diproduksi adalah alat-alat berteknologi rendah, seperti kapal kecil, amunisi, senjata perorangan, dan pemeliharaan. ”Dari sisi keterampilan SDM (sumber daya manusia) juga rendah dan alat-alat teknologi mutakhir kebanyakan dibeli,” kata Alman.
Hal senada disampaikan dosen Universitas Bina Nusantara, Curie Maharani Savitri. Curie mengatakan, kemampuan industri pertahanan dalam negeri menyerap alih teknologi dari negara asing memang lemah. Walaupun ada 147 industri, secara umum kondisi penelitian dan pengembangannya lemah, demikian juga sumber daya manusianya.
Walaupun ada 147 industri, secara umum kondisi penelitian dan pengembangannya lemah, demikian juga sumber daya manusianya.
Curie mengatakan, sejak tahun 2015 sudah ada 31 kontrak yang disertai dengan ofset. Akan tetapi, yang sudah selesai baru dua kontrak. Itu pun aktivitasnya kecil-kecil dan tersebar di banyak aktor sehingga sulit dinilai. Curie mengatakan, seharusnya Indonesia fokus pada jenis ofset yang diinginkan dan direncanakan.
Menurut Curie, selama ini alih teknologi belum maksimal, bahkan hanya dihitung dalam bentuk jam kerja. Ini tidak menambah penguasaan teknologi. ”Sampai disiplin pun dimasukkan sebagai ofset,” kata Curie.
Solusinya, menurut Curie, adalah di masa depan dengan adanya pengadaan yang lebih banyak dan fokus pada sedikit merek, posisi tawar Indonesia untuk mendapatkan alih teknologi diharapkan lebih besar. Ia juga mengingatkan bahwa alih teknologi tidak bisa diminta terburu-buru, tetapi butuh kebijakan untuk mengecilkan gap atau kesenjangan teknologi serta menentukan teknologi inti yang diinginkan,
Sementara Alman mengatakan, Indonesia perlu mitra strategis yang bisa diandalkan. Selain itu, industri pertahanan, baik swasta maupun badan usaha milik negara (BUMN), perlu investasi dari sisi garis produksi, sumber daya manusia, dan laboratorium. Ini untuk meningkatkan standar dan kapasitas.
”Selain faktor teknis, faktor politik juga harus diingat, yaitu harus ada perjanjian agar kita bisa dapat akses pada teknologi mereka,” katanya.
Industri pertahanan, baik swasta maupun badan usaha milik negara (BUMN), perlu investasi dari sisi garis produksi, sumber daya manusia, dan laboratorium. Ini untuk meningkatkan standar dan kapasitas.
Yono Reksoprodjo, Kepala Bidang Alih Teknologi dan Offset Komite Kebijakan Industri Pertahanan, mengatakan, realitasnya Indonesia memang harus mulai dari bawah dulu untuk membuat sistem pengadaan yang sehat. Dengan demikian, industri berani berinvestasi di sumber daya manusia dan riset. Ada berbagai potensi yang bisa dikembangkan, seperti beberapa fasilitas untuk riset industrial dan lembaga pendidikan.
”Yang penting kita penuhi dulu kapasitas produksi aset yang sudah ada,” kata Yono. Menurut dia, hal ini lebih realistis dan strategis daripada harus berinvestasi dulu untuk bisa memproduksi barang-barang baru. Aset-aset yang sudah ada ditingkatkan kemampuannya.
Yono mencontohkan, sekrup untuk piston jauh lebih mahal dibandingkan untuk engsel pintu, padahal sama-sama sekrup. ”Kita tingkatkan dulu kemampuan kita agar dapat kepercayaan masyarakat dan pemodal,” katanya.
Pada saat bersamaan, otoritas nasional diharap membuat acuan-acuan rancang bangun. Aturan dan standar perancangan membuat ada peningkatan kualitas. Diikuti dengan lembaga sertifikat dan peningkatan SDM, terutama untuk ilmu dasar, hal itu akan menjadi pijakan yang kuat untuk alih teknologi.